Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekuasaan Kok Dibagi ke Desa, buat Apa Jadi Bupati? #journeylism -2

5 November 2014   21:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:33 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415172920814131675

Hal lain, lanjut saya, sekitar tahun 1998 saya pernah berdiskusi dengan Dr Andi Alifian Mallrangeng mengenai sebuah buku yang berjudul All Politics Is Local. Menurut buku itu, tidak ada yang disebut politik nasional apalagi politik internasional, yang ada adalah politik lokal dengan para politisi lokal di dalamnya. Saya kemudian memodifikasi pendapat itu dengan memberi contoh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang orang Pacitan dan Presiden terpilih Joko Widodo yang orang Solo. Keduanya adalah politisi lokal. "Siapa tahu di masa depan ada politisi lokal dari Malinau ini yang menjadi presiden seperti Pak SBY dan Pak Jokowi," kata saya. Bisa ditebak, hadirin semakin ramai bertepuk-tangan. Saya lirik ketiga pembicara juga tersenyum dan bahkan tertawa.

Selanjutnya dibuka termin tanya-jawab dan beberapa hadirin mengacungkan tangan. Tentu saja pertanyaan yang menjadi ajang "curcol" itu lebih banyak ditujukan kepada Bupati Malinau Dr Yansen. Saya bersama dua profesor pembicara duduk manis saja, sesekali malah diskusi sambil bisik-bisik, khususnya dengan Prof Sadu yang duduk persis di samping kanan saya. Ketika Anya Dwinov meminta para pembicara menyampaikan closing statement, saya mengatakan begini:

"Sekarang, sudah sulit kita temukan inventor (penemu), bahkan mungkin sudah tidak ada lagi. Tetapi yang paling banyak kita jumpai saat ini adalah innovator dalam berbagai bidang dengan konsep ATM (Amati Tiru Modifikasi). Bagi saya, Pak Yansen adalah seorang innovator di bidang sistem pemerintahan daerah yang hasil inovasinya, yakni Gerakan Desa Membangun, bisa diterapkan di berbagai daerah di Indonesia."

Demikian, usai sudah acara kolosal yang berlangsung kurang lebih 2,5 jam. Saya sudah tidak tahan untuk segera melihat keramaian pesta adat Irau yang lapangan tempat penyelenggaraannya ada di depan mata saya, tidak jauh dari gedung tempat penyelenggaraan diskusi dan bedah buku Revolusi dari Desa. (bersambung)

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun