Saya sadar, saya tidak bisa memaksa orang untuk membuat satu artikel utuh daripada membuat komentar panjang. Di sinilah ide muncul! Saya bisa merekap sendiri komentar-komentar bernas sahabat Kompasianer untuk saya jadikan artikel tersendiri. Well.... yang semula hanya membuat satu artikel tunggal, dengan banyaknya komentar bernas yang benar-benar memperkaya, menambah kedalaman, menghadirkan sudut pandang lain, saya bisa menghadirkan satu atau bahkan beberapa "tulisan/artikel baru" yang kontennya berasal komentar pembaca.
Apakah penjelasan saya masih terasa mengawang-awang? Baiklah, saya akan beri contoh konkret...
Kemarin, saya membuat satu artikel dan langsung menayangkannya di Kompasiana dengan judul Soal Kebebasan Beragama, Belajarlah ke Jerman. Artikel itu menuai beragam komentar, baik pro maupun kontra. Bukan masalah, sebab nature komentar adalah pro-kontra. Secara pribadi, misalnya, saya bisa men-judge, bisa menentukan mana komentar terkait yang akan saya jadikan konten untuk artikel baru yang saya ciptakan. Ini sama saja jika sahabat Kompasianer menampilkan satu status di Facebook, status tersebut dikomentari banyak orang dan relevan, Anda bisa meng-copy paste keriuhan itu menjadi sebuah artikel bermanfaat di Kompasiana! Ide yang sangat sederhana, bukan?
Nah, dari para pemberi komentar atas tulisan di atas itulah, tanpa harus meminta izin kepada penulis komentar, saya bisa merekap komentar-komentar bernas itu sebagai berikut:
Nararya: Pak Pepih, Anda rupanya berinteraksi dengan buku Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and their Impact on Today’s World (?).
Jika iya, saya ada sedikit komentar mengenai buku ini:
a. Buku ini sangat minim mendapat perhatian para sejarahwan. Sedikit pengamatan online saja. Kalau kita ketik review para historians terhadap buku ini, saya sudah lakukan, dan tidak menemukan satu pun. Mungkin kalau ada, Pak Pepih bisa rekomendasikan.
b. Ada beberapa artikel journal maupun buku yang merujuk kepada rekonstruksi Armstrong, tetapi umumnya negatif. Mis., mengenai penyebab utama Perang Salib, dalam tingkat tertentu Armstrong berasersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya. Tetapi, James M. Powell (”Rereading the Crusades”, 6663-664) mengomentari asersi Armstrong tersebut sebagai sebuah pandangan yang “…merely the late-twentieth century version, post-modern and a bit Gnostic”. Powell merujuk kepada sejumlah tulisan dari para historians yang sangat meragukan bahwa fanatisme agama merupakan pemicu dari Perang Salib. Asersi bahwa fanatisme agama merupakan pemicunya, sebenarnya merupakan buah dari “paralelomania” antara kondisi era kontemporer (yang kerap sarat dengan nuansa ini) kemudian dipakai sebagai lensa untuk membaca Perang Salib.
Masih dalam rangka mengomentari asersi di atas, Powel mengutip Chritopher Dawson (pakar dalam bidang cultural history) yang menyatakan, “this way of writing history is unhistorical, since it involves the subordination of the past to the present.” (Making of Europe, 16).
Catatan: Mendiang profesor Powell adalah seorang historian yang ahli dalam bidang sejarah Eropa pada Abad Pertengahan.
Bhayu: Saya sependapat dengan alinea terakhir, di mana saya juga pernah menuliskan bahwa Charlie Hebdo itu atheis-sekuler-hedonis. Mereka menyerang “organized religion” terutama “Abrahamic religion”, bukan hanya Islam. Saya pikir, Perang Salib sebenarnya menimbulkan luka dalam di Eropa justru karena mereka sadar ada budaya yang lebih beradab dan maju daripada mereka. Saat itu, memang Eropa dalam abad kegelapan. Sayangnya, kekhalifahan Islam sendiri juga tidak amanah. Setelah penaklukkan Eropa yang gilang-gemilang, mereka gemar berpesta-pora. Tak heran begitu mudahnya tentara Mongol yang barbar (bukan tentara Salib) menghancurkan ibukota Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Jadi memang kita harus membangun kembali budaya saling percaya itu. Kalau Jerman, kasusnya agak beda. Karena saya pernah punya pacar orang Jerman yang S-2, dia bilang orang jerman lebih terluka pada Hitler dan Nazi daripada Islam. Makanya mereka lebih toleran terhadap Islam daripada Prancis dan negara UE lain.