Mohon tunggu...
Abdul Rahmat
Abdul Rahmat Mohon Tunggu... Guru - Guru

Suka dengan puisi dan novel. Menulis karena sudah jatuh cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seringai

12 Februari 2023   17:28 Diperbarui: 12 Februari 2023   17:36 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku kembali melihat senyumnya. Dan aku masih bisa mengingat dengan jelas, manisnya lengkungan bibir yang dia tampilkan saat pertama kali sepasang mata kita bertatapan. Sebuah senyum yang selama satu bulan ini mencuri-curi waktu untuk terbayang di dalam pikiranku. Rasanya seperti baru saja aku mendapatkan rezeki nomplok bisa melihat lagi wajahnya yang manis. Lebih manis dari gula pasir. Tuhan memang Mahabaik. Saat lelah sangat betah menyelimutiku sekarang ini, dikirimkannya pemandangan terindah di dekatku.

Padahal kita baru bertemu tiga kali ini. Pertemuan pertama saat tidak sengaja aku menabraknya ketika hendak masuk ke sebuah mall. Karena aku, tas belanjanya yang berisi perlengkapan alat tulis berantakan di atas lantai. Aku saat itu sedang terburu-buru masuk ke mall untuk membeli sebuah buku. Dan salah satu sikap burukku saat tengah buru-buru adalah, aku selalu tidak bisa memperhatikan sekitarku dengan jelas. Aku membantunya memunguti alat-alat tulis yang berserakan. Itulah kali pertama aku melihat dari dekat wajahnya yang putih mulus sangat terawat.

"Maaf," ucapku singkat. 

Aneh! Aku tiba-tiba saja kehilangan kosakata bahasa manusia di otakku. Suaraku tiba-tiba tak mau keluar. Yang teringat hanya suara kucing peliharaanku saat mengeong di rumah. Tidak mungkin kan, aku mengeong-ngeong di depannya sekarang. Kucingku saja belum tentu paham, apa lagi dia.

"Enggak apa-apa, Mas. Terima kasih sudah dibantu," balasnya lembut. Oh Tuhan, senyum itu!   

Yang kedua dan ketiga kalinya, kita bertemu di tempat yang sama. Iya, di halte ini aku bertemu kembali dengan perempuan yang kukagumi, tetapi aku belum berani mengajaknya bicara. Kita belum saling mengenal satu sama lain. Sebenarnya hal yang biasa dan tidak terlalu istimewa saat dia berbagi senyum denganku. Bukankah wajar saja jika kita bertemu dengan seseorang, lantas memberi senyum kecil sebagai isyarat menyapa? Dan bukankah di dalam aliran darah kita juga mewarisi karakter ramah khas bangsa ini bahkan jauh sebelum merdeka? Sering sekali aku dengar, bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah.

Aku dan dia berjumpa lagi di halte ini saat langit mulai tunjukkan kirana jingga di ujung barat sana. Tempat yang sama, hanya berbeda waktu dan pakaian yang dia kenakan. Saat pertemua kedua, dia memakai blus berwarna hijau dan celana panjang hitam. Sekarang, kemeja biru dan celana jeans dengan warna senada kemejanya. Kulihat ia juga mendekap tas kecil hitam yang dibawanya lagi. Dan rambut panjang hitam yang diikat jadi satu itu masih sama. Begitu spesialnya dia hingga aku bisa mengingat apa pun perihal pertemuan itu. 

Kita duduk di sebuah kursi panjang dari besi-besi yang dilas menyambung, di bawah atap halte yang berwarna oranye. Tiga atau empat langkah di kanannya, ada tiga buah tong sampah berwarna hijau, kuning, dan biru pudar. Di depan halte, riuh suara kendaraan berlalu lalang. Dan baru saja melewati halte, seorang lelaki renta dengan pakaian lusuh sembari menarik gerobak yang ukurannya cukup besar. Dalam gerobak itu ada tumpukan botol bekas.

Perempuan itu duduk tepat di sampingku. Dari raut wajahnya yang kuperhatikan saat tak melihat ke arahku, aku bisa menebak bahwa dia sedang kelelahan. Ah, aku ini seakan-akan sudah sangat mengenalnya. 

"Hai!" 

Sebuah suara tiba-tiba mengagetkan aku yang asyik melamun. Aku mematung sesaat. Suara itu keluar dari bibir mungilnya. Dan dibarengi senyum yang manisnya berkali lipat dari es teh yang sering kunikmati.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun