Mohon tunggu...
Penta Sakti
Penta Sakti Mohon Tunggu... Lainnya - Jiwa dan Pusaka

Sarjana psikologi yang percaya Nusantara negeri kramat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenangan Rindu untuk Leluhurku

21 April 2020   21:02 Diperbarui: 22 April 2020   05:08 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : cdn2.tstatic.net

Sosoknya begitu gagah menunggang kuda dengan tombak di tangan kananya tidak ada rasa takut yang terpancar dari ujung terompah hingga pucuk sanggul wanita nan berwibawa itu. Tak ingat lagi kapan perisnya mulut bocah polos yang kala itu bertanya kepada sang ayah dari jok paling belakang mobil rental yang digunakan mudik Gunungkidul-Purworejo ketika melewati kota Wates. "Pak kuwi sopo sing numpak jaran?" (Pak itu siapa yang naik kuda?) Sang ayahpun menjawab "Kuwi jenege Patung Nyi Ageng Serang  le" (itu patung Nyi Ageng Serang nak).

Meskipun peristiwa itu sudah berlangsung belasan tahun lalu masih terasa betul kesan mendalam kala pertama kali saya berkenalan dengan patung itu melalu ayah. 

Belakangan ketika saya dewasa dan mencoba mencari ternyata beliau adalah Panglima Perang Wanita bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi seorang Pahlawan Nasional yang berjasa dalam mengatur siasat Perang Jawa bersama Pangeran Diponegoro. Mungkin selain lewat ibu saya patung ini juga turut andil menghantarkan dan memberi pemahaman bahwa ada makhluk kuat yang bernama "Wanita". 

Dalam catatan sejarah Bangsa Indonesia banyak peran-peran penting yang dijalankan oleh kaum hawa bahkan jauh sebelum era Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, R.A Kartini, dan Dewi Sartika. Sebut saja Laksamana Malahayati dari Aceh, Tribhuwana Wijayatunggadewi penguasa ketiga Majapahit, hingga Ratu Sima penguasa Kalingga abad-7 M. 

Mereka adalah wanita-wanita yang menorehkan tinta emas dalam catatan sejarah. Ini bukanlah dongen yang digunakan untuk memuja dan mengangkat harkat martabat wanita ditengah budaya masyarakat yang katanya "patriaki". Faktalah yang berbicara dan lebih dulu menemani perjalanan Bangsa Indonesia sekaligus bukti bahwa dalam kontes sejarah, wanita diberikan ruang untuk tampil dan berkiprah. 

Beyond Macak, Masak, Manak.

Ada pemahaman yang berkembang dalam konteks Masyarakat Jawa bahwa ukuran ideal wanita itu yang penting mampu Macak (berhias), Masak (memasak), Manak (melahirkan). Pemahaman ini pada akhirnya menempatkan posisi wanita sebatas kanca wingking. Sebentar, sebentar... 

Kenapa ketika kita membaca ulang sejarah dan menarik sedikit ke belakang, justru ditemukan fakta sebagaimana yang telah diuraikan di atas? bahwa kita akan menemukan sosok-sosok wanita heroik yang tidak sekedar macak, masak, manak, tapi menghunus senjata dan berani bunuh-bunuhan dengan musuh(penjajah). Bahwa dalam catatan sejarah kita juga temukan struktur tata kenegaran kerajaan terdahulu yang wanita bahkan pernah menjadi pimpinan tertingginya.

Kenyataan seperti ini hanya secuil dalam catat sejarah, bagaimana dengan sumber-sumber yang berasal dari cerita turun-temurun? babad-babad yang bertebaran dalam memeori generasi tua negeri tentang figur wanita sakti, tentang cerita yang menempatkan wanita pada sisi yang mulia, atau cerita penghormatan terhadap wanita, bahkan dongeng pengorbanan pria untuk wanita tercintanya. Bagi saya ini cukup untuk meyakinkan betapa leluhur berusaha memberikan pemahaman  yang tepat berkaitan tentang posisi dan kedudukan seorang wanita.

Budaya jawa contohnya menempatkan perempuan secara proporsional bahkan sakral dihadapan laki-laki. Sejak zaman Jawa Kuno kita melihat bahwa maskulinitas dan Femininitas merupakan bagian dari olah sprirtualiutas yang posisinya equal, saling melengkapi, dan sakral.  Anda akan menemukan konsep Lingga-Yoni, Siwa-Sakti, Bopo Angkoso-Ibu Pertiwi dan lain sebagainya. Dari rahim konsep keselarasan inilah terlahir budaya-budaya adiluhung yang masih bisa kita jumpai di pelosok-pelosok negeri. 

Jangan kaget kalau kita temukan stilasi organ vital laki-laki dan perempuan pada bangunan candi, juga cobalah amati serasinya gunungan kakung-estri di Kraton Yogyakarta, manten(pernikahan) tebu di Pabrik Gula Madukismo atau sesekali berkunjuglah ke dusun-dusun di Jawa dan dapatilah jenang abang-putih sebagai simbol kama pethak dan kama abang. Semua hal itu adalah perwujudan keharmonisan dan sakralnyanya relasi laki-laki dan wanita. 

Femininitas sekali pun sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi peradaban kita. Dalam masyarakat kejawen misalnya betapa dihargainya sosokKanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa spiritual Pantai Selatan, atau masyarakat Hindu Bali yang memuja Durga, juga sosok Dewi Sri yang diyakini sebagai Dewi Kesuburan bagi masyarakat agraris di seluruh penjuru Nusantara dengan nama yang berbeda-beda. 

Oleh sebab itu, jika melihat fakta sejarah yang lebih tua serta menyelami nuansa pikir budaya Nusantara rasanaya ada sesuatu yang salah dan paradoks jika kelak dikemudian hari menjumpai posisi wanita yang tidak menguntungkan sehingga R.A Kartini harus bersusah payah memperjuangkannya. Apakah efek laten 3,5 Abad kolonialisme menggaburkan ini semua? Emmm Entahlah. 

Wanita : Bukan hanya wani ditata, tapi juga wani menata.

Jika anda menyukai permainan voly tentu paham tinggi net putra berbeda dengan net putri, bukankah demikian? Tentu tulisan ini tidak bermaksud mengusulkan agar tinggi net voli dibuat seragam saja atau mengatakan bahwa : "laki-laki dan perempuan itu sama, Titik". Pandangan seperti ini adalah pandanagan konyol yang menafikan kodrat Sang Pencipta. Bahwa semua mempunyai keseimbangan dan proporsinya masing-masing yang harus kita tata. 

Belajar dari falsafah indah di kampung saya, bahwa wanita itu "wani ditata uga wani nata" kurang lebih bermakna seorang wanita itu bukan hanya berani untuk ditata tetapi kemudian haruslah berani menata, menata banyak hal dalam kehidupan dan bekerjasama sebagai partner dalam melakoni urip bebrayanran. Ketika ini yang terjadi hasil yang didapat adalah proses relasi dialektis terus menerus, saling mengisi, saling berbagi, dan saling melengkapi.

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum hawa juga berperan membangun peradaban Nusantara dengan segala tantangan yang dihadapinya sesuai konteks zamannya. Sosok-sosok wanita luar biasa yang bukan hanya pasif ditata oleh peradaban tapi menata sebuah peradaban. Nyi Ageng Serang telah berpulang begitu juga Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, R.A Kartini, Dewi Sartika, Laksamana Malahayati, Tribhuwana Wijayatunggadewi, dan Ratu Sima tapi spirit perjuanganya akan terus menitis kepada anak cucu mereka untuk mengiringi perjalanan bangsa ini. Sejenak menepi dari pandemi, Selamat Hari Kartini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun