Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Coba Menghidupkan Kembali "Gelar Komentar"

11 Januari 2015   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14209710221789686612

[caption id="attachment_390114" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi komentar pada artikel Kompasiana. (Kompasiana)"][/caption]

Sahabat Kompasianers yang budiman, izinkan saya berbagi pengalaman saat pertama-tama membangun Kompasiana sebagai blog sosial beberapa tahun yang lalu...

Sebagaimana yang telah saya tulis dalam buku Kompasiana Etalase Warga Biasa, semula Kompasiana hadir eksklusif semata-mata untuk jurnalis di lingkungan Kompas-Gramedia, khususnya jurnalis Harian Kompas, plus beberapa blogger tamu. Jujur, karena menyandang nama Kompas, blog sosial ini kemudian melejit meninggalkan blog-blog lainnya yang sudah ada sebelumnya. Karena sifatnya yang eksklusif, pembaca hanya boleh menulis di kolom komentar, tidak punya halaman (baca lapak) sendiri.

Pengalaman adalah guru terbaik dan kekeliruan sering menunjukkan jalan benar yang harus ditempuh, maka seiring dengan minat pembaca berkomentar di fitur "komentar" untuk sebuah tulisan yang sedemikian besar, saya dan tim IT yang dimotori Mas Kandar (kini bekerja untuk Detik), mempersiapkan bagaimana jika Kompasiana dibuka untuk umum menjadi blog publik atau blog sosial. Saat itu saya melihat, betapa komentar dari Pak Prayitno Ramelan, Mas Yulyanto, dan Mbak Linda Djalil, sedemikian berisi, informatif dan sangat komprehensif.

Saya tidak melihat perbedaan mereka berkomentar atau membuat satu postingan. Karena mereka tidak/belum punya akun, saya mencoba membuatkan akun dengan nama "OpiniPublik", yaitu akun keroyokan, di mana masing-masing komentar yang panjang itu saya jadikan satu postingan tersendiri. Hasilnya? Di luar dugaan... postingan yang semula hanya "sekadar komentar" itu tetap digemari pembaca, bahkan beberapa mengalahkan postingan konten jurnalis atau konten blogger tamu dari sisi keterbacaan!

Demikianlah, atas usulan beberapa teman seperti Pak Prayitno Ramelan, akhirnya Kompasiana dibuka untuk publik, sampai sekarang, dan kini telah menjadi media pertukaran informasi warga yang ramai sekali dengan segala plus-minusnya, dengan segala pujian-cemoohannya. Opini publik yang semula sekadar "Gelar Komentar" (nama spontan yang terlintas di benak saya saat itu), menjadi lapak privat yang memiliki halaman profil sendiri untuk masing-masing penulis.

Sekarang.... saya ingin menghidupkan kembali "Gelar Komentar" itu!

Lho, kenapa? Bukankah sekarang masing-masing orang dipersilakan punya akun, lapak dan halaman profil sendiri? Mengapa harus menggunakan "Gelar Komentar" lagi? Mungkin ada sebagian sahabat yang bertanya seperti itu. Tentu saja pertanyaan ini benar adanya. Izinkan saya menjawabnya, apa alasannya, apa diferensiasinya, dan varian baru apa (meminjam istilah catur) yang akan saya tawarkan.

Agak sedikit membocorkan "rahasia dapur" Kompasiana, bahwa saat ini Kompasiana sedang berbenah untuk membuat tampilan baru, fitur baru, dan dengan mesin baru tentunya. Dalam mesin baru itu, para Kompasianer bisa mengomentari sebuah artikel bukan sekadar lewat komentar, melainkan lewat artikel baru. Bukan soal apakah artikel baru itu kontra atau mendukung artikel yang diminatinya, tetapi nanti bisa dihitung seberapa besar/banyak sebuah artikel memperoleh tanggapan baru dalam bentuk artikel, tidak semata dalam bentuk komentar, sedangkan fitur komentar dan preferensi tetap ada.

