Mohon tunggu...
penulis makna
penulis makna Mohon Tunggu... Freelancer - penulis

hobi nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melawan Klitih Bersama Lupus

13 September 2024   10:38 Diperbarui: 13 September 2024   10:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Klitih sebagai salah satu kejahatan jalanan akhir-akhir ini semakin meningkat eskalasinya.  Selain meresahkan, klitih menyisakan tanya. Apa yang perlu dilakukan agar aksi klitih menjadi peristiwa kriminal yang tak berulang?

Ada banyak aspek yang bisa digunakan untuk meninjau peristiswa klitih yang terjadi kemarin maupun hari-hari ini. Pertama, persitiwa ini bisa dilihat dari dampaknya yang meresahkan. Kedua, dipandang dari sudut pandang ahli sosiologi.

Dari kedua aspek di atas, mengatasi klitih berangkat dari sosiologi bisa menjadi pendekatan paling menarik. Mengingat, bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari  tentang perilaku individu dan interaksinya dengan masyarakat ini, mampu menemukan bahwa klitih sebagai ruang ekspresi . 

Klitih Sebagai Ruang Ekspresi!

Bicara tentang ruang ekspresi, tak pelak perlu bicara juga tentang bagaimana stimulus mental. Sebab dari sanalah asal mula kebutuhan akan ruang ekspresi itu ada. Stimulus mental adalah proses merangsang  tubuh dan pikiran untuk meningkatkan aktivitas otak. 

Hal ini sejalan dengan pendapat ahli sosiologi, sebagaimana dikutip dari tirto.id, yang mengatakan; "Sosiolog di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Wahyu Kustiningsih saat dihubungi redaksi Tirto pada Rabu (29/12/2021) menjelaskan bahwa klitih dalam bahasa Jawa atau arti yang sebenarnya berarti mengisi waktu luang dengan melakukan hal yang positif."

Pertanyaannya, mengapa para remaja usia sekolah pelaku klitih ini seakan gagal memaknai hal positif itu? Padahal stimulus mental pada umumnya bisa dilakukan dengan cara membaca, menulis, berkreasi seni, olah raga, aktivitas sosial, maupun belajar hal baru. 

Hanya saja fenomena aksi jalanan seperti  pembacokan oleh para remaja kini dimaknai sebagai klitih juga. Tak heran, keyakinan bahwa klitih sebenarnya merupakan cara mengisi waktu luang dengan melakukan hal yang positif pun bergeser dan berubah negatif.

Bahkan pergeseran makna itu tak pelak mencirikan latar belakang pelaku aksi klitih. Sebagaimana criminal profiling di POLDA DIY, yang dipublikasikan oleh mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, menunjukkan bahwa pelaku klitih umumnya adalah remaja laki-laki yang sering kali memiliki tato atau tindik. Mereka melakukan aksi kejahatan untuk menunjukkan jati diri dan seringkali membawa senjata tajam seperti pedang atau celurit."

Perkembangan makna klitih tersebut pada akhirnya mengubah makna  bahwa klitih, hanya bisa dilakukan orang tertentu saja. Yakni oleh mereka remaja laki-laki usia sekolah  yang sejak awal sudah berniat mengisi waktu luang untuk melakukan aksi kejahatan jalanan.

Masih dikutip dari tirto.id dari pakar sosiolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Wahyu Kustiningsih yang menemukan bahwa  saat ini ruang bagi anak muda untuk mengekpresikan dirinya sangat terbatas. Sehingga, sulit untuk meminta anak muda melakukan hal positif jika tidak ada fasilitas yang mendukung.

Mengingat pendapat pakar sosiologi diatas, rasanya tak berlebihan jika membahas klitih bisa sangat nyambung dengan pembahasan tentang tokoh fiksi remaja bernama Lupus! Lupus yang lucu, lupus yang ceria, dan selalu penasaran dengan hal baru.

Pertanyaannya, mengapa memilih sosok Lupus?

Solusi bagi Kelompok Rentan Pelaku Klitih!

Seperti yang masyarakat umumnya ketahui, sampai saat ini,  klitih masih secara aktif diatasi melalui cara-cara penegakan hukum. Meskipun faktanya, penegakan hukum terhadap aksi klitih belum mampu menghentikan regenerasi klitih sebagai ajang pencarian jati diri, sebagaimana pakar sosiologi Universitas Gajah Mada, Wahyu Kustiningsih, yang kembali menegaskan melalui tirto.id, bahwa klitih tidak akan selesai, karena ada regenerasi, "Kalau kita bilang klitih sebagai kenakalan, ada unsur eksistensi. Anak muda yang sedang eksistensi cari jati diri. Kalau ditangkap bisa jadi enggak ada penyesalan, semakin ditangkap semakin menunjukkan power-nya ke grupnya," ujarnya.

Pernyataan itu diamini oleh Wakil Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Brigjen Pol R. Slamet Santoso mengakui "kasus klitih atau kejahatan jalanan yang terus terjadi di provinsi ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan upaya penegakan hukum."

Media  semakin sering melaporkan terjadinya peristiwa klitih di Jogja akhir-akhir ini. Hal tersebut mengungkap fakta bahwa klitih terbukti mengalami peningkatan.

Klitih sebgai aksi kejahatan sudah saatnya diakhiri dengan solusi yang tepat. Yakni memutus regenerasi pelaku klitih.  Sebagaimana ditegaskan Brigjen Pol R Slamaet Santoso melalui tirto.id, "Memang klitih ini kita harus selesaikan secara komprehensif, tidak bisa hanya dengan penegakan hukum," kata Slamet Santoso saat Jumpa Pers Akhir Tahun 2021 di Yogyakarta, Rabu (29/12/2021).

Bukan hal mudah melakukan koordinasi menekan angka klitih. Tapi siapa tahu,  klitih bisa diatasi hanya dengan memberikan solusi nyata.  Seperti keterlibatan para pihak untuk membuat laporan berisi daftar kelompok rentan berperilaku negatif dalam hal ini klitih.

Penanganan laporan daftar kelompok rentan klitih mestinya dapat ditindaklanjuti  melalui dinas terkait seperti Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Pendidikan maupun Dinas Tenaga Kerja untuk; Pertama, membuat assasment terhadap kelompok rentan klitih. Kedua, mencoba membuka ruang ekspresi bagi kelompok rentan klitih supaya dapat mengakses stimulus mental yang positif.  Seperti misalnya, memberikan akses di dunia kejuaraan olahraga, melibatkan mereka dalam kejuaraan game, pelatihan penulisan,  peternakan, dan lain sebagainya.

Untuk menekan angka klitih yang eskalasinya  dari bulan agustus hingga september 2024 ini naik, tak ada salahnya kita memberikan refleksi akan sosok seperti Lupus.  Mengingat usia pelaku Klitih sebagaimana fakta yang tertulis di artikel Sejarah Klitih, Fenomena Kriminal yang Ramai Terjadi di Jogja melalui laman kabar24.bisnis.com, bahwa rata-rata usia pelaku klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah antara 14 hingga 18 tahun. Banyak diantaranya masih berstatus sebagai pelajar.

Mencontoh Lupus Sebagai Karakter Idola 

Lupus adalah karakter fiksi hasil rekaan penulis novel Hilman Hariwijaya. Karakter ini dulu pernah populer di Indonesia di tahun 1980-an. Sosok Lupus dikenal sebagai remaja yang ceria, cerdas, dan penuh humor.  Hobi Lupus yang unik adalah memelihara ayam.

Sekilas, Lupus nampak lebih beruntung. Ia tumbuh dalam fase pencarian jati diri di lingkungan yang mendukung hobinya yang positif. Tentu para remaja pelaku aksi klitih itu pun berhak mendapatkan kesempatan dan peluang yang sama seperti lupus.

Mungkin sebagian dari kita berpikir, tak ada salahnya menjadikan Lupus sebagi role model yang identik dengan remaja saat ini. Toh, dalam fase pertumbuhan, dalam ilmu psikologi perkembangan,  remaja Usia 12 hingga 18 tahun tengah berada dalam fase mengalami perubahan fisik yang signifikan akibat pubertas. Di usia remaja inilah mereka mulai mencari identitas diri, kemandirian, dan juga mengembangkan kemampuan berpikir abstrak.

Mengidolakan lupus setidaknya membuat para remaja usia sekolah yang masih rentan menjadi pelaku klitih ini, bisa menjadikan Lupus sebagai cerminan diri. Tak mesti Lupus. Semua remaja seharusnya bebas mengidolakan tokoh fiksi atau nyata yang memotivasi, inspiratif, dan mendorong mereka mampu menghasilkan sesuatu yang positif.

Dengan karakter yang tercermin dari para idola remaja inilah, mestinya kita bisa mengetahui sejauh mana stimulus mental yang positif memengaruhi  tindakan para remaja ini.  Bayangkan sekelompok rentan klitih diberi tanggungjawab memelihara ayam dengan target tertentu. Meski kita butuh penelitian untuk membuktikan hal ini, tapi semoga saja, kegiatan postitif bagi kelompok rentan klitih tersebut, mampu menurunkan eskalasi klitih sehingga menjadi gerakan de-eskalasi klitih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun