Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Peran Media dalam Persatukan Bangsa

9 Februari 2017   08:58 Diperbarui: 9 Februari 2017   09:06 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam rangka Hari Pers Nasional, sejumlah petinggi negara mengingatkan peran dan fungsi media massa di Indonesia. Pers memang punya peran dan fungsi yang luar biasa, sesuai yang tercantum dalam sejumlah undang-undang. Bahkan, pers juga diberikan status istimewa sebagai salah satu pilar demokrasi. Kemarin, Ketua MPR menyatakan bahwa pers berperan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Bagaimanakah peran dan fungsi media massa saat ini?
Sudahkah sesuai dengan peraturan perundangan?

Sudahkah memenuhi harapan publik?

Di tengah-tengah gempuran media sosial yang luar biasa – sebagian menyebutnya tsunami medsos – peran dan fungsi media massa menjadi lebih krusial lagi. Sebelum media sosial lahir, media massa seolah melenggang sendirian dalam memengaruhi opini publik. Kini tak lagi. Media sosiallah yang secara dramatis mulai menggeser posisi media massa. Publik pun mengalami demam. Bisa jadi dampaknya seperti terkena demam penyakit yang membuat lesu, atau sebaliknya berdampak kekebalan seperti demam setelah disuntik imunisasi. Melihat gejala-gejala belakangan, tampaknya dampak medsos membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadi acak adut, kacau balau, tidak karuan. Di sinilah peran dan fungsi media massa menjadi lebih krusial.

Media sosial tidak punya wartawan yang terdaftar di organisasi jurnalis. Media sosial tidak punya jenjang penyaringan informasi (penyunting/editor). Media sosial tidak punya pemimpin redaksi. Media sosial tidak punya cukong terdaftar, seperti para pemilik media massa. Media sosial adalah media kebebasan dan kebablasan. Siapapun bisa dan siapapun boleh. Bahkan belakangan mirip hukum rimba, siapa yang punya modal tak terbatas dalam merekrut sebanyak mungkin orang untuk mengelola medsos, dialah yang akan menguasai opini publik. Makin banyak akun-akun medsos makin besar peluang mendominasi opini.

Hal yang seharusnya berkebalikan dengan media massa. Negara sudah membuat aturan jelas dan pasti tentang pengelolaan media massa, baik media massa cetak/online maupun media massa elektronik. Siapapun pengelola media massa, wajib tunduk kepada aturan-aturan tersebut. Di sana disebutkan dengan nyata apa saja peran dan fungsi media massa, yang secara prinsip bertujuan untuk kepentingan dan kemaslahatan publik (rakyat Indonesia). Pengelola media massa memang melakukan kegiatan bisnis, namun bisnis media massa berbeda dengan bisnis yang lain. Bisnis media massa tidak boleh bertentangan dengan kepentingan publik, kepentingan bangsa dan negara.

Dalam praktiknya, kita bisa melihat sendiri bagaimana perilaku sebagian media massa di Indonesia. Seharusnya, media massa menjadi patokan publik dalam menentukan mana berita yang aktual, faktual, akurat dan kredibel, di tengah-tengah gosip media sosial. Seharusnya, media massa menjadi pelurus berbagai kesimpangsiuran informasi, di antara perang kepentingan di media sosial. Tapi tampaknya hal tersebut, belum sepenuhnya dilakukan.

Bahkan sejumlah media massa, justru terjebak dan ikut-ikutan serta berpartisipasi (secara langsung maupun tidak langsung) dalam perang medsos tersebut. Sebagian media massa, malah dengan sangat lugunya, menjadikan media sosial sebagai sumber berita. Sejumlah pernyataan dari pemilik akun media sosial, ditampilkan di media massa, tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Tanpa cek dan ricek. Apalagi tabayun. Alhasil, media massa justru menambah semarak hutan rimba media sosial.

Perlu Duduk Bersama

Menurut saya, para pengelola dan praktisi media massa (seluruhnya) perlu duduk bersama, mengkaji fenomena mutakhir terkait booming media sosial. Perlu diskusi-diskusi mendalam tentang peran dan fungsi media massa, di tengah-tengah euforia masyarakat terhadap media sosial. Harus melakukan riset mendalam tentang bagaimana para pemangku kepentingan, sekarang justru lebih suka memanfaatkan media sosial dibanding media massa.

Ada sejumlah ancaman sangat serius terkait keberadaan media massa. Pertama adalah ancaman ekonomi, karena pemilik modal (pengiklan) mulai beralih ke media internet. Kedua, juga ada ancaman gaya hidup publik, yang lebih mudah mengakses informasi melalui gawai di genggamannya. Ketiga, ancaman tingkat kepercayaan publik terhadap media massa. Beberapa ancaman sekaligus menerpa media massa. Di Amerika Serikat, sejumlah media massa gulung tikar atau mengubah bentuk dari media massa konvensional menjadi media internet, hanya karena faktor ekonomi dan gaya hidup. Mereka kalah bersaing dengan media internet dan media sosial.

Ancaman ekonomi sudah kita ketahui bersama tak bisa dibendung. Media massa harus pintar-pintar berstrategi agar tetap bertahan hidup. Ancaman gaya hidup bisa disiasati dengan mengubah bentuk atau membuat media online. Hampir seluruh media massa di Indonesia sudah melakukannya. Selain memiliki versi cetak atau siaran konvensional, mereka juga memiliki versi online.

Bagaimana dengan ancaman ketiga, tingkat kepercayaan publik?

Publik makin tidak percaya dengan media massa, karena sebagian media massa tidak menyuarakan kepentingan mereka. Sebagian media massa, menyuarakan kepentingan pemilik dan kelompoknya. Publik sudah tahu dan cerdas, mana saja media massa yang berafiliasi dengan kekuatan tertentu dan mana yang tidak. Setiap kali terjadi konflik di tingkat elit, maka publik bisa dengan gamblang mengetahui mana saja media yang berpihak ke kepentingan elit A dan mana ke kepentingan elit B. Sangat jelas.

Media massa tidak lagi menjaga fungsinya sebagai media edukasi masyarakat, karena terlalu condong kepada kepentingan politik. Media massa kurang peduli dengan perannya sebagai media perubahan dan pembaharuan masyarakat ke arah lebih baik. Media massa sekarang lebih berat ke fungsi semata hiburan, dan fungsi pengaruh, yaitu memengaruhi opini publik sesuai dengan opini pemilik dan kepentingannya.

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana dengan peran media massa dalam mempersatukan bangsa? Tampaknya perlu digugat sekeras-kerasnya. Ketika beragam konflik terjadi, sebagian media massa bukannya membikin adem, tapi makin membuat gaduh tak karuan. Sebagian media massa justru bertepuk tangan dan bergembira ria ketika konflik antar elit terjadi, dan konflik lainnya menjadi-jadi. Lalu menampilkan pro kontra tak berkesudahan. Katanya, karena itu yang disukai publik, dengan dalih adagium “Bad news is a good news”.

Menyedihkan!

Btw, Selamat Hari Pers Nasional!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun