Femininitas sekali pun sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi peradaban kita. Dalam masyarakat kejawen misalnya betapa dihargainya sosokKanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa spiritual Pantai Selatan, atau masyarakat Hindu Bali yang memuja Durga, juga sosok Dewi Sri yang diyakini sebagai Dewi Kesuburan bagi masyarakat agraris di seluruh penjuru Nusantara dengan nama yang berbeda-beda.Â
Oleh sebab itu, jika melihat fakta sejarah yang lebih tua serta menyelami nuansa pikir budaya Nusantara rasanaya ada sesuatu yang salah dan paradoks jika kelak dikemudian hari menjumpai posisi wanita yang tidak menguntungkan sehingga R.A Kartini harus bersusah payah memperjuangkannya. Apakah efek laten 3,5 Abad kolonialisme menggaburkan ini semua? Emmm Entahlah.Â
Wanita : Bukan hanya wani ditata, tapi juga wani menata.
Jika anda menyukai permainan voly tentu paham tinggi net putra berbeda dengan net putri, bukankah demikian? Tentu tulisan ini tidak bermaksud mengusulkan agar tinggi net voli dibuat seragam saja atau mengatakan bahwa : "laki-laki dan perempuan itu sama, Titik". Pandangan seperti ini adalah pandanagan konyol yang menafikan kodrat Sang Pencipta. Bahwa semua mempunyai keseimbangan dan proporsinya masing-masing yang harus kita tata.Â
Belajar dari falsafah indah di kampung saya, bahwa wanita itu "wani ditata uga wani nata" kurang lebih bermakna seorang wanita itu bukan hanya berani untuk ditata tetapi kemudian haruslah berani menata, menata banyak hal dalam kehidupan dan bekerjasama sebagai partner dalam melakoni urip bebrayanran. Ketika ini yang terjadi hasil yang didapat adalah proses relasi dialektis terus menerus, saling mengisi, saling berbagi, dan saling melengkapi.
Sejarah telah membuktikan bahwa kaum hawa juga berperan membangun peradaban Nusantara dengan segala tantangan yang dihadapinya sesuai konteks zamannya. Sosok-sosok wanita luar biasa yang bukan hanya pasif ditata oleh peradaban tapi menata sebuah peradaban. Nyi Ageng Serang telah berpulang begitu juga Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, R.A Kartini, Dewi Sartika, Laksamana Malahayati, Tribhuwana Wijayatunggadewi, dan Ratu Sima tapi spirit perjuanganya akan terus menitis kepada anak cucu mereka untuk mengiringi perjalanan bangsa ini. Sejenak menepi dari pandemi, Selamat Hari Kartini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H