Beberapa ahli ekonomi pembangunan, ekonomi kerakyatan, dan ahli ekonomi lagi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) serta dari birokrat pusat, meragukan konsep ini. Intinya, konsep Gerdema hanya pemikiran ideal di awang-awang, yang sulit atau bahkan tak mungkin dilaksanakan. Kondisi desa di Indonesia, apalagi kabupaten terpinggir, tertinggal, dan terisolasi seperti Malinau, sama sekali belum siap menjalankan konsep tersebut.Â
Namun seperti pendapat Mulyono D. Prawiro, seorang pemimpin punya peran vital dalam pembangunan wilayahnya. Ketika dia sangat yakin dengan apa yang dilakukannya, punya konsep yang jelas, visi dan misi yang tepat, serta strategi yang benar, maka pembangunan dapat berjalan dengan baik.
Program Gerdema memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat desa, untuk membangun desanya. Mereka dimampukan lewat pelatihan dan bimbingan teknis, lalu diberdayakan dengan dana yang besar. Warga desa lebih tahu apa yang harus dibangun di wilayahnya. Ekonomi meningkat karena uang bergulir bertambah di desa. Daya beli pun pasti naik. Warga mampu menjangkau fasilitas kesehatan dan pendidikan. Semua itu kini tidak hanya sampai desa, tapi sampai ke level RT.
Seperti kata pepatah, kalau di pantai sudah banyak ikan, buat apa berlayar ke samudera. Kalau di desa bahkan di RT sudah banyak uang beredar dan ekonomi berjalan dengan baik, buat apa pergi ke kota? Itulah yang terjadi di Malinau, sehingga wajar IPM mereka melampaui kabupaten/kota lain yang lebih tua, dan lebih mapan.
Penulis yakin, program Gerdema yang dipertajam sampai level RT pada periode kedua kepemimpinan Yansen TP di Malinau, akan melonjakkan angka IPM kabupaten itu.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H