Sambil mempersiapkan fitur baru, wajah baru, dan mesin baru Kompasiana hadir, saya awali dengan "mundur ke belakang" dengan mencoba menghidupkan kembali "Gelar Komentar". Apa keunikannya?

"Gelar Komentar" baru yang saya maksudkan lebih untuk merekapitulasi (round up) tulisan masing-masing Kompasianer, yaitu tulisan Anda sendiri. Ini juga hasil ide "blink" (sekejap) yang saya dapatkan kemarin di saat saya mengusulkan kepada seorang pemberi komentar agar lebih baik menulis satu artikel utuh saja membalas artikel yang saya buat, daripada sekadar komentar. Tentu bukan berarti komentar kurang bermakna, tetapi biasanya komentar hanya pendek saja. Kalau komentarnya panjang dan terdiri dari beberapa aliena, bukankah lebih baik membuat satu postingan saja.

Saya sadar, saya tidak bisa memaksa orang untuk membuat satu artikel utuh daripada membuat komentar panjang. Di sinilah ide muncul! Saya bisa merekap sendiri komentar-komentar bernas sahabat Kompasianer untuk saya jadikan artikel tersendiri. Well.... yang semula hanya membuat satu artikel tunggal, dengan banyaknya komentar bernas yang benar-benar memperkaya, menambah kedalaman, menghadirkan sudut pandang lain, saya bisa menghadirkan satu atau bahkan beberapa "tulisan/artikel baru" yang kontennya berasal komentar pembaca.

Apakah penjelasan saya masih terasa mengawang-awang? Baiklah, saya akan beri contoh konkret...

Kemarin, saya membuat satu artikel dan langsung menayangkannya di Kompasiana dengan judul Soal Kebebasan Beragama, Belajarlah ke Jerman. Artikel itu menuai beragam komentar, baik pro maupun kontra. Bukan masalah, sebab nature komentar adalah pro-kontra. Secara pribadi, misalnya, saya bisa men-judge, bisa menentukan mana komentar terkait yang akan saya jadikan konten untuk artikel baru yang saya ciptakan. Ini sama saja jika sahabat Kompasianer menampilkan satu status di Facebook, status tersebut dikomentari banyak orang dan relevan, Anda bisa meng-copy paste keriuhan itu menjadi sebuah artikel bermanfaat di Kompasiana! Ide yang sangat sederhana, bukan?

Nah, dari para pemberi komentar atas tulisan di atas itulah, tanpa harus meminta izin kepada penulis komentar, saya bisa merekap komentar-komentar bernas itu sebagai berikut:

Nararya: Pak Pepih, Anda rupanya berinteraksi dengan buku Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World (?).

Jika iya, saya ada sedikit komentar mengenai buku ini:

a. Buku ini sangat minim mendapat perhatian para sejarahwan. Sedikit pengamatan online saja. Kalau kita ketik review para historians terhadap buku ini, saya sudah lakukan, dan tidak menemukan satu pun. Mungkin kalau ada, Pak Pepih bisa rekomendasikan.

b. Ada beberapa artikel journal maupun buku yang merujuk kepada rekonstruksi Armstrong, tetapi umumnya negatif. Mis., mengenai penyebab utama Perang Salib, dalam tingkat tertentu Armstrong berasersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya. Tetapi, James M. Powell (”Rereading the Crusades”, 6663-664) mengomentari asersi Armstrong tersebut sebagai sebuah pandangan yang “…merely the late-twentieth century version, post-modern and a bit Gnostic”. Powell merujuk kepada sejumlah tulisan dari para historians yang sangat meragukan bahwa fanatisme agama merupakan pemicu dari Perang Salib. Asersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya, sebenarnya merupakan buah dari “paralelomania” antara kondisi era kontemporer (yang kerap sarat dengan nuansa ini) kemudian dipakai sebagai lensa untuk membaca Perang Salib.

Masih dalam rangka mengomentari asersi di atas, Powel mengutip Chritopher Dawson (pakar dalam bidang cultural history) yang menyatakan, “this way of writing history is unhistorical, since it involves the subordination of the past to the present.” (Making of Europe, 16).

