Bahagia kita sudah menjadi kisah yang jika diceritakan kembali selalu bermula dengan kata 'dulu'. Saat Nana tiba-tiba berdiri di depanku dan bilang akan menikah dengan seorang lelaki yang menjadi pilihan orang tuanya 6 bulan lalu, sejak itulah aku tersiksa karena luka dan kecewa.
Aku yang sebelumnya tak disinggahi firasat apa-apa, bagai ditimpa musibah mahadahsyat. Operasi bedah pun tak mampu mengobati luka hati yang tak meninggalkan luka fisik ini. Sakitnya berkali lipat dan teramat menyesakkan. Sepertinya, saat itu juga bahagia tidak boleh ada di kamus hidupku. Aku putuskan untuk berhenti mengharap bersamanya menjalani hidup.
"Jangan, Na. Hilangkan perasaan itu! Ada hati yang harus kamu jaga sekarang. Ada hati yang tidak boleh kamu lukai. Sekarang, kita coba untuk menjalani hidup masing-masing. Kisah kita sudah berakhir pisah."
"Kalau berteman masih boleh kan, Mas? Aku enggak mau hubungan kita malah seperti permusuhan."
Sukar bagiku untuk bersikap baik-baik saja saat bertemu dengan Nana. Aku tidak sekuat itu. Aku selalu rapuh saat melihatnya, dan aku akan memintanya untuk cepat-cepat siuh. Agar aku tak lebih dalam lagi terjatuh. Semakin lama tak melihatnya, lebih baik bagiku agar bisa menghilangkan Nana dari pikiranku.
"Kita sekarang hanyalah dua orang yang saling kenal dan bekerja sama jika dipertemukan dalam suatu pekerjaan. Tidak boleh ada perasaan yang lebih dari ini."
Nana diam. Ia hanya menatapku sekarang. Aku tahu tatapan itu. Namun, aku tidak boleh menggoyahkan tekadku lagi. Aku sudah memutuskan, bahwa kisahku dan Nana sudah menemui akhirnya untuk saat ini. Nana sudah menjadi milik orang lain. Tidak boleh lagi ada yang merasa sakit seperti yang aku rasakan. Cukup aku yang tersiksa karena ditinggal. Lelaki yang sudah menjadi teman hidup Nana tidak boleh merasakan hal yang sama.
"Mas Rifan tapi mau nemanin aku keliling Malioboro ya. Please. Kali ini aja. Mumpung aku masih di sini," pinta Nana. Aku mengangguk pelan.
"Setelah selesai, aku antar kamu kembali ke hotel."
Senja sudah beranjak pergi diganti oleh malam yang berhias lentera. Lampu jalan yang bentuknya antik itu menyala dan menambah kesan estetik. Kami menikmati suasana di Jalan Malioboro. Lebih tepatnya, aku mencoba menikmati.
Di malam hari tempat ini masih ramai didatangi wisatawan atau warga setempat untuk melepas penat atau menikmati rehat. Banyak orang menjadikan setiap sudut Malioboro sebagai tempat untuk berswafoto. Nana mengajakku berfoto. Dia menggandeng tanganku. Segera kulepas tangannya dan memberi isyarat penolakan. Nana paham sembari memberiku senyum tipis.