Mohon tunggu...
Fajar Kustiawan
Fajar Kustiawan Mohon Tunggu... -

Seorang Pemerhati Sosial, Penggali Rahasia Kehidupan, Penikmat Seni, Pengempul Aksara dan Penghibur Duka yang selalu berusaha ceria agar menjadi insan yang berarti bagi makhluk lainnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Tua Setengah Hari

17 Mei 2016   17:29 Diperbarui: 17 Mei 2016   20:57 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lilpickmeupdotcom.files.wordpress.com

Pagi-pagi pukul 06.00 WIB Anda sudah berangkat kerja. Selama bekerja Anda bercengkerama dengan rekan kerja, tertawa, bermain, meeting sana, meeting sini, membuat planning kerja ke depan untuk kebaikan perusahaan, hingga pulang malam hari bahkan sampai larut. Selalu begitu dari Senin sampai Sabtu.

Sementara Hari minggu, Anda sudah ada janji dengan klien untuk olahraga bareng, janjian dengan atasan untuk diskusi di sebuah resto ternama. Kini pertanyaannya, kapankah waktu untuk keluarga Anda? Kapan terakhir kali Anda bermain, tertawa, bercengkerama dengan anak Anda?

Masih ada waktu setengah hari, ketika Anda kebetulan pulang lebih cepat karena pekerjaan sedang tidak menumpuk. Saat pulang kerja, ternyata anak Anda sedang tertidur pulas. Anda mengusap-usap kepalanya, mencium kening, memegang-megang jemarinya. Mengamati matanya yang bundar menawan. Tidurlah pula Anda di sisinya, seolah mengajaknya mengobrol, sebagai bentuk balas dendam atas kekecewaan Anda karena tidak menjumpainya disaat yang tepat. Kini Anda yang tertidur pulas di sebelahnya.

Tiba-tiba pukulan keras tepat mendarat di muka Anda, dari telapak tangan mungil anak Anda dan tersontak bangun. Ternyata sudah pagi. Anda pun bersiap-siap untuk berangkat kerja kembali.

Kejadian seperti itu sangat sering dijumpai, di era modern seperti ini. Terlebih, bila sang istri juga serupa walau tak sama, misal menjadi pegawai paruh waktu, guru, penjaga toko atau pekerjaan lainnya yang terikat oleh aturan dan waktu.

Bisa jadi Anda dan istri bekerja semuanya, istri juga bekerja dengan alasan malu ijazah sarjana tak terpakai kalau hanya mengasuh anak di rumah atau demi menambahi nafkah keluarga dan mengejar kesejajaran tingkat perekonomian yang memadahi. Soal anak bisa dititipkan kepada orang tua, mertua atau bahkan membayar baby sitter. Pokoknya anak urusan gampang dan belakangan.

Saat Anda berdua pulang kerja. Anak menjadi perhatian utama, bila saja ada yang lecet atau luka padanya. Mata sinis istri Anda langsung tertuju pada orang tua atau pengasuh, dan berbagai kalimat interogasi bercampur emosi keluar di sana. Tidak becus lah, mengecewakan lah, kata-kata itu yang keluar padahal lebih cocok untuk Anda sendiri.

Foto : www.isigood.com
Foto : www.isigood.com
Anda pun mengajak anak bermain, membelikannya mainan yang bagus dan mahal yang ia bisa main sendiri. Anda hanya cukup berada di dekatnya, sambil memegang smartphone, tertawa-tawa karena melihat meme lucu yang dikirim teman Anda. Entah ekspresi anak cukup bahagiakah ia dengan mainan mahalnya?

Waktunya makan malam, istri Anda dengan sisa tenaga yang ada, menyuapi makan anak sambil menonton sinetron kesayangannya di televisi. Saat anak Anda membuang nasi dan membuang gelas minumnya, istri Anda marah dan membentaknya, "Anak nakal!" Julukan yang lebih tepat disematkan untuk istri Anda.

Saat tidur, anak Anda yang sebenarnya belum mengantuk, dipaksa untuk tidur dengan alasan 'sudah malam' padahal Anda sudah kelelahan dan butuh istirahat agar fit bekerja esok harinya. Akhirnya Anda dan istri yang tertidur. Sementara anak Anda belum tidur main dan mengobrol sendiri bersama mainannya.

