"Wah bedanya apa Boss dengan rasa reformasi? Kaya nya gak ada bedanya deh! Malah sepertinya lebih susah sekarang dibandingkan dulu (masa orde baru, maksudnya)." Jawab Pak Tua yang stelan pakaiannya bukan seperti pedang biasa. Mungkin saja Warung mobil itu adalah miliknya.
Satu porsi tutut datang ke meja penulis. "By the way Pak, kenapa pakai nama Tutut Soeharto?"
"Lah memang saya jual Tutut bukan jual dinamit. Hehehe."
"Nama bapak Soeharto?"
"Hahaha. trick dagang saja, Boss! Saya orang Betawi, nama nya Tato, biasa dipanggil Encang Ato atau Babeh Ato."
"Hehehe. Mirip dengan beliau."Â Sahut penulis sambi; senyum-senyum geli.
"Bedalah Boss, beliau kan presiden terlama ... Hehehe, kalau saya mungkin pedagang tutut terlama. Pengennya sih bisa dagang sampai lebih 32 tahun gitu. Hehehe."
"Gak seumur hidup aja sekalian, Beh!."
"Hehehe. Pengennya sih."
Rasa penasaran penulis akhirnya terbayar. Tutut yang tadi dimakan penulis tidak ada hubungannya dengan Tutut Soeharto. Apalagi dengan orde baru atau orde reformasi. Hehehe, tutut yang ini gak ikut berpolitik.
Menurut Wikipedia lagi, Dalam hal mengkonsumi tutut atau siput air tersebut, perlu waspada juga karena hewan ini bisa menjadi inang dari beberapa penyakit parasit. Selain itu hewan yang di ambil di area persawahan ini dapat menyimpan sisa pestisida di dalam tubuhnya akibat pemakaian bahan-bahan kimia dalam memupuk padi yang biasa digunakan para petani kita. @Pe eS