Siapa yang tidak kenal dengan Tutut atau akrab disapa Mbak Tutut, putri pertama presdien Soeharto. Pernah menjabat sebagai Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan VII.
Melalu partai yang dibentuknya, Mbak Tutut pernah mencalonkan diri sebagai presiden di era reformasi.
Segudang prestasi, jabatan baik di organisasi sosial atau politik maupun di beberapa perusahaannya menjadikan mbak Tutut sebagai perempuan Indonesia super sibuk. Itu beberapa tahun yang lalu. Seakarang ini namanya sudah jarang terdengar lagi.
Tutut yang penulis masuk adalah sejenis siput air yang sering dijumpai di sawah-sawah, aliran parit dan danau. Tutut adalah hewan bercangkang yang dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, siput air. Bentuknya agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam.
Menurut Wikipedia, sebagaimana anggota heawan Ampullariidae lainnya, ia memiliki operculum, semacam penutup atau pelindung tubuhnya yang lunak ketika menyembunyikan diri di dalam cangkangnya.
Ternyata hewan jenis ini banyak dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Jawa Barat tetapi dikonsumsi juga secara luas oleh masyarakat di wialayah Asia Tenggara. Kandungan nilai gizi yang baik karena mengandung protein yang cukup tinggi.
Jiwa jurnalis penulis langsung tergerak ketika melewati jalan di sekitar perumahan Jasmine, Bogor begitu melihat warung mobil yang ditutup dengan tenda bertuliskan "Tutut Soeharto".
Bukan kali pertama, penulis makan tutut. Hampir semua jenis rasa sudah dicoba. Mulai dari rasa asli Jawa Barat : Tutut Bumbu Kuning. Rasa masakan padang : Tutut Gulai, Tutut Rendang, Tutut Balado, dll.
Rasanya bukan hanya lokal tapi rasa masakan Eropa dan Oriental juga ada, misalnya : Tutut Asam Pedas, Tutut Asam Manis, Tutut Goreng Mentega serta Tutut rasa Barbeque dan Tutut rasa sphageti.
"Tutut Soeharto" yang membuat penulis memarkirkan kendaraannya di samping warung mobil itu.
"Pak, satu porsi? Aada rasa orde baru? Hehehe." Kata penulis sambil berseloroh.
"Wah bedanya apa Boss dengan rasa reformasi? Kaya nya gak ada bedanya deh! Malah sepertinya lebih susah sekarang dibandingkan dulu (masa orde baru, maksudnya)." Jawab Pak Tua yang stelan pakaiannya bukan seperti pedang biasa. Mungkin saja Warung mobil itu adalah miliknya.
Satu porsi tutut datang ke meja penulis. "By the way Pak, kenapa pakai nama Tutut Soeharto?"
"Lah memang saya jual Tutut bukan jual dinamit. Hehehe."
"Nama bapak Soeharto?"
"Hahaha. trick dagang saja, Boss! Saya orang Betawi, nama nya Tato, biasa dipanggil Encang Ato atau Babeh Ato."
"Hehehe. Mirip dengan beliau."Â Sahut penulis sambi; senyum-senyum geli.
"Bedalah Boss, beliau kan presiden terlama ... Hehehe, kalau saya mungkin pedagang tutut terlama. Pengennya sih bisa dagang sampai lebih 32 tahun gitu. Hehehe."
"Gak seumur hidup aja sekalian, Beh!."
"Hehehe. Pengennya sih."
Rasa penasaran penulis akhirnya terbayar. Tutut yang tadi dimakan penulis tidak ada hubungannya dengan Tutut Soeharto. Apalagi dengan orde baru atau orde reformasi. Hehehe, tutut yang ini gak ikut berpolitik.
Menurut Wikipedia lagi, Dalam hal mengkonsumi tutut atau siput air tersebut, perlu waspada juga karena hewan ini bisa menjadi inang dari beberapa penyakit parasit. Selain itu hewan yang di ambil di area persawahan ini dapat menyimpan sisa pestisida di dalam tubuhnya akibat pemakaian bahan-bahan kimia dalam memupuk padi yang biasa digunakan para petani kita. @Pe eS
Jakarta, 290613
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H