Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Soal Benar-tidaknya Analisis Itu Urusan Belakang

1 Januari 2015   16:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:02 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_387651" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Petikan komentar saya pada 27 Maret 2014 atas tulisan "Teori Konspirasi Baru di Balik Kecelakaan MH370" karya Heru Andika (25/03/2014) rupanya diingat oleh Joko P yang menulis artikel "Kompasiana & Barbarisme Jurnalistik" (30/12/2014). Tulisan ini kemudian disambut oleh Nararya "Pepih Nugraha: Benar-tidaknya Analisa, Urusan Belakang" pada hari yang sama.

Mengapa saya tertarik (lebih tepatnya tertantang) menyusun tulisan ini? Pertama, karena nama saya disebut (mention) di dua tulisan itu. Kedua, jurnalistik adalah ranah saya sehingga saya bisa berbagi pengetahuan dan bagi saya pengetahuan itu dinamis, sehingga saya harus mengikuti perkembangan baru dan mencari kebaruan (novelty). Ketiga, dan ini yang terpenting, saya harus mempertanggungjawabkan ucapan atau pernyataan/pendapat saya sebagai warga media sosial. Ini bukan persoalan selera yang tidak dapat diperdebatkan -de gustibum non disputandum. Ini perkara pemikiran atau ucapan yang perlu saya pertanggungjawabkan.

Seperti yang Nararya bilang, boleh jadi pernyataan saya beberapa bulan lalu mengesankan bahwa saya "menyembah" kecepatan (speed) saat berada di ranah online atau media sosial, sehingga ketepatan (akurasi) dan kebenaran dinomorsekiankan. Poin saya tidak di situ! Sebagai praktisi media, saya tidak lagi "mendewakan" kecepatan meski credo ini masih tetap dipegang oleh para pemimpin redaksi di newsroom berita online, termasuk Kompas.com selaku media arus utama (mainstream) sekalipun.

Lalu bagaimana Kompasiana sebagai media sosial? Poin saya adalah, TIDAK PERLU MENGEJAR KECEPATAN ITU!

Lalu apa yang harus dilakukan? Lebih baik pastikan terlebih dahulu terjadi-tidaknya peristiwa, pahami dulu duduk perkaranya jika peristiwa benar-benar terjadi, lihat semua fakta yang sudah terungkap, tautkan peristiwa ini dengan peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, cari fakta baru untuk sebuah new (baru) atau kebaruan (novelty), selalu merujuk pada terjadinya peristiwa dan fakta yang terungkap, gunakan pendapat pakar yang sangat ahli di bidangnya sebagai rujukan (referensi), dan cari second resources (buku, kamus, ensiklopedia), kemudian berpendapatlah atas fakta yang sudah (atau belum terungkap) dengan tetap merujuk pada duduknya perkara dan terjadinya peristiwa serta pendapat/analisis para pakar.

Mengapa saya perlu njembrengin serenceng langkah di atas, sebab itulah senjata kita semua sebagai warga untuk menulis di media sosial. Menulis tetap harus beretika, baik bagi warga biasa apalagi jurnalis profesional. Kenapa? Karena output-nya atau hasil tulisan/analisis dibaca banyak orang. Kalau jurnalis profesional berpegang pada kode etik jurnalistik, bagaimana kode etik warga menulis? Dalam setiap kesempatan berbagi di pelatihan menulis, saya selalu menekankan kepada warga penulis, gunakanlah etika (ethics) yang berlaku universal atau umum (contoh tidak boleh berbohong, jujur, tidak boleh menipu). Etiket (sopan santun) di dunia nyata dan sama juga dengan "netiket" di dunia maya, apalagi menyangkut etika moral.

Untuk konteks media sosial, sekali lagi saya menekankan, "Jangan terlalu 'mendewakan' kecepatan, yang penting ketepatan dan kebenaran!"

Kembali ke soal pernyataan saya beberapa bulan lalu bahwa "soal benar-tidaknya analisis itu urusan belakang", poinnya bagi warga penulis adalah; JANGAN TAKUT BERPENDAPAT!

Jangankan pendapat warga yang merujuk pada media yang sudah termuat, pendapat pakar saja bisa keliru. Ini bukan berarti pendapat warga "ngasal", tetap harus memegang etika dan merujuk pada referensi. Hal yang sangat saya sayangkan atas tulisan Heru Andika yang tulisannya banyak dibaca orang itu, bukan karena minim referensi, tetapi tulisan itu sama-sekali TANPA MENYERTAKAN RUJUKAN. Kesannya bagi pembaca, termasuk saya, seperti dongeng, spekulasi, atau karangan yang digubah sendiri (tanpa bermaksud mengecilkan usaha Heru Andika). Mungkin kalau saja ia menyertakan rujukan atau sumber dari mana datangnya cerita, tulisannya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Tentu saja saya tidak sepaham kalau semua baru ditulis jika keadaan sudah clear, atau fakta sudah terungkap semua. Kalau memegang prinsip ini, tidak akan pernah ada berita atau analisis, misalnya, peristiwa kecelakaan AirAsia QZ8501. Dalam jurnalistik, cetak maupun online, terhadap peristiwa yang sifatnya updating atau developing news, kebenaran yang dikejar sifatnya sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun