Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Coba Menghidupkan Kembali "Gelar Komentar"

11 Januari 2015   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya Hati: Boleh juga belajar ke Amerika, Pak. Di sini (Amerika) juga kebebasan beragama dijamin. Agama-agama besar diajarkan juga di sekolah-sekolah sekedar untuk pengenalan bagi murid-murid. Kalau Anda mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan public service, dsb, karena agama yang Anda anut, ada Undang-undang yang melindungi. Di sekolah sejak dini juga diajarkan anti-discrimination, anti-hate, dsb. Walau tentu ada saja kelompok "Islamophobia" yang tidak kenal lelah menyudutkan Islam tapi pengikutnya tidak banyak dan biasanya malu-malu. Kebijakan Luar Negeri Amerika memang mengerikan tapi di dalam negeri semua pemeluk agama terlindungi dan bebas beribadah.
Untuk saya dan mungkin non Jerman lain di Jerman, isi konstitusi Jerman "Die Freiheit des Glaubens (KEBEBASAN MEMILIKI KEPERCAYAAN), des Gewissens (NURANI) und die Freiheit desreligiosen (DAN KEBEBASAN BERAGAMA) und weltanschaulichen Bekenntnisses (DAN PENGAKUAN/KEPERCAYAAN KEDUNIAWIAN/IDEOLOGIS) sind unverletzlich (DIJUNJUNG TINGGI=DIHARGAI=DIJAMIN)" memang meneduhkan dan menenangkan, karena artinya dalam institusi pemerintahan resmi kami dilindungi dan bisa menuntut perlakuan sama dengan warga negara Jerman.

Bahkan ibu Kanselir Merkel, dalam pidato awal tahunnya beberapa hari y.l. mengkritik tajam aksi PEGIDA Jerman (gerakan anti Islamisasi) berdasar atas konstitusi ini. Anti Islamisasi ini saya kira lahir karena ulah para Salafist Jerman di beberapa tempat cukup demonstratif ditambah adanya juga aliran anggota ISIS datang dari Jerman, sementara ada orang Jerman merasa terganggu karena banyak di Jerman tidak lagi menganggap agama penting atau bahkan tidak beragama atau karena memang penganut Neonazis masih kuat melekat atau juga karena terutama di Jerman bagian Timur, kondisi perekonomiannya tidak segemilang di Jerman bagian Barat.

Prakteknya, saya sendiri dalam bersosialisasi sehari-hari baik itu dengan orang Jerman dan non Jerman tentu seringkali menangkap kekhawatiran akan "Islam", karena mereka juga membaca dan mendengar berita dunia. Kekhawatiran karena prasangka, seperti Einstein katakan menghancurkannya lebih sulit dari memecah atom, bisa jadi terbentuk karena berita atau ketakutan berlebihan sehingga timbullah istilah Islamophobie ini sering diberitakan.

Dan harus saya sebutkan di sini, para pelarian dari Syria, Irak dan Afrika yang notabene banyaknya memeluk Islam, tidak selalu memudahkan Pemerintah Jerman yang membuka pintunya untuk menerima para pelarian ini. Sehingga, seringkali orang hanya memasukkan pemeluk Islam dalam satu panci, padahal tidak sedikit diantara pelarian ini pun orang baik-baik dan lari karena politik bukan karena ekonomi. Demikian juga tidak sedikit muslim di Jerman yang sudah berintegrasi penuh, dihormati dan diterima pula oleh non muslim di Jerman.

Kembali ke konstitusi Jerman, betul kang … Konstitusi Jerman ini bagi saya pribadi sangat mendasar dan menjamin kebebasan saya untuk beragama.

Meinung Gedanken: Jempol selaiknya diberikan kepada Jerman untuk masalah ini. Kebebasan bagi seorang individu untuk memeluk maupun menjalankan ibadah agama di Jerman memang dijamin dan dilindungi sepenuhnya oleh UUD Jerman. Berbagai agama termasuk sub-ordinatenya (baca: pecahan atau sekte) maupun aliran kepercayaan bisa ditemukan di sana dan pengikut-pengikutnya bisa melaksanakan kegiatan keagamaan/kepercayaan tsb dengan bebas.

Satu hal pak Pepih Nugraha, pertanyaan ini juga pernah dilontarkan oleh teman-teman lain yang berkeluh kesah kepada saya, apakah kita perlu belajar pelaksanaan dan penerapan ‘kebebasan’ tersebut dari Jerman. Karena dalam konteks real, negara tercinta kita ini belum bisa memberikan rasa aman bagi para pemeluk untuk menjalankan kegiatan agama/kepercayaan meskipun UUD kita, sama seperti di sana (Jerman), menjamin kebebasan tsb.

