Demikian juga dengan UAV atau pesawat nirawak, pesawat yang dikendalikan dari jarak berribu-ribu mil jauhnya. Amerika Serikat dan Israel dengan nafsu melenyapkan musuh-musuh yang mereka anggap "teroris", melepas ratusan drone mematikan yang telah membunuh ribuan "musuh-musuh" mereka bahkan rakyat yang tidak berdosa.
Penggunaan UAV bersenjata yang mematikan atau drone dalam peperangan, mau tidak mau harus meredifinisi lagi makna "perang" sesungguhnya, khususnya di mata Amerika Serikat, Israel, dan sekutunya. Perang di sini tidak lagi menggunakan kekuatan armada bersenjata masif, artileri berat, pesawat tempur canggih dengan pilot tempur terbaik, atau pengintaian menggunakan kapal selam modern. Untuk menghancurkan lawan, cukup melepas drone yang dikendalikan lelaki bertubuh tambun di satu ruang apartemen sambil memainkan joystick. Atau merekrut anak-anak gamers untuk megendalikan drone dalam upaya mencari musuh, sampai memuntahkan peluru mematikan dengan sasaran manusia bernyawa dalam satu pijitan tombol pada joystick itu.
Soal heroisme, ini juga perlu diredefinisi. Apakah anak-anak tanggung atau pria pengangguran tambun yang mengendalikan drone dari suatu tempat dan berhasil membunuh ratusan nyawa orang tidak berdosa dalam satu serangan bisa dikatakan pahlawan? Apakah peran tentara pembunuh bisa digantikan oleh orang-orang sipil yang masih berkategori anak-anak? Apakah anak-anak pengendali drone ini bisa dibunuh oleh lawan karena sudah masuk ke kancah peperangan meski mereka mengendalikan drone dari sebuah ruangan sekolah, misalnya? Atau jangan-jangan tentara pemilik mesin perang drone itu yang layak disebut pecundang meski berhasil membunuh lawan dengan cara pengecut?
Saya bisa paham dengan niat Endri sebagai orang Indonesia tulen yang ingin menjalin kerja sama dengan dunia Arab berlimpah petro dollar untuk mengembangkan UAV beserta teknologi turunannya. Dengan cara memproduksi UAV atau bahkan drone, maka dunia Arab bisa mengimbangi kekuatan lawan. Memang tergantung niat, UAV bisa digunakan untuk memantau keamanan di perbatasan, mencari ladang minyak baru, dan bahkan untuk pertahanan jika diperlukan. Tetapi, mungkin dunia Arab belum merasa tertarik.
O, ya... kembali kepada tulisan Eramuslim.com tadi, meski di akhir judul tulisannya yang panjang terdapat perintah imperatif "Jangan buat Puisi", namun pada kalimat penutup sang penulis Aidh Al Qarni, justru mengutip satu bait puisi karya penyair Khalaf Bin Hazal: "Jangan percaya dengan anaknya serigala walau induknya telah meninggal, karena mereka pasti akan datang kepada Anda di pagi hari dengan taring mereka".
***
Palbar, 6 Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H