Kerja jurnalistik adalah mencari dan mengungkap kebenaran hakiki, setidak-tidaknya mendekati kebenaran sesungguhnya. Sebagai orang beragama, tetap berpegang bahwa yang Maha Tahu Segalanya itu hanya Allah, Tuhan YME, sedang manusia hanya sekedar "mengira-ngira" (spekulasi), merekonstruksi, menganalisis, atau apa pun namanya, sebab tugas mulia para jurnalis (juga penulis warga) adalah memberi informasi yang benar (untuk saat itu) kepada pembaca seakurat mungkin!
Dalam perjalanan mencari kebenaran, semua usaha manusia atas peristiwa itu bisa salah, bisa juga benar. Maka dalam perjalanan manusia (jurnalis/penulis) menuju kebenaran hakiki itu, lahirlah berbagai bentuk laporan, tulisan, analisis, bahkan yang sifatnya spekulatif.
Apakah salah kalau saya berspekulasi soal hilangnya pesawat MH370 dengan menuliskannya dalam sebuah analisis? Tentu tidak salah, bukan, asalkan saya menyertakan sejumlah rujukan dan pendapat pakar yang sangat ahli di bidangnya. Siapa tahu spekulasi saya mengenai hilangnya MH370 bisa membuka babak baru pencarian lebih lanjut, memberi pemahaman mengenai berbagai kemungkinan lainnya yang belum terungkap. Kalau menunggu pesawat MH370 ditemukan terlebih dahulu di mana fakta dan kebenaran baru terungkap, tidak akan pernah ada analisis, pendapat, atau bahkan berita mengenai hal itu di berbagai media.
Dalam konteks inilah saya mengatakan "Soal benar-tidaknya analisis, itu urusan belakang".
Sebab, dalam pandangan saya, jangankan warga penulis, analisis pakar hebat sekalipun bisa salah, bukan? Jadi, kenapa harus takut salah?
Saya hanya takut tidak benar!
Salam...
**
Bintaro, Tahun Baru 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H