Catatan: Mendiang profesor Powell adalah seorang historian yang ahli dalam bidang sejarah Eropa pada Abad Pertengahan.

BhayuSaya sependapat dengan alinea terakhir, di mana saya juga pernah menuliskan bahwa Charlie Hebdo itu atheis-sekuler-hedonis. Mereka menyerang “organized religion” terutama “Abrahamic religion”, bukan hanya Islam. Saya pikir, Perang Salib sebenarnya menimbulkan luka dalam di Eropa justru karena mereka sadar ada budaya yang lebih beradab dan maju daripada mereka. Saat itu, memang Eropa dalam abad kegelapan. Sayangnya, kekhalifahan Islam sendiri juga tidak amanah. Setelah penaklukkan Eropa yang gilang-gemilang, mereka gemar berpesta-pora. Tak heran begitu mudahnya tentara Mongol yang barbar (bukan tentara Salib) menghancurkan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Jadi memang kita harus membangun kembali budaya saling percaya itu. Kalau Jerman, kasusnya agak beda. Karena saya pernah punya pacar orang Jerman yang S-2, dia bilang orang jerman lebih terluka pada Hitler dan Nazi daripada Islam. Makanya mereka lebih toleran terhadap Islam daripada Prancis dan negara UE lain.

Cahaya HatiBoleh juga belajar ke Amerika, Pak. Di sini (Amerika) juga kebebasan beragama dijamin. Agama-agama besar diajarkan juga di sekolah-sekolah sekedar untuk pengenalan bagi murid-murid. Kalau Anda mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan public service, dsb, karena agama yang Anda anut, ada Undang-undang yang melindungi. Di sekolah sejak dini juga diajarkan anti-discrimination, anti-hate, dsb. Walau tentu ada saja kelompok "Islamophobia" yang tidak kenal lelah menyudutkan Islam tapi pengikutnya tidak banyak dan biasanya malu-malu. Kebijakan Luar Negeri Amerika memang mengerikan tapi di dalam negeri semua pemeluk agama terlindungi dan bebas beribadah.
Untuk saya dan mungkin non Jerman lain di Jerman, isi konstitusi Jerman "Die Freiheit des Glaubens (KEBEBASAN MEMILIKI KEPERCAYAAN), des Gewissens (NURANI) und die Freiheit desreligiosen (DAN KEBEBASAN BERAGAMA) und weltanschaulichen Bekenntnisses (DAN PENGAKUAN/KEPERCAYAAN KEDUNIAWIAN/IDEOLOGIS) sind unverletzlich (DIJUNJUNG TINGGI=DIHARGAI=DIJAMIN)" memang meneduhkan dan menenangkan, karena artinya dalam institusi pemerintahan resmi kami dilindungi dan bisa menuntut perlakuan sama dengan warga negara Jerman.

Bahkan ibu Kanselir Merkel, dalam pidato awal tahunnya beberapa hari y.l. mengkritik tajam aksi PEGIDA Jerman (gerakan anti Islamisasi) berdasar atas konstitusi ini. Anti Islamisasi ini saya kira lahir karena ulah para Salafist Jerman di beberapa tempat cukup demonstratif ditambah adanya juga aliran anggota ISIS datang dari Jerman, sementara ada orang Jerman merasa terganggu karena banyak di Jerman tidak lagi menganggap agama penting atau bahkan tidak beragama atau karena memang penganut Neonazis masih kuat melekat atau juga karena terutama di Jerman bagian Timur, kondisi perekonomiannya tidak segemilang di Jerman bagian Barat.

Prakteknya, saya sendiri dalam bersosialisasi sehari-hari baik itu dengan orang Jerman dan non Jerman tentu seringkali menangkap kekhawatiran akan "Islam", karena mereka juga membaca dan mendengar berita dunia. Kekhawatiran karena prasangka, seperti Einstein katakan menghancurkannya lebih sulit dari memecah atom, bisa jadi terbentuk karena berita atau ketakutan berlebihan sehingga timbullah istilah Islamophobie ini sering diberitakan.

Dan harus saya sebutkan di sini, para pelarian dari Syria, Irak dan Afrika yang notabene banyaknya memeluk Islam, tidak selalu memudahkan Pemerintah Jerman yang membuka pintunya untuk menerima para pelarian ini. Sehingga, seringkali orang hanya memasukkan pemeluk Islam dalam satu panci, padahal tidak sedikit diantara pelarian ini pun orang baik-baik dan lari karena politik bukan karena ekonomi. Demikian juga tidak sedikit muslim di Jerman yang sudah berintegrasi penuh, dihormati dan diterima pula oleh non muslim di Jerman.

Kembali ke konstitusi Jerman, betul kang … Konstitusi Jerman ini bagi saya pribadi sangat mendasar dan menjamin kebebasan saya untuk beragama.

Meinung GedankenJempol selaiknya diberikan kepada Jerman untuk masalah ini. Kebebasan bagi seorang individu untuk memeluk maupun menjalankan ibadah agama di Jerman memang dijamin dan dilindungi sepenuhnya oleh UUD Jerman. Berbagai agama termasuk sub-ordinatenya (baca: pecahan atau sekte) maupun aliran kepercayaan bisa ditemukan di sana dan pengikut-pengikutnya bisa melaksanakan kegiatan keagamaan/kepercayaan tsb dengan bebas.

Satu hal pak Pepih Nugraha, pertanyaan ini juga pernah dilontarkan oleh teman-teman lain yang berkeluh kesah kepada saya, apakah kita perlu belajar pelaksanaan dan penerapan ‘kebebasan’ tersebut dari Jerman. Karena dalam konteks real, negara tercinta kita ini belum bisa memberikan rasa aman bagi para pemeluk untuk menjalankan kegiatan agama/kepercayaan meskipun UUD kita, sama seperti di sana (Jerman), menjamin kebebasan tsb.

Soal ‘ketakutan’ bangsa Barat, Eropa khususnya terhadap Islam, saya pikir itu disebabkan kekurangtahuan bangsa Barat terhadap ajaran Islam. Ditambah lagi pengambilan ‘potret salah’ beberapa media masa sana atas tragedi kemanusiaan/kekejian yang dilakukan oleh ISIS, kelompok yang mengambil klaim sebagai pelaksana ajaran Islam yang murni, semakin menambah kekalutan mereka.

Belum lagi image buruk yang dimunculkan sendiri oleh kempok maupun individu yang membawa-bawa Islam.
Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kehebohan di Jerman karena munculnya satuan polisi Syariah yang didirikan oleh pengikut Salafi di kota Wuppertal. Satuan ini sempat melakukan patroli dan melakukan kontrol pengawasan. Tindakan itu sendiri merupakan bagian awal dari ideologi keras yang bertujuan untuk mendirikan negara Syariah di Jerman. Jelas berbenturan dengan UUD Jerman yang berlandaskan sekularisme sehingga tak heran bermunculan kritik, kecaman dan kemarahan warga Jerman.

Belum lagi bila kita berbicara mengenai imigran-imigran. Cukup banyak imigran2 dari negara2 Arab yang masuk ke Eropa tanpa kesiapan dan kecakapan yang cukup, baik mental, pendidikan, ketrampilan maupun materi. Tiga tahun yang lalu saat saya masih mengerjakan suatu proyek sosial di Jerman, tepatnya di kota Duesseldorf terdapat suatu cerita. Sepasang suami istri dari negara Arab berimigrasi ke Jerman lengkap dengan 12 (dua belas) anak-anaknya dengan rentang usia 6 bulan sampai 17 tahun. Tak ada dari mereka yang bisa berbahasa Jerman, bahasa Inggris pun sangat sangat minim. Pasangan tersebut tak memiliki pendidikan dan ketrampilan sehingga tak bisa disalurkan ke bursa kerja dan akhirnya mereka pun dimasukkan ke dalam program tunjangan sosial. Sampai di sini masih ok, namun mulailah muncul tuntutan-tuntutan dari mereka kepada pemerintah kota yang seringkali mengatasnamakan ajaran agama. Mulai dari tuntutan penyediaan rumah yang cukup besar untuk bisa menampung 14 orang termasuk harus adanya ruang ibadah untuk sholat bersama-sama (rumah seukuran ini di mana carinya dan bagaimana pemerintah kota membiayainya?), ketidakmauan mereka untuk memasukkan beberapa anaknya ke TK (TK sekuler) karena metodanya yang bagi mereka ‘tidak islami’, larangan bagi anak-anak perempuan ke sekolah karena ‘di Islam tidak penting bagi wanita untuk memiliki pendidikan’. Kalaupun sekolah anak-anak tersebut harus dimasukkan ke sekolah khusus perempuan. Dan di sekolah khusus tersebut pengajarnya harus perempuan dan harus muslimah pula. Dan berbagai tuntutan lainnya.

Saya dengan kewenangan kerja yang tidak bersentuhan langsung dengan keluarga ini saja mulai geregetan. Sempat terlintas di benak; seandainya keluarga ini imigrasi ke Indonesia, sanggupkah pemerintah maupun masyarakat melayani dan menghadapi tuntutan2 mereka? Dan keluarga seperti ini tidak hanya didapati di kota Duesseldorf, namun juga di kota-kota lain seperti Duisburg, Dortmund, Berlin, Hannover, Bremen, Hamburg dan lainnya.
Kejadian-kejadian di atas turut memberikan andil semakin ‘miringnya’ image Islam pada sebagian kecil masyarakat Eropa. Untungnya, sebagian besar sudah bisa memahami dan membedakan.
**
Demikianlah.... Sekarang betapa kayanya saya akan pengetahuan baru! Dengan mudahnya saya memperoleh sudut pandang baru yang datang dari pembaca. Komentar Meinung Gedanken dan Cahaya Hati, misalnya, saya pikir itu bisa dijadikan artikel baru. Dari yang semula satu artikel yang mungkin minim referensi dan pendapat orang lain, sekarang saya telah mendapatkan informasi baru yang terkait langsung dengan artikel yang saya tulis.
Pro-kontra itu biasa dan tidak masalah saya masukkan, tetapi saya bisa menentukan (secara subjektif) komentar mana yang akan saya panggungkan sebagai bagian dari konten baru. Sekali lagi, bukan berarti komentar lain yang tidak dipanggungkan tidak bernilai. Dari setiap komentar yang dipanggungkan, terbuka peluang bagi saya untuk mengedit "typo"-nya (bukan mengedit gagasannya), sekadar menyeragamkan bentuk tampilan saja, misalnya memanjangkan "utk" menjadi "untuk" atau "tsb" menjadi "tersebut", "UU" menjadi "Undang-undang" dan seterusnya, hitung-hitung latihan sebagai editor.

Nah, para sahabat Kompasianer, Anda juga bisa melakukan hal-hal kecil sebagaimana saya lakukan untuk sebuah artikel yang sekiranya mendapat tanggapan komprehensif yang memperkaya satu artikel. Tujuannya tidak lain sebagai rekapitulasi komentar dan pancingan terhadap ide baru sebagai bahan untuk membuat artikel berikutnya. Tentu saja Anda dapat memberi kata pengantar di awal tulisan dan epilog di bagian terakhir untuk semua komentar yang dipanggungkan sebagai bagian konten baru. Agar memudahkan membaca dan mencarinya di lain waktu, berilah hashtag #GelarKomentar. Dengan cara ini, semua komentar yang dijadikan tulisan baru oleh masing-masing penulis bisa dibaca dan direkapitulasi.

Sahabat Kompasianer dapat melihat hasil akhir apa yang saya sebut sebagai #GelarKomentar ini dalam artikel baru Ketakutan Barat Akibat Kurang Memahami Ajaran Islam. Silakan!

Salam inovatif....

***
Bintaro, 11 Januari 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun