"Saya pilih menjadi orang miskin yang tinggal di pondok penuh buku, daripada menjadi raja yang tak punya hasrat untuk membaca." - Thomas B. Macaulay
----------------------
Kebiasaan membaca buku menjadi salah satu lambang majunya suatu peradaban. Manusia beradab dan berbudaya adalah manusia-manusia yang paling rajin membaca buku. Artinya, mereka yang selalu haus ilmu, terus mencari, dan selalu merasa kurang. Manusia semacam ini akan lebih cepat maju dalam banyak hal dibanding orang lain yang malas mencari ilmu.
Budaya membaca seiring sejalan dengan budaya menulis. Semakin tinggi budaya membaca suatu bangsa, semakin besar pula budaya menulisnya. Tak ada kebiasaan menulis tanpa membaca. T
ak ada orang membaca tanpa tulisan. Bangsa berperadaban maju sejak zaman Yunani Kuno, Romawi, Mesir Kuno, sampai Tiongkok Kuno, mencirikan diri mereka melalui hasil karya tulis bermutu. Sampai sekarang, kita masih dapat menikmati karya mereka, sekaligus mengambil ilmu, pelajaran, dan hikmah.
Bagaimana dengan Indonesia?
Bangsa kita sesungguhnya bangsa yang hebat dalam menulis dan membaca. Sejarah menggambarkan hal tersebut. Pada masa Sriwijaya, sudah terdapat perpustakaan sebagai pusat belajar warga dan pendatang yang sering singgah di cikal bakal kota Palembang itu. Pun demikian peninggalan candi besar seperti Borobudur dan Prambanan, yang menyertakan beragam tulisan di sana.
 Beberapa kitab kuno dapat kita temukan hasil karya para pendahulu hebat kita. Misal kitab Sutasoma (Empu Tantular) yang di dalamnya terdapat konsep Bhineka Tunggal Ika.
Ada juga kitab Negarakertagama (Empu Prapanca), Arjuna Wiwaha (Empu Kanwa), Serat Centini (Pakubuwono V), La Galigo (Bugis Kuno), Sanghyang Siksa Kandang Karesian (kitab Sunda Kuno), Ilmu Jawa Kuno (Empu Siwamurti), Serat Dewa Ruci (Yasadipura II) dan masih banyak yang lainnya. Karya dan nama mereka abadi hingga saat ini.
Budaya membaca dan menulis di Indonesia saat ini, tergolong rendah. Data statistik mengungkapkan hal tersebut. Budaya baca kita hanya nol koma sekian, alias dari 1.000 penduduk hanya di bawah 10 orang yang gemar membaca buku. Demikian versi UNESCO. Jika budaya membaca rendah, sudah pasti budaya menulisnya lebih rendah lagi.Â
Orang yang membaca belum tentu menulis, apalagi yang tidak gemar memnaca. Data dari industri penerbitan buku menggambarkan hal tersebut. Ketika negara maju sudah menghasilkan lebih dari 200 ribu judul buku baru pertahun, Indonesia belum lagi menyentuh angka 100 ribu judul.