SERUNYA JADI GW
Tentu saja banyak suka dan duka berprofesi sebagai GW. Â 2019 ini memasuki tahun ke-13 saya menjalani profesi ini. Saya pernah menjalin kerjasama dengan seorang pria muda yang punya pengalaman kelam di masa lalunya. Ketika bekerjasama dengan saya menulis buku, dia sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Namun, ternyata masa lalunya luar biasa hitam. Kalah semua kisah-kisah kelam dalam sinetron.
Saya juga pernah mendapatkan klien seorang pembicara. Selama proses penulisan, saya mengikuti kegiatannya berhari-hari. Luapan ilmu sang pembicara tumpah ruah ke dalam diri saya. Apalagi saya juga harus ikut dalam seminarnya yang bernilai jutaan, selama dua hari. Nah, inilah nikmatnya seorang penulis bayangan. Selain mendapatkan uang dari kontrak menulis, juga mendapatkan banyak ilmu. Bahkan, ilmu yang bukan sekadar teori, melainkan ilmu-ilmu terapan.
Latar belakang sebagai wartawan (10 tahun bekerja di media massa) menjadi nilai tambah tersendiri buat saya. Wartawan itu dituntut serba tahu. Wartawan itu diharuskan piawai wawancara, dan pandai menggali cerita. Hal itu benar-benar bermanfaat dalam menjalani profesi sebagai GW. Apalagi saya juga aktif sebagai dosen di Universitas Indonesia, membuat klien lebih percaya. Belakangan saya juga menjadi asesor penulis dan editor di LSP Penulis & Editor dengan stempel Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lengkap.
Salah satu prestasi tertinggi saya sebagai GW adalah ketika mendampingi seorang pejabat tinggi. Dia hobi menulis buku. Sudah banyak draft naskah yang ditulisnya. Namun, masih teronggok di laptopnya. Belum pernah dipublikasikan. Buat saya, draft naskah itu adalah harta karun. Dengan beberapa sentuhan, bisa menjadi naskah yang layak baca dalam bentuk buku. Alhamdulillah, sang pejabat itu kini sudah menelurkan 3 buku, dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Nama saya muncul? Tidak sama sekali. Nilai kontraknya? Kalau ditotal, meminjam istilah pak Bambang Trim, cukuplah untuk membeli Innova baru.
Itu sukanya. Â Bagaimana dengan dukanya? Seperti dalam film Ghost Writer karya Roman Polansky, yang diadaptasi dari novel bikinan Robert Harris, risiko terbesar seorang penulis bayangan adalah terjebak dalam kehidupan klien. Dalam film tersebut, si GW membantu perdana Menteri Inggris (diperankan Pierce Brosnan), yang penuh dengan konflik. Di ujung cerita film tersebut, penonton pasti menduga bahwa si GW yang dimainkan oleh Ewan McGregor, tewas tertabrak. Tragis.
Meski tak seheboh itu, saya juga pernah terbawa ke dalam kehidupan orang yang saya bantu. Memang sebagian penulis GW, membantu klien untuk buku jenis biografi atau semi biografi. Apa boleh buat, kita harus mengetahui  sangat dalam tentang kehidupan mereka, bahkan terlibat langsung. Di situlah risiko muncul, jika klien kita punya banyak masalah. Saya beruntung, sebelum sampai terjebak lebih dalam pada masalah klien, proses penulisan buku sudah selesai. Lega rasanya. Jangan sampai seperti Ewan McGregor.
BATAL KONTRAK
Yang sebenarnya cukup menyakitkan adalah ketika kita sudah deal berbagai macam kesepakatan, pekerjaan sudah dimulai, wawancara sudah dilakukan, proses penulisan sudah mencapai 30%... eladalah, klien membatalkan kontraknya. Lebih tragis lagi buat saya karena dalam kontrak tak tercantum klausul denda atau penalti pemutusan kontrak sepihak. Era-era jahiliyah pada awal berkarir sebagai GW.
Padahal, saya sudah mengerahkan seluruh energi. Menyiapkan tim juga. Tapi apa daya, klien punya keputusan yang tidak bisa kita tolak. Yang lebih bodohnya lagi, saya mengalami hal semacam itu lebih dari dua kali. Revisi kontrak sudah dilakukan, tapi tetap masih ada celah yang membuat saya rugi sebagai seorang GW.
TAK TUNTAS