Teknik bertanya yang tepat akan menghasilkan jawaban yang lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Akurasi jawaban akan punya implikasi luas, dalam bidang apapun kita berkecimpung. Fakta, data dan opini yang kita peroleh dari jawaban tersebut seringkali berpengaruh besar terhadap hal-hal selanjutnya. Hal itu menandakan bahwa teknik bertanya punya fungsi yang sangat vital. Mengabaikan teknik bertanya, sama dengan mengabaikan dampak besar yang mungkin terjadi setelahnya.
Teknik bertanya yang tepat harus dikuasai oleh setiap orang dalam banyak profesi. Tanpa kemampuan teknik bertanya yang tepat, kemungkinan besar hasil kerja orang tersebut tidak akurat/kredibel, atau hasilnya tidak optimal. Misalnya seorang wartawan, guru, trainer, coach atau pengacara. Ada teknik bertanya yang berlaku khusus pada profesi tertentu, namun ada juga teknik bertanya yang berlaku universal.
Misalnya, dalam ilmu coaching. Coach dilarang menggunakan kata "mengapa" dalam setiap pertanyaannya. Pertanyaan mengapa, hanya akan memberikan jawaban berupa alasan. Subjektif sekali. Hal yang tidak efektif dalam proses coaching. Berbeda dengan teknik bertanya di bidang jurnalistik, karena kata tanya "mengapa" justru menjadi salah satu kata tanya paling dianjurkan. Untuk menggali informasi sebanyak mungkin.
Dalam persidangan kasus penistaan agama beberapa hari lalu, dengan Ahok sebagai terdakwa, ada satu pertanyaan yang menggelitik terkait teknik bertanya. Pertanyaan tersebut berasal dari pengacara Ahok – Humprey Djemat, kepada saksi K.H. Ma’ruf Amin – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi salah satu sumber kontroversi dengan beragam sudut pandang.
Saya tidak akan membahas tentang kontroversinya, melainkan dari sisi teknik bertanya pengacara yang menyebabkan timbulnya salah satu kontroversi atau menimbulkan jawaban yang kurang akurat, ambigu, dan membingungkan. Saya menilai ada teknik bertanya yang tidak tepat yang disampaikan Humprey (beliau pengacara senior dengan track record bagus, sehingga Ahok menggunakan jasanya). Meski pengacara senior, tetapi namanya juga manusia, mungkin saja pada satu atau dua kesempatan melakukan teknik bertanya yang tidak tepat.
Berikut ini transkrip pertanyaannya.
Humphrey: Iya berada di lantai empat, saya ingin menanya apakah ada pada hari Kamis sehari sebelum anda bertemu paslon AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dan Sylvi (Sylviana Murni), anda menerima telpon dari pak SBY pukul 10.16 (WIB) yang menyatakan adalah untuk mengatur agar pak Agus dan Sylvi diterima di kantor PBNU dan kedua untuk segera mengeluarkan fatwa terkait kasus penistaan agama yang dilakukan oleh pak BTP (Ahok), ada atau tidak?
Ma’ruf: Tidak
Dari isi pertanyaan tersebut sebenarnya yang hendak ditanyakan pengacara itu fakta yang mana. Karena isinya mengandung beberapa fakta yang hendak dikonfirmasi. Salah satu tujuan pertanyaan adalah konfirmasi.
- Ada telepon dari SBY atau tidak.
- Ada permintaan mengatur pertemuan atau tidak.
- Ada permintaan mengeluarkan fatwa atau tidak.
Tiga fakta yang berbeda, tapi ditanyakan pada kesempatan yang sama dalam satu pertanyaan sekaligus. Jawaban Ketua MUI adalah “tidak”. Kita tidak tahu pasti jawaban “tidak” itu untuk fakta yang mana. Untuk salah satu atau untuk semuanya. Hanya Ketua MUI yang tahu, walaupun dari teknik bertanya pengacara tersebut, saya bisa juga menilai jawaban “tidak” yang mana yang dimaksud oleh Kiyai Ma’ruf.
Dalam teknik bertanya di bidang jurnalistik (karena latar belakang saya jurnalistik) terdapat satu peraturan penting yaitu dilarang menanyakan dua atau lebih fakta dalam satu pertanyaan. Dua jenis fakta saja tidak boleh, apalagi lebih. Pertanyaan Humprey berisi 3 fakta yang hendak dikonfirmasi. Hal ini menyalahi teknik bertanya yang tepat. Apakah teknik itu hanya khusus di bidang jurnalistik. Ternyata tidak. Teknik yang satu ini berlaku umum, karena menyangkut kemampuan manusia dalam menyerap informasi melalui telinga.
Begini penjelasannya. Anda bisa juga mempraktikannya kepada teman, setelah membaca penjelasan ini. Setiap orang punya kemampuan terbatas dalam menyerap informasi, terutama melalui telinga. Filsuf China – Konfusius mengatakan, “Jika Anda mendengar maka Anda akan lupa. Jika melihat Anda akan ingat. Jika melakukan maka Anda akan mengerti.” Telinga itu memang sangat terbatas dalam menangkap informasi, berbeda dengan daya tangkap mata. Itulah sebabnya, kalau orangtua menasihati anaknya lewat lisan, maka akan masuk telinga kiri dan keluar di telinga kanan. Maknanya, mudah dilupakan.
Dalam hal teknik bertanya, ketika seseorang ditanya dua atau lebih hal sekaligus, maka biasanya orang tersebut akan menjawab pertanyaan terakhir. Hal yang paling diingatnya. Apalagi jika pertanyaan berisi hal-hal yang membutuhkan daya berpikir lebih. Apalagi dalam kondisi dan situasi tertentu, yang mungkin membuat seseorang kurang nyaman. Dalam persidangan tersebut, saya berpendapat jawaban Ma’ruf Amin “tidak” adalah jawaban untuk fakta ketiga yang ditanyakan oleh pengacara Ahok. Fakta terakhir yang disampaikan.
Silakan Anda praktikkan sendiri memberikan pertanyaan kepada teman, beberapa pertanyaan sekaligus. Tapi jangan pertanyaan siapa dan dimana ya? Seperti dalam kuis-kuis di televisi. Pertanyaan itu – meski jumlahnya dua – tidak butuh daya ingat dan daya pikir lebih. Cobalah bertanya seperti pak Humprey di atas, kalimatnya panjang dengan jumlah 68 kata! Saya sudah biasa membuktikannya.
Jika misalnya, K.H. Ma’ruf Amin diadukan ke polisi oleh tim pengacara karena dituduh melakukan keterangan palsu, lalu diadili, maka dalam proses sidang pasti tim pengacara Ahok akan kalah. Saksi ahli dari ahli bahasa dan ahli-ahli yang lain akan dengan mudah mematahkan tuduhan tersebut. Kesimpulan yang dibuat tim pengacara menuduh saksi memberikan keterangan palsu, diperoleh melalui teknik bertanya yang tidak tepat, sehingga jawabannya pun tidak akurat dan ambigu.
Apalagi fakta lain kemudian muncul bahwa untuk fakta pertama yang ditanyakan, juga tidak tepat. K.H. Ma’ruf Amin tidak menerima telepon langsung dari SBY, melainkan melalui nomor telepon pengurus lain NU (Kita percaya dulu terhadap keterangan ini, karena belum ada bantahan yang dapat dibuktikan). Fakta yang tampaknya sepele, tapi kalau teknik bertanyanya kurang tepat, pemilihan kata dan kalimat yang tidak pas, akan menghasilkan jawaban berbeda (lihat lagi transkrip pengacara Ahok). Padahal, fakta pertama inilah sesungguhnya yang dijadikan kesimpulan oleh pengacara sebagai keterangan palsu dari saksi yang menjawab “tidak.”
Kesimpulan saya, kita memang harus lebih banyak belajar lagi dan lebih detil dalam hal apapun. (Saya banyak sekali belajar dari proses sidang ini). Semakin detil seseorang dalam memperhatikan sesuatu maka kemungkinan mengalami hal seperti ini akan terhindari. Hal detil inilah yang sering juga saya abaikan. Karena kadang saya menganggap hal detil sebagai suatu yang sepele. Sebuah kekeliruan besar yang seringkali berdampak hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H