Dalam rangka Hari Pers Nasional, sejumlah petinggi negara mengingatkan peran dan fungsi media massa di Indonesia. Pers memang punya peran dan fungsi yang luar biasa, sesuai yang tercantum dalam sejumlah undang-undang. Bahkan, pers juga diberikan status istimewa sebagai salah satu pilar demokrasi. Kemarin, Ketua MPR menyatakan bahwa pers berperan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagaimanakah peran dan fungsi media massa saat ini?
Sudahkah sesuai dengan peraturan perundangan?
Sudahkah memenuhi harapan publik?
Di tengah-tengah gempuran media sosial yang luar biasa – sebagian menyebutnya tsunami medsos – peran dan fungsi media massa menjadi lebih krusial lagi. Sebelum media sosial lahir, media massa seolah melenggang sendirian dalam memengaruhi opini publik. Kini tak lagi. Media sosiallah yang secara dramatis mulai menggeser posisi media massa. Publik pun mengalami demam. Bisa jadi dampaknya seperti terkena demam penyakit yang membuat lesu, atau sebaliknya berdampak kekebalan seperti demam setelah disuntik imunisasi. Melihat gejala-gejala belakangan, tampaknya dampak medsos membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadi acak adut, kacau balau, tidak karuan. Di sinilah peran dan fungsi media massa menjadi lebih krusial.
Media sosial tidak punya wartawan yang terdaftar di organisasi jurnalis. Media sosial tidak punya jenjang penyaringan informasi (penyunting/editor). Media sosial tidak punya pemimpin redaksi. Media sosial tidak punya cukong terdaftar, seperti para pemilik media massa. Media sosial adalah media kebebasan dan kebablasan. Siapapun bisa dan siapapun boleh. Bahkan belakangan mirip hukum rimba, siapa yang punya modal tak terbatas dalam merekrut sebanyak mungkin orang untuk mengelola medsos, dialah yang akan menguasai opini publik. Makin banyak akun-akun medsos makin besar peluang mendominasi opini.
Hal yang seharusnya berkebalikan dengan media massa. Negara sudah membuat aturan jelas dan pasti tentang pengelolaan media massa, baik media massa cetak/online maupun media massa elektronik. Siapapun pengelola media massa, wajib tunduk kepada aturan-aturan tersebut. Di sana disebutkan dengan nyata apa saja peran dan fungsi media massa, yang secara prinsip bertujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik (rakyat Indonesia). Pengelola media massa memang melakukan kegiatan bisnis, namun bisnis media massa berbeda dengan bisnis yang lain. Bisnis media massa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik, kepentingan bangsa dan negara.
Dalam praktiknya, kita bisa melihat sendiri bagaimana perilaku sebagian media massa di Indonesia. Seharusnya, media massa menjadi patokan publik dalam menentukan mana berita yang aktual, faktual, akurat dan kredibel, di tengah-tengah gosip media sosial. Seharusnya, media massa menjadi pelurus berbagai kesimpangsiuran informasi, di antara perang kepentingan di media sosial. Tapi tampaknya hal tersebut, belum sepenuhnya dilakukan.
Bahkan sejumlah media massa, justru terjebak dan ikut-ikutan serta berpartisipasi (secara langsung maupun tidak langsung) dalam perang medsos tersebut. Sebagian media massa, malah dengan sangat lugunya, menjadikan media sosial sebagai sumber berita. Sejumlah pernyataan dari pemilik akun media sosial, ditampilkan di media massa, tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Tanpa cek dan ricek. Apalagi tabayun. Alhasil, media massa justru menambah semarak hutan rimba media sosial.
Perlu Duduk Bersama
Menurut saya, para pengelola dan praktisi media massa (seluruhnya) perlu duduk bersama, mengkaji fenomena mutakhir terkait booming media sosial. Perlu diskusi-diskusi mendalam tentang peran dan fungsi media massa, di tengah-tengah euforia masyarakat terhadap media sosial. Harus melakukan riset mendalam tentang bagaimana para pemangku kepentingan, sekarang justru lebih suka memanfaatkan media sosial dibanding media massa.
Ada sejumlah ancaman sangat serius terkait keberadaan media massa. Pertama adalah ancaman ekonomi, karena pemilik modal (pengiklan) mulai beralih ke media internet. Kedua, juga ada ancaman gaya hidup publik, yang lebih mudah mengakses informasi melalui gawai di genggamannya. Ketiga, ancaman tingkat kepercayaan publik terhadap media massa. Beberapa ancaman sekaligus menerpa media massa. Di Amerika Serikat, sejumlah media massa gulung tikar atau mengubah bentuk dari media massa konvensional menjadi media internet, hanya karena faktor ekonomi dan gaya hidup. Mereka kalah bersaing dengan media internet dan media sosial.