Hari ke dua puluh dua bulan Desember, selalu jadi hari istimewa untuk semua orang yang pasti pernah menjadi anak.
Hari untuk mengenang ibunya. Hari Ibu.
Ibu yang dalam keseharian sudah menjadi 'sega jangan' (nasi sayur) kata orang Jawa, tidak ada istimewa-istimewanya, pada hari ini menjadi pusat perhatian. Sehari para ibu dimanjakan, dipuja dalam kenangan lewat tulisan dan ucapan-ucapan selamat.
Sebenarnya tak ada tendensi apa pun saat aku menulis ini.
Semuanya berawal dari sebuah cermin usang kecil yang tergantung di sebelah tempat tidurku. Kubilang usang sebab piguranya penuh tambalan isolasi, retak di sana sini.
Bergulingan di kasur sungguh melegakan punggung dan pinggang yang terasa kaku. Terhenti guling-gulingku karena cermin tak sengaja tersentuh kakiku. Kupungut. Aku melihat ke dalam cermin. Hah?!Â
Terlihat wajah yang sangat kukenal. Wajah ibu.
Senyum tipis sekali, cenderung sekadar mengangkat ujung bibir. Sorot matanya penuh kesedihan meski tak setitik pun ada butir embun di pelupuknya. Anak rambut yang halus, merebak kelabu bak kembang jambu di sana sini. Wajah polos, tanpa rias wajah.
Potongan wajah itu membuatku terpana. Mengaduk sudut hati pada terenyuh dan tanya.
Gerangan kesedihan apa yang menjadi beban hatinya sehingga terpancar jelas di wajahnya?
Ibuku, perempuan tangguh yang tak pernah kulihat merasa merasa berat dengan beban hidupnya. Dengan enam orang anak dan suami pegawai swasta sederhana, tak pernah mengeluh dalam hidup berumah tangga dengan bapakku.