Seperti biasanya Anda dan istri bangun pagi dan berangkat kerja. Tak lupa cium pipi anak secara 'simbolis' beserta pelukan hambar.

Sampai akhirnya anak Anda di diagnosa dokter sakit parah dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Kini waktu Anda dan istri tertuju padanya. Anda sibuk berdebat dengan dokter mempertanyakan kebenaran hasil diagnosanya. Sementara istri Anda tengah menggenggam tangan mungil yang selama ini hampir tak pernah tergenggam.

Tiba-tiba anak Anda mengerang kesakitan dan bernafas untuk yang terakhir kalinya. Anda dan istri berusaha mengguncang-guncang badannya. Dokter pun memeriksa denyut nadinya. Lalu, menyampaikan ke Anda bahwa nyawanya tak tertolong lagi. Anda menjerit histeris, Anak tercinta begitu cepat diambil Tuhan, mungkin saja Tuhan lebih menyayanginya daripada Anda.

***

Dari kisah diatas, layaknya Anda merenung matang-matang posisi Anda saat ini, apakah Anda termasuk Orang Tua Setengah Hari? Atau Anda masuk kategori di bawah ini :

Pertama, Anda dan istri sama-sama bekerja. Hidup adalah pilihan, dan kita semua hidup dalam pilihan itu. Dengan kondisi serba sulit sekarang ini, tentu membuat Anda mengerahkan segala upaya agar hidup beserta kebutuhannya selalu bisa terpenuhi. Sementara anak dengan berbagai keterbatasannya butuh pendampingan khusus, terlebih dari orang tua yang melahirkannya. Di sinilah letak pilihan itu. Bagi seseorang ini merupakan pilihan sulit, namun bagi lainnya, yang sudah menanamkan prinsip hidup untuk membahagiakan anak dan keluarganya tentu pilihannya sudah jelas. Salah satunya mengalah-lah!

Kedua, istri di rumah tapi Anda bekerja sibuk bahkan sampai larut malam. Tidak hanya pulang malam pergi pagi, ada juga yang baru bisa pulang dalam waktu yang cukup lama (beberapa hari harus meninggalkan rumah). Kembali itu juga pilihan. Anda sebagai seorang suami memanglah bertanggung jawab untuk mencari nafkah keluarga. Tetapi, keluarga juga membutuhkan nafkah bathin. Di sini biasanya seorang istri dan anak diabaikan. Anda pikir, ketika Anda pulang lalu membawa uang atau makanan yang banyak, sudah cukup bagi mereka. Sekali lagi Anda keliru! Tentu, pekerjaan banyak jenisnya dan lagi-lagi Anda bisa memilih yang baik untuk diutamakan. Apakah keluarga masuk dalam pertimbangan Anda dalam memilihnya? Jika tidak, renungkanlah kembali, masih ada setidaknya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Ok, kalau pun Anda harus pulang kerja kondisi malam terus, letakkanlah semua atribut pekerjaan, lalu bersenang-senanglah sepenuh hari dengan anak Anda.

Ketiga, Anda dan istri selalu ada untuk anak, lalu siapa yang mencari nafkah? Biasanya pebisnis yang bisa mengatur seperti ini. Anak dan istrinya bisa diajak bekerja sambil bermain di tempat usahanya. Di posisi ini, banyaknya waktu luang untuk bersama anak tercinta merupakan esensi yang paling dicari. Karena apalah arti berkelimpahan materi, kalau anak fakir rasa kasih sayang. Ada ayah secara fisik tapi yatim secara kejiwaan. Bukankah tujuan Anda bekerja untuk membahagiakan keluarga, terutama anak?

Cobalah renungkan kembali duhai orang tua setengah hari, masih ada waktu dan kesempatan untuk berubah. Jangan sampai pula akhirnya Anda menjadi orang tua setengah hati.

Sengaja saya tulis untuk mengingatkan diri sendiri, yang saat ini masih menjadi orang tua setengah hari dan tengah menyiapkan diri semaksimal mungkin menjadi yang terbaik untuk keluarga, terlebih anak-anak saya tercinta. Mohon maaf, semoga berkenan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun