Untuk sesaat kedua makhluk itu larut dalam kesedihan.
"Kenapa, Mas? Adakah hari ini dirimu akan memenuhi janji?"Â
Tak sabar ia pun menebak, sebab menurut kabar dari temannya, lelaki ini sudah menduda, istrinya meninggal karena kanker.
Ayas menunggu jawab, tapi kemudian terperangah.
"Aa..uu...." Lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk bicara. Tapi tetap saja tak dapat dipahami apa yang ia bicarakan.
Ayas mengerti dan cepat menguasai diri dari keterkejutan. Perlahan ia elus lengan lelaki yang kini terkulai di perutnya. Ia benahi letak selimut yang menutup pangkuan lelaki itu sebisanya.
Lelaki yang 'selalu' menjadi kekasih hatinya, yang ia tunggu dengan keperawanannya sampai hari ini, bukan lagi lelaki gagah, lincah, dan pandai bicara seperti dulu.
"Aku mengerti, Mas. Kali ini stroke merampas kesempatan kita untuk berjodoh. Aku tak akan bisa merawatmu dalam kondisiku yang juga payah sepertimu,"gumamnya.Â
Ia elus lagi pipi lelaki itu dengan satu tangannya yang masih bisa digerakkan, dan meninggalkan kecupan lembut di ujung hidung lelaki yang sangat dicintainya itu.
Kemudian ia panggil bujang pendamping yang berdiri tak jauh dari mereka, menyerahkan kursi roda dan membiarkan wajah lelaki itu bersimbah air mata lagi.
Ayas pergi dari tempat itu dan tidak menoleh lagi, menyeret kaki pincangnya dan mengeratkan dekap satu tangannya yang lumpuh layu, sedang satu tangannya lagi mencengkeram penyangga tangan segitiga.