Soal ‘ketakutan’ bangsa Barat, Eropa khususnya terhadap Islam, saya pikir itu disebabkan kekurangtahuan bangsa Barat terhadap ajaran Islam. Ditambah lagi pengambilan ‘potret salah’ beberapa media masa sana atas tragedi kemanusiaan/kekejian yang dilakukan oleh ISIS, kelompok yang mengambil klaim sebagai pelaksana ajaran Islam yang murni, semakin menambah kekalutan mereka.

Belum lagi image buruk yang dimunculkan sendiri oleh kempok maupun individu yang membawa-bawa Islam.
Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi kehebohan di Jerman karena munculnya satuan polisi Syariah yang didirikan oleh pengikut Salafi di kota Wuppertal. Satuan ini sempat melakukan patroli dan melakukan kontrol pengawasan. Tindakan itu sendiri merupakan bagian awal dari ideologi keras yang bertujuan untuk mendirikan negara Syariah di Jerman. Jelas berbenturan dengan UUD Jerman yang berlandaskan sekularisme sehingga tak heran bermunculan kritik, kecaman dan kemarahan warga Jerman.

Belum lagi bila kita berbicara mengenai imigran-imigran. Cukup banyak imigran2 dari negara2 Arab yang masuk ke Eropa tanpa kesiapan dan kecakapan yang cukup, baik mental, pendidikan, ketrampilan maupun materi. Tiga tahun yang lalu saat saya masih mengerjakan suatu proyek sosial di Jerman, tepatnya di kota Duesseldorf terdapat suatu cerita. Sepasang suami istri dari negara Arab berimigrasi ke Jerman lengkap dengan 12 (dua belas) anak-anaknya dengan rentang usia 6 bulan sampai 17 tahun. Tak ada dari mereka yang bisa berbahasa Jerman, bahasa Inggris pun sangat sangat minim. Pasangan tersebut tak memiliki pendidikan dan ketrampilan sehingga tak bisa disalurkan ke bursa kerja dan akhirnya mereka pun dimasukkan ke dalam program tunjangan sosial. Sampai di sini masih ok, namun mulailah muncul tuntutan-tuntutan dari mereka kepada pemerintah kota yang seringkali mengatasnamakan ajaran agama. Mulai dari tuntutan penyediaan rumah yang cukup besar untuk bisa menampung 14 orang termasuk harus adanya ruang ibadah untuk sholat bersama-sama (rumah seukuran ini di mana carinya dan bagaimana pemerintah kota membiayainya?), ketidakmauan mereka untuk memasukkan beberapa anaknya ke TK (TK sekuler) karena metodanya yang bagi mereka ‘tidak islami’, larangan bagi anak-anak perempuan ke sekolah karena ‘di Islam tidak penting bagi wanita untuk memiliki pendidikan’. Kalaupun sekolah anak-anak tersebut harus dimasukkan ke sekolah khusus perempuan. Dan di sekolah khusus tersebut pengajarnya harus perempuan dan harus muslimah pula. Dan berbagai tuntutan lainnya.

Saya dengan kewenangan kerja yang tidak bersentuhan langsung dengan keluarga ini saja mulai geregetan. Sempat terlintas di benak; seandainya keluarga ini imigrasi ke Indonesia, sanggupkah pemerintah maupun masyarakat melayani dan menghadapi tuntutan2 mereka? Dan keluarga seperti ini tidak hanya didapati di kota Duesseldorf, namun juga di kota-kota lain seperti Duisburg, Dortmund, Berlin, Hannover, Bremen, Hamburg dan lainnya.
Kejadian-kejadian di atas turut memberikan andil semakin ‘miringnya’ image Islam pada sebagian kecil masyarakat Eropa. Untungnya, sebagian besar sudah bisa memahami dan membedakan.
**
Demikianlah.... Sekarang betapa kayanya saya akan pengetahuan baru! Dengan mudahnya saya memperoleh sudut pandang baru yang datang dari pembaca. Komentar Meinung Gedanken dan Cahaya Hati, misalnya, saya pikir itu bisa dijadikan artikel baru. Dari yang semula satu artikel yang mungkin minim referensi dan pendapat orang lain, sekarang saya telah mendapatkan informasi baru yang terkait langsung dengan artikel yang saya tulis.
Pro-kontra itu biasa dan tidak masalah saya masukkan, tetapi saya bisa menentukan (secara subjektif) komentar mana yang akan saya panggungkan sebagai bagian dari konten baru. Sekali lagi, bukan berarti komentar lain yang tidak dipanggungkan tidak bernilai. Dari setiap komentar yang dipanggungkan, terbuka peluang bagi saya untuk mengedit "typo"-nya (bukan mengedit gagasannya), sekadar menyeragamkan bentuk tampilan saja, misalnya memanjangkan "utk" menjadi "untuk" atau "tsb" menjadi "tersebut", "UU" menjadi "Undang-undang" dan seterusnya, hitung-hitung latihan sebagai editor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun