[caption id="attachment_390114" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi komentar pada artikel Kompasiana. (Kompasiana)"][/caption]
Sahabat Kompasianers yang budiman, izinkan saya berbagi pengalaman saat pertama-tama membangun Kompasiana sebagai blog sosial beberapa tahun yang lalu...
Sebagaimana yang telah saya tulis dalam buku Kompasiana Etalase Warga Biasa, semula Kompasiana hadir eksklusif semata-mata untuk jurnalis di lingkungan Kompas-Gramedia, khususnya jurnalis Harian Kompas, plus beberapa blogger tamu. Jujur, karena menyandang nama Kompas, blog sosial ini kemudian melejit meninggalkan blog-blog lainnya yang sudah ada sebelumnya. Karena sifatnya yang eksklusif, pembaca hanya boleh menulis di kolom komentar, tidak punya halaman (baca lapak) sendiri.
Pengalaman adalah guru terbaik dan kekeliruan sering menunjukkan jalan benar yang harus ditempuh, maka seiring dengan minat pembaca berkomentar di fitur "komentar" untuk sebuah tulisan yang sedemikian besar, saya dan tim IT yang dimotori Mas Kandar (kini bekerja untuk Detik), mempersiapkan bagaimana jika Kompasiana dibuka untuk umum menjadi blog publik atau blog sosial. Saat itu saya melihat, betapa komentar dari Pak Prayitno Ramelan, Mas Yulyanto, dan Mbak Linda Djalil, sedemikian berisi, informatif dan sangat komprehensif.
Saya tidak melihat perbedaan mereka berkomentar atau membuat satu postingan. Karena mereka tidak/belum punya akun, saya mencoba membuatkan akun dengan nama "OpiniPublik", yaitu akun keroyokan, di mana masing-masing komentar yang panjang itu saya jadikan satu postingan tersendiri. Hasilnya? Di luar dugaan... postingan yang semula hanya "sekadar komentar" itu tetap digemari pembaca, bahkan beberapa mengalahkan postingan konten jurnalis atau konten blogger tamu dari sisi keterbacaan!
Demikianlah, atas usulan beberapa teman seperti Pak Prayitno Ramelan, akhirnya Kompasiana dibuka untuk publik, sampai sekarang, dan kini telah menjadi media pertukaran informasi warga yang ramai sekali dengan segala plus-minusnya, dengan segala pujian-cemoohannya. Opini publik yang semula sekadar "Gelar Komentar" (nama spontan yang terlintas di benak saya saat itu), menjadi lapak privat yang memiliki halaman profil sendiri untuk masing-masing penulis.
Sekarang.... saya ingin menghidupkan kembali "Gelar Komentar" itu!
Lho, kenapa? Bukankah sekarang masing-masing orang dipersilakan punya akun, lapak dan halaman profil sendiri? Mengapa harus menggunakan "Gelar Komentar" lagi? Mungkin ada sebagian sahabat yang bertanya seperti itu. Tentu saja pertanyaan ini benar adanya. Izinkan saya menjawabnya, apa alasannya, apa diferensiasinya, dan varian baru apa (meminjam istilah catur) yang akan saya tawarkan.
Agak sedikit membocorkan "rahasia dapur" Kompasiana, bahwa saat ini Kompasiana sedang berbenah untuk membuat tampilan baru, fitur baru, dan dengan mesin baru tentunya. Dalam mesin baru itu, para Kompasianer bisa mengomentari sebuah artikel bukan sekadar lewat komentar, melainkan lewat artikel baru. Bukan soal apakah artikel baru itu kontra atau mendukung artikel yang diminatinya, tetapi nanti bisa dihitung seberapa besar/banyak sebuah artikel memperoleh tanggapan baru dalam bentuk artikel, tidak semata dalam bentuk komentar, sedangkan fitur komentar dan preferensi tetap ada.
Sambil mempersiapkan fitur baru, wajah baru, dan mesin baru Kompasiana hadir, saya awali dengan "mundur ke belakang" dengan mencoba menghidupkan kembali "Gelar Komentar". Apa keunikannya?
"Gelar Komentar" baru yang saya maksudkan lebih untuk merekapitulasi (round up) tulisan masing-masing Kompasianer, yaitu tulisan Anda sendiri. Ini juga hasil ide "blink" (sekejap) yang saya dapatkan kemarin di saat saya mengusulkan kepada seorang pemberi komentar agar lebih baik menulis satu artikel utuh saja membalas artikel yang saya buat, daripada sekadar komentar. Tentu bukan berarti komentar kurang bermakna, tetapi biasanya komentar hanya pendek saja. Kalau komentarnya panjang dan terdiri dari beberapa aliena, bukankah lebih baik membuat satu postingan saja.