[caption id="attachment_372187" align="aligncenter" width="630" caption="Bupati Malinau Dr Yansen TP (Dok.pri)"][/caption]
Baiklah, saya lanjutkan kembali laporan perjalanan jurnalistik yang tertunda beberapa waktu lalu. Master of Ceremony acara yang dihadiri 1.500 orang di aula besar itu adalah Dodi Mawardi dan Anya Dwinov. Nama terakhir yang saya sebutkan sepertinya bukan nama asing, bahkan mungkin di telinga Anda-anda semua, Sedang Dodi selain berprofesi sebagai guru dan penulis, ia juga seorang Kompasianer yang cukup aktif berbagi ilmu dan pengalamannya di Kompasiana. Alhasil saat nama saya dipanggil, saya langsung meloncat ke panggung dengan keterampilan seekor monyet. Maklum saya dibesarkan di kampung, menyelam dan memanjat adalah permainan sehari-hari sekaligus keterampilan saya yang tersembunyi.
Pertama, Dodi memperkenalkan dua pembicara, yakni Ketua Program Studi Ilmu Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Prof Dr Soesilo Zauhar MS. Hadirin riuh tepuk tangan. Pembicara kedua Profesor dalam bidang Sistem Pemerintahan dan Otonomi Daerah Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN) Prof Dr Sadu Wasistiono MSi. Hadirin masih riuh bertepuk tangan. MC juga memanggil sahibul bait Bupati Malinau Dr Yansen TP dan tepuk tangan semakin bergemuruh.
Hening sejenak saat Dodi dan Anya memperkenalkan "pembicara ketiga" yang akan ikut membedah buku Revolusi dari Desa, "Seorang wartawan senior yang akrab dengan media sosial, juga pendiri Kompasiana...." demikian MC memperkenalkan saya.
Ketika nama saya disebut itulah saya meloncat ke atas panggung dengan kemeja "nyeleneh" karena memang tidak dipersiapkan untuk acara formal. Tidak ada tepukan yang meriah, cenderung senyap. Biar sajalah, saya kemudian merasa menjadi "alien" sendiri di tengah duapembicara yang semuanya resmi berbatik dan Bupati Yansen yang mengenakan safari resmi. Ini benar-benar suatu situasi yang menantang, pikir saya. Celakanya, saya kebagian menjadi pembicara ketiga alias pembicara terakhir! Benar-benar saya "dikerjain" Dodi dan Anya. Awas, kalian!
Saya orang komunikasi, saya belajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran selama 4,5 tahun 30 tahun lalu. Saya sering mempraktikan ilmu saya dalam komunikasi lisan maupun tulisan, dalam setiap kesempatan. Manusia sebagai makhluk berakal (homo sapiens) tidak lepas dari unsur komunikasi. Mengapa saya harus gentar menghadapi dua profesor doktor dan seorang doktor di atas panggung? Begitulah kira-kira saya berdamai dengan diri sendiri. Saya baru tersadar, saya punya hati tetapi sudah terlalu lama tidak saya ajak bicara. Di atas panggung itulah saya berdialog dengan hati sendiri, dengan diri sendiri.
Lalu saya teringat novel-novel Edy Suhendro pada masa lalu yang punya gaya bercakap-cakap dengan si empunya cerita atau dengan si tokoh "aku", seakan-akan menjadi sebuah dialog. Kira-kira begini dialognya:
+ Kamu bukan dirimu, bukan Pepih banget kalau oleh situasi begini saja kamu kalah. Percuma kamu banyak baca buku, sia-sia kamu banyak berdiskusi!
- Â Persoalannya aku belum baca buku ini semua, baru beberapa menit lalu buku ini kubaca, itupun cuma selintas. Bagaimana aku bisa menguasai seluruh isi buku itu dalam waktu yang terbatas?
+ Kecewa aku dengar alasanmu. Hai Pep, dengar ya! Kamu ini seperti tidak pernah bersinggungan dengan dunia politik dan ilmu pemerintahan pada masa lalu saat kamu aktif meliput di ranah politik. Percuma kamu berteman dengan Amien Rais, dengan Megawati Soekarnoputri, dengan Ismail Hasan Metareum, dengan Akbar Tandjung, dengan Harmoko, dengan Gus Dur, dengan Ryaas Rasyid, dan masih banyak teman-temanmu yang sering kamu ajak diskusi. Ilmu itulah yang kamu gunakan dalam kesempatan sempit ini. Jangan permalukan dirimu, juga lembagamu! Bagaimanapun orang akan melihatmu sebagai orang Kompas kendati urusanmu sudah bukan urusan koran cetak lagi. Paham!?
- Jadi? Aku harus bagaimana?