Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekuasaan Kok Dibagi ke Desa, buat Apa Jadi Bupati? #journeylism -2

5 November 2014   21:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:33 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415172920814131675

+ Percaya diri saja. Kamu adalah kamu yang terbiasa berpikir cepat, bukan? Percuma kamu main catur cepat pakai jam catur yang waktu berpikirmu dibatasi untuk memenangi pertarungan kalau untuk urusan yang satu ini kamu berpikir lelet. Di panggung ini kamu bukan sekadar dituntut berpikir cepat, tetapi berpikir kilat!

- Baiklah kalau begitu...

Demikian kira-kira percakapan saya dengan hati dan pikiran saya. Saya harus mengendalikan apa yang bergejolak dalam diri saya, dalam bagian tubuh dalam yang tak terlihat orang lain. Wajah saya bisa saja menampilkan topeng kepura-puraan di muka umum, tetapi kalau gagal berdamai dengan hati, bahkan topeng kepura-puraan itupun akan bertambah jelek. Jadi yang saya lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri dan ketika berhasil menguasainya, saya baru mengambil air minum yang tersedia di atas meja. Alhamdulillah...

Dr Yansen si empunya buku tidak banyak berbicara di atas panggung, sebab panggung untuknya telah disediakan sebelumnya, di mana ia memaparkan secara ilmiah konsep Gerdema alias Gerakan Desa Membangun yang telah dipraktikkannya di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Menjadi unik karena konsep Gerdema ini berasal dari disertasi doktor Bupati Yansen sendiri di Universitas Brawijaya, Malang, sehingga ia seperti tengah menguji kebenaran argumentasinya yang ia tuangkan dalam disertasi doktoralnya.

Baguslah, saya pikir, artinya Dr Yansen tidak melulu bicara soal konsep atau paradigma, tetapi sudah masuk ke tataran praksis atas konsep-konsep yang telah dipikirkan dan ditemukannya. Ini satu poin untuk saya kemukakan kepada hadirin. Poin kedua yaitu soal kerelaan Dr Yansen sebagai bupati untuk berbagi kekuasan dengan desa-desa, dengan 109 kepala desa yang berada di Kabupaten Malinau. Saya harus menghantam pikiran para hadirin yang hampir seluruhnya orang Malinau dengan pernyataan provokatif ini, pikir saya lagi. Poin ketiga, saya harus menyentuh hati orang-orang Malinau dengan satu harapan sekaligus tantangan, yang akan saya kemukakan kemudian.

Dua profesor yang kebagian menjadi pembicara satu dan dua masing-masing memaparkan tanggapannya baik terhadap buku Revolusi dari Desa maupun apa yang Dr Yansen kemukakan. Secara ilmiah tentunya, lewat sebuah slide atau power point. Tetapi karena menjelaskannya sambil duduk dan mata keduanya tidak lepas dari aliran kata-kata, skema dan gambar di layar komputer, perhatian kepada khalayak di depan berkurang karenanya. Dengan kata lain, pandangan mata kedua profesor itu dengan sendirinya tidak terlalu berlama-lama menatap khalayak.

Dalam ilmu komunikasi, ini adalah kekurangan. Akan tetapi segera tertutup oleh kelebihan kedua profesor yang saya kagumi itu dengan sikap ilmiahnya, kredibilitasnya, dan konsistensinya dalam berpendapat, sebagaimana tertuang dalam presentasinya. Sikap ilmiah itu tercermin dari cara keduanya memperlakukan khalayak sebagai mahasiswanya yang berada di dalam ruang perkuliahan. Nature ilmiah memang demikian dan hadirin menghormati keduanya karena kepakarannya, karena kredibilitasnya. Lantas apa yang tersisa buat saya?

Ketika Anya Dwinov mempersilakan saya mengemukakan pendapat, saya ambil pelantang dengan pasti dan menurut teori komunikasi, suara yang lebih lantang dari suara-suara sebelumnya akan sedikit mencuri perhatian hadirin. Maka teknik sederhana ini saya pakai. Saya memperbesar volume bicara saya, mempertegas dan menekankan beberapa kalimat penting bila perlu, serta menemukan kata-kata kunci. Test the water pertama saya adalah mengusik hadirin dengan mengingatkan kembali bahwa orang yang berjasa dalam otonomi daerah yang memungkinkan Malinau menjadi kabupaten tersendiri lepas dari Kabupaten Bulungan adalah Prof Dr Ryaas Rasyid MA.

"Kita beri tepuk tangan kepada Profesor Ryaas Rasyid," pinta saya. Ajaib, hadirin bertepuk-tangan bergemuruh. Ibarat menyetir mobil, ketika gigi (gear) pertama dalam komunikasi sudah masuk, gigi berikutnya tinggal tekan saja. Selanjutnya mobil ada di belakang kendali sopir sepenuhnya. Begitulah cara saya mengendalikan hadirin, tanpa teks tanpa alat peraga, melainkan dengan "sihir" kata-kata saja. Bukan asal kata-kata kosong, tetapi yang relevan dengan buku yang sedang dikupas.

Untuk menjelaskan buku yang ditulis Dr Yansen, saya mengutip adagium lama Nil Novi Subsole yang bermakna di bawah matahari sebenarnya tidak ada yang baru. Kalimat berbahasa Yunani ini juga dikutip oleh Prof Sadu lewat kata sambutannya dalam buku itu. Maksud dari pernyataan saya adalah, "temuan" Dr Yansen memang bukan hal baru dengan konsep Gerdema-nya itu sebab pada tahun 1970-an Korea Selatan memperkenalkan Saemaul Undong dan Jepang dengan konsep One Village One Product-nya.

Tetapi yang berbeda dari Revolusi dari Desa hasil inovasi Dr Yansen, kata saya, adalah "keikhlasannya" berbagi kekuasaan kepada 109 kepala desa. Dengan demikian, desalah sebagai "negara" atau pelaksana kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya. "Bayangkan, Saudara-saudara, orang ikut Pilkada untuk meraih kekuasaan sebagai bupati. Lah, setelah jadi bupati kok kekuasaan malah dibagi ke desa-desa," teriak saya lantang seraya pandangan mengarah ke Dr Yansen yang duduk di samping saya. Maksud tatapan saya adalah, orang yang saya tatap itulah yang membagi-bagi kekuasaan bupati ke desa-desa. Tanpa diminta, hadirin pun bertepuk tangan riuh-rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun