Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bikin Roket, Jangan Bikin Puisi!

6 Agustus 2013   14:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:34 2556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13757724851882387858

[caption id="attachment_279683" align="alignright" width="654" caption="Foto Drone AS/Kompas.com"][/caption]

Bermodal status Facebook seorang kawan Indonesia yang menjadi pensyarah alias dosen di Malaysia, Endri Rachman, lahirlah tulisan ini...

Melalui status yang ditulisnya hari Senin, 5 Agustus 2013, mantan karyawan PT Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia) itu mengingatkan kawan-kawan Fesbooker-nya untuk melihat apa yang sedang terjadi di Timur Tengah, di mana orang-orang dan negara Arab banyak di-bully oleh Barat. Di-bully, dihinakan, dan direndahkan, karena bangsa Arab dianggap tunateknologi yang membuat negeri mereka "terbelakang" meski bergelimang uang.

Dengan menyematkan satu berita Eramuslim.com sebagai dasar imbauannya, Endri menulis, akhirnya mereka (Arab) sadar tentang pentingnya mempelajari dan menguasai ilmu dan teknologi pertahanan dan militer, termasuk bagaimana caranya membuat dan mendesain pesawat terbang dan UAV (pesawat nirawak). "Sebuah peluang bisnis yang menjanjikan, mengajari mereka (Arab) bagaimana caranya mendesain pesawat terbang atau UAV itu," katanya.

Landasan imbauan Endri yang dikenal sebagai ahli perancang dan pembuat UAV adalah itu tadi, sebuah berita Eramuslim.com berjudul Wahai Muslim, Buatlah Roket, Nuklir, Bom, dan Jangan Buat Puisi!

Inti tulisan sebenarnya sebuah gugatan kalau tidak mau dikatakan sebagai "pemberontakan" pemikiran terhadap keadaan dunia Arab yang terlena, yang kalah dalam perlombaan teknologi dibanding dunia Barat. Bahkan dibanding Iran yang telah berhasil mengembangkan teknologi nuklir, Arab sangat jauh tertinggal dalam urusan teknologi apalagi sampai menciptakan teknologi. Bukan sekadar membeli dan memanfaatkan teknologi yang dengan kekayaan berlimpah hal itu bisa dilakukan kapan saja. Di sisi lain, Barat senantiasa menjegal "lawan-lawan" potensial mereka menciptakan teknologi, khususnya teknologi nuklir.

Dalam hidup ini, tidak ada ruang untuk integritas. Integritas dan kesucian hanya milik langit, sementara hukum dunia dan politik didirikan di atas kebohongan dan kelicikan . Selama orang menerima untuk dikuasai oleh undang-undang manusia saat ini tanpa kehadiran undang-undang Allah, maka manuver kepentingan, perampasan, arogansi, penindasan akan terjadi.

Demikian Eramuslim.com menulis, membandingkan betapa munafiknya lima negara Barat (termasuk Israel) yang disebutnya memproduksi senjata nuklir dan bom atom, tetapi mereka melarang negara-negara lainnya du dunia ini untuk mendekati nuklir. "Kelima negara nuklir utama tidak ingin negara lain untuk memproduksi senjata nuklir sehingga mereka dapat mempertahankan hegemoni kekuatan mereka, wewenang dan tirani," tulis Eramuslim.com lagi.

Sebagai seorang kawan, saya kemudian mengomentari status Endri tersebut dan saya katakan bahwa dunia Arab terlalu lelap dalam tidur panjangnya, dibuai kekayaan hasil minyak yang mungkin sebentar lagi juga akan habis. Soal teknologi, saya bilang, Arab kalah jauh dibanding Israel atau bahkan Iran. "Tidak ada kata terlambat untuk perbaikan, jangan sampai suatu hari kelak Arab diledek Iran dengan teknologi nuklirnya, sementara oleh Israel mungkin sudah taraf dihinakan," komentar saya.

Sebagai ahli pembuat UAV di mana beberapa tahun lalu saya pernah menulis profilnya di Harian Kompas, Endri memang selalu bersemangat bila berdiskusi soal UAV. Dari sisi teknologi, terutama dirgantana, kata Endri, Indonesia bisa memainkan peranan. Tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana negara-negara Arab bersedia bekerja sama dengan Indonesia sehingga perpaduan dana yang berlimpah dari Arab dengan sumber daya manusia, pengalaman dan keahlian yang teruji dari Indonesia, bakal mendatangkan win-win solution jika kerja sama terealisasi. Memang saat bertemu Endri beberapa tahun lalu untuk sebuah wawancara, ia sedang menjajaki kemungkinan kerja sama dunia Arab-Indonesia untuk membuat pabrik pesawat nirawak berskala besar yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Bagi saya, penciptaan teknologi apapun, termasuk UAV, bergantung pada tujuan yang bisa saling bertolak belakang. Sama saja dengan teknologi nuklir itu sendiri, jika dimanfaatkan untuk menggerakkan energi listrik, menggerakkan kapal selam, dan menggantikan minyak bumi untuk tenaga industri, maka ia akan mendatangkan manfaat luar biasa bagi kemanusiaan. Menjadi mudlarat dan bahkan malapetaka jika teknologi bom nuklir dengan daya hancur beribu-ribu kali kekuatan bom atom yang pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki hanya untuk menghancurkan peradaban demi memenangi peperangan. Jika hasrat menguasai melalui teknologi bom nuklir ini diumbar, daya ledaknya bisa menghancurkan peradaban suatu bangsa.

Demikian juga dengan UAV atau pesawat nirawak, pesawat yang dikendalikan dari jarak berribu-ribu mil jauhnya. Amerika Serikat dan Israel dengan nafsu melenyapkan musuh-musuh yang mereka anggap "teroris", melepas ratusan drone mematikan yang telah membunuh ribuan "musuh-musuh" mereka bahkan rakyat yang tidak berdosa.

Penggunaan UAV bersenjata yang mematikan atau drone dalam peperangan, mau tidak mau harus meredifinisi lagi makna "perang" sesungguhnya, khususnya di mata Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya. Perang di sini tidak lagi menggunakan kekuatan armada bersenjata masif, artileri berat, pesawat tempur canggih dengan pilot tempur terbaik, atau pengintaian menggunakan kapal selam modern. Untuk menghancurkan lawan, cukup melepas drone yang dikendalikan lelaki bertubuh tambun di satu ruang apartemen sambil memainkan joystick. Atau merekrut anak-anak gamers untuk megendalikan drone dalam upaya mencari musuh, sampai memuntahkan peluru mematikan dengan sasaran manusia bernyawa dalam satu pijitan tombol pada joystick itu.

Soal heroisme, ini juga perlu diredefinisi. Apakah anak-anak tanggung atau pria pengangguran tambun yang mengendalikan drone dari suatu tempat dan berhasil membunuh ratusan nyawa orang tidak berdosa dalam satu serangan bisa dikatakan pahlawan? Apakah peran tentara pembunuh bisa digantikan oleh orang-orang sipil yang masih berkategori anak-anak? Apakah anak-anak pengendali drone ini bisa dibunuh oleh lawan karena sudah masuk ke kancah peperangan meski mereka mengendalikan drone dari sebuah ruangan sekolah, misalnya? Atau jangan-jangan tentara pemilik mesin perang drone itu yang layak disebut pecundang meski berhasil membunuh lawan dengan cara pengecut?

Saya bisa paham dengan niat Endri sebagai orang Indonesia tulen yang ingin menjalin kerja sama dengan dunia Arab berlimpah petro dollar untuk mengembangkan UAV beserta teknologi turunannya. Dengan cara memproduksi UAV atau bahkan drone, maka dunia Arab bisa mengimbangi kekuatan lawan. Memang tergantung niat, UAV bisa digunakan untuk memantau keamanan di perbatasan, mencari ladang minyak baru, dan bahkan untuk pertahanan jika diperlukan. Tetapi, mungkin dunia Arab belum merasa tertarik.

O, ya... kembali kepada tulisan Eramuslim.com tadi, meski di akhir judul tulisannya yang panjang terdapat perintah imperatif "Jangan buat Puisi", namun pada kalimat penutup sang penulis Aidh Al Qarni, justru mengutip satu bait puisi karya penyair Khalaf Bin Hazal: "Jangan percaya dengan anaknya serigala walau induknya telah meninggal, karena mereka pasti akan datang kepada Anda di pagi hari dengan taring mereka".

***

Palbar, 6 Agustus 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun