Apa itu ghostwriter?
Penulis hantu?
Pertanyaan semacam ini masih sering dilontarkan sejumlah kolega, teman, atau orang baru saya kenal. Meski sudah banyak tulisan tentang ghostwriter wara wiri di internet, termasuk di Kompasiana, tetap saja, masih lebih banyak orang yang belum tahu. Memang profesi menulis di Indonesia masih termasuk barang langka. Apalagi istilah ghostwriter.
Mentor dan senior saya, Bambang Trim, sangat rajin menulis tentang industri buku, termasuk membahas tentang jenis-jenis profesi penulis. Ada ghostwriter, ada co-writer, co-author, penulis profesional, pengarang novel, pengarang cerpen, pengarang puisi, editor dan lain sebagainya. Ternyata cukup banyak.
Pada artikel kali ini, saya akan lebih khusus mengupas tentang suka duka menjadi seorang penulis profesional, khususnya sebagai ghostwriter. Saya menjalani profesi ini sejak 2006, sampai sekarang, Berarti sudah lebih dari 12 tahun. Kata orang, kalau sudah berprofesi selama itu, sudah ngelotok. Sudah masuk kategori expert. Semoga.
Oh ya, makhluk apa itu ya ghostwriter? Saya singkat GW saja ya, biar simpel. GW adalah seorang manusia yang piawai menulis, menuangkan isi kepala baik pikirannya sendiri maupun orang lain. GW adalah penulis yang membantu seseorang menuangkan idenya sehingga menjadi sebuah buku. GW adalah manusia langka, karena hasil karya tulisnya tersebut tidak diakui sebagai karyanya melainkan karya orang yang punya ide, orang yang dibantunya, kliennya. Makanya disebut ghost, hantu, alias bayangan. Namanya tak tercantum di buku. Tak terlihat.
Nah, itulah saya. Selain sebagai penulis profesional khususnya di bidang non fiksi dan menulis beragam buku dengan bermacam tema, saya juga membantu orang lain mewujudkan bukunya. Bisa pengusaha, pembicara, investor, pejabat, atau siapa pun yang mau punya buku, tapi tidak bisa menulis atau tidak punya waktu untuk menulis. Mereka membayar saya sekian rupiah (belum dollar, nih), untuk proyek penulisan buku tersebut.
ADA GHOST, ADA CO
Sebenarnya terdapat dua pola kerjasama urusan membantu klien menulis buku ini. Pertama, nama saya tetap tercantum sebagai penulis di buku yang dibuat tersebut, bersanding dengan si empunya ide. MIsalnya buku saya berjudul Sales Kaya Sales Miskin. Penulis utamanya adalah Tirta Setiawan, seorang broker properti hebat, mantan ketua umum AREBI (Asosiasi Real Estate Broker Indonesia). Atau Bersama Lisa Kuntjoro, Ratu Properti Pondok Indah, dan Sendjaja Widjaja, bos Musica Studio. Di buku-buku tersebut, nama saya tercantum sebagai co-writer (CW), alias penulis pendamping.
Nilai kontrak sebagai penulis pendamping (CW) dan penulis bayangan (GW) berbeda. Kontrak penulis pendamping lebih rendah karena nama saya masih tercantum, masih bisa berpromosi, narsis, dan dilihat pembaca. Saya juga bisa menyertakan judul buku tersebut sebagai portofolio saya. Sedangkan sebagai penulis bayangan, nama saya tak tercantum. Tidak bisa dijadikan sebagai alat promosi. Bahkan mengakui buku tersebut sebagai hasil tulisan saya pun, tidak boleh. Begitu isi kontraknya.
SERUNYA JADI GW
Tentu saja banyak suka dan duka berprofesi sebagai GW. Â 2019 ini memasuki tahun ke-13 saya menjalani profesi ini. Saya pernah menjalin kerjasama dengan seorang pria muda yang punya pengalaman kelam di masa lalunya. Ketika bekerjasama dengan saya menulis buku, dia sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Namun, ternyata masa lalunya luar biasa hitam. Kalah semua kisah-kisah kelam dalam sinetron.
Saya juga pernah mendapatkan klien seorang pembicara. Selama proses penulisan, saya mengikuti kegiatannya berhari-hari. Luapan ilmu sang pembicara tumpah ruah ke dalam diri saya. Apalagi saya juga harus ikut dalam seminarnya yang bernilai jutaan, selama dua hari. Nah, inilah nikmatnya seorang penulis bayangan. Selain mendapatkan uang dari kontrak menulis, juga mendapatkan banyak ilmu. Bahkan, ilmu yang bukan sekadar teori, melainkan ilmu-ilmu terapan.
Latar belakang sebagai wartawan (10 tahun bekerja di media massa) menjadi nilai tambah tersendiri buat saya. Wartawan itu dituntut serba tahu. Wartawan itu diharuskan piawai wawancara, dan pandai menggali cerita. Hal itu benar-benar bermanfaat dalam menjalani profesi sebagai GW. Apalagi saya juga aktif sebagai dosen di Universitas Indonesia, membuat klien lebih percaya. Belakangan saya juga menjadi asesor penulis dan editor di LSP Penulis & Editor dengan stempel Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lengkap.
Salah satu prestasi tertinggi saya sebagai GW adalah ketika mendampingi seorang pejabat tinggi. Dia hobi menulis buku. Sudah banyak draft naskah yang ditulisnya. Namun, masih teronggok di laptopnya. Belum pernah dipublikasikan. Buat saya, draft naskah itu adalah harta karun. Dengan beberapa sentuhan, bisa menjadi naskah yang layak baca dalam bentuk buku. Alhamdulillah, sang pejabat itu kini sudah menelurkan 3 buku, dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Nama saya muncul? Tidak sama sekali. Nilai kontraknya? Kalau ditotal, meminjam istilah pak Bambang Trim, cukuplah untuk membeli Innova baru.
Itu sukanya. Â Bagaimana dengan dukanya? Seperti dalam film Ghost Writer karya Roman Polansky, yang diadaptasi dari novel bikinan Robert Harris, risiko terbesar seorang penulis bayangan adalah terjebak dalam kehidupan klien. Dalam film tersebut, si GW membantu perdana Menteri Inggris (diperankan Pierce Brosnan), yang penuh dengan konflik. Di ujung cerita film tersebut, penonton pasti menduga bahwa si GW yang dimainkan oleh Ewan McGregor, tewas tertabrak. Tragis.
Meski tak seheboh itu, saya juga pernah terbawa ke dalam kehidupan orang yang saya bantu. Memang sebagian penulis GW, membantu klien untuk buku jenis biografi atau semi biografi. Apa boleh buat, kita harus mengetahui  sangat dalam tentang kehidupan mereka, bahkan terlibat langsung. Di situlah risiko muncul, jika klien kita punya banyak masalah. Saya beruntung, sebelum sampai terjebak lebih dalam pada masalah klien, proses penulisan buku sudah selesai. Lega rasanya. Jangan sampai seperti Ewan McGregor.
BATAL KONTRAK
Yang sebenarnya cukup menyakitkan adalah ketika kita sudah deal berbagai macam kesepakatan, pekerjaan sudah dimulai, wawancara sudah dilakukan, proses penulisan sudah mencapai 30%... eladalah, klien membatalkan kontraknya. Lebih tragis lagi buat saya karena dalam kontrak tak tercantum klausul denda atau penalti pemutusan kontrak sepihak. Era-era jahiliyah pada awal berkarir sebagai GW.
Padahal, saya sudah mengerahkan seluruh energi. Menyiapkan tim juga. Tapi apa daya, klien punya keputusan yang tidak bisa kita tolak. Yang lebih bodohnya lagi, saya mengalami hal semacam itu lebih dari dua kali. Revisi kontrak sudah dilakukan, tapi tetap masih ada celah yang membuat saya rugi sebagai seorang GW.
TAK TUNTAS
Selain pengalaman-pengalaman di atas, masih banyak cerita seru lainnya seputar GW. Tapi ada juga kisah yang tak mungkin saya ceritakan, karena saking serunya, cukup menjadi rahasia antara GW dan kliennya saja. Yang pasti, selain kisah keberhasilan sebagai ghost writer, di baliknya terdapat sejumlah kegagalan yang sama.
Jumlah buku yang gagal kami selesaikan cukup banyak. Penyebabnya beragam. Ada klien yang memutuskan kontrak. Ada yang tak ada kabar berita, hilang entah kemana. Ada yang jeda sementara karena kesibukan, tapi kemudian menjadi jeda yang lama. Dan beragam alasan lainnya. Termasuk faktor saya sendiri sebagai penulis.
Saya pernah memutuskan kontrak dengan sejumlah klien, karena belakangan saya merasa tidak cocok dengan karakternya. Owalah, tapi tetap saya yang rugi karena peristiwa ini terjadi ketika isi surat kontrak sudah mendekati sempurna, lengkap dengan klausul pemutusan kontrak sepihak dan konsekueksinya. Hehe...
Seru kan?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H