Hatiku sedikit meringis melihat Maya merasa bersalah seperti itu. Bukan, ini bukan salahnya. Siapa yang tahu kapan waktu kita di dunia ini berakhir? Semua hanya menjadi rahasia Tuhan. Jangan bersedih seperti itu, Maya. Aku tak kuat melihat wajah sendu yang cerahnya meredup itu. Â Â Â Â
"Enggak apa-apa. Kamu jangan merasa bersalah seperti itu. Toh, kita juga akan kembali kepada Tuhan kan, suatu saat nanti." Aku tersenyum padanya. Ia mulai tersenyum lagi.
"Oh iya, apa boneka itu untuk anakmu?"Â
Dia kembali bertanya sembari menunjuk sesuatu di sampingku. Sebuah tas kain yang di dalamnya terdapat dua boneka tangan. Satu boneka beruang, satunya lagi boneka kelinci yang kubawa.
"Boneka ini? Bukan untuk anakku. Aku belum menikah, hehe."
"Ya Allah. Aku minta maaf lagi, ya. Aku ini terlalu sok tahu. Ini salah satu kebiasaan yang ingin sekali kuhilangkan. Ngomong ceplas-ceplos seperti enggak ada remnya," ujarnya sembari menepuk-nepuk pelan bibirnya. Maya kembali merasa bersalah.
"Jangan merasa bersalah begitu. Tenang saja. Enggak ada salahnya kan, kalau kita bertanya. Boneka ini yang menjadi temanku saat menghibur anak-anak."
"Menghibur anak-anak?"
"Iya. Aku sering diminta untuk mendongeng di depan anak-anak."
"Wah, pasti seru banget. Aku suka sekali mendengar dongeng. Kamu keren juga bisa mendongeng," ucap Maya dengan mata yang berbinar-binar.
 "Alhamdulillah, sedikit bisa. Salah satu yang ditinggalkan Ayah kepadaku adalah boneka-boneka ini. Ayahku dulu juga seorang pendongeng. Ayah yang mengajariku bercerita."