Mohon tunggu...
Penny Lumbanraja
Penny Lumbanraja Mohon Tunggu... Lainnya - A girl who love vegetables and fruits. Bataknese.

Warga biasa yang belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Serbuk Kayu

29 Maret 2019   09:30 Diperbarui: 31 Mei 2020   11:31 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku melihatnya lagi pagi ini. Dia belum berpakaian seragam sekolah. Ia memegang beberapa gulungan karung serta gulungan tali rami dieratkan di lengannya yang begitu kurus. Aku hanya mengira serbuk-serbuk kayu itu untuk prakaryanya di sekolah.


Aku baru saja pindah di lingkungan itu. Ayahku dipindahtugaskan sebagai kepala wilayah pada suatu instansi pertanahan di daerah sini, Kalimantan. Aku tinggal di lingkungan yang begitu asri. Agak jauh dari pusat perkotaan yang begitu memusingkan.


Meskipun daerah ini belum begitu berkembang, lingkungan ini dipenuhi pepohonan yang begitu rindang. Lingkungan masyarakatnya juga begitu rukun. Kami baru saja pindah, tapi sudah disambut hangat oleh beberapa penduduk sekitar. 

Masyarakat-masyarakat disini memiliki mata pencaharian yang beragam. Ada sebagai petani, bekerja di ladang, buruh dan juga tukang kayu. Ada juga yang membuka usaha sendiri, seperti usaha kuliner dan jajanan. Daerah ini berpotensi maju karena masyarakatnya yang gencar mengembangkan usaha masyarakat kecil dan menengah.


Jajanan seperti goreng-gorengan hingga makanan berbungkus seperti kripik diolah begitu unik. Ada kripik pisang, kripik ubi, kripik bayam dan banyak makanan lainnya. Semuanya itu serasa menggoncangkan lambungku.


Kehidupan baru kali ini begitu menyenangkan. Aku juga tidak begitu lama menyesuaikan diri bersama dengan teman sekolahku dan di lingkungan baruku ini.


Namun, aku terusik dengan seorang gadis remaja. Aku sering melihatnya melintas di depan rumahku yang tidak begitu jauh dari jalanan. Kurasa gadis itu belum kukenal di daerah ini. Apalagi sewaktu sore. 

Terkadang dia masih memakai seragam sekolahnya. Seragam sekolahnya itu begitu besar di tubuhnya. Sepatunya juga sudah kelebihan usia untuk dipertahankan. Kaus kaki putihnya yang begitu panjang membalut betisnya yang kecil. Dia memiliki rambut hitam legam yang panjang. Rambutnya terlihat kusut tak terurus.


Setiap kali melintasi jalan ini, pandangannya tidak beralih ke kanan ke kiri. Lurus ke depan seperti mengejar sesuatu. Kulihat dia, berjalan dengan langkahnya yang begitu lebar ke arah selatan lingkungan ini. Dia terlihat begitu terburu. Ada apa rupanya disana? Apa ada sesuatu yang dia kejar? Mengapa setiap sore dia selalu berjalan kesana?


Kutunggu beberapa lama di depan rumah. Bersama dengan tanaman-tanaman hijau ini. Sungguh benar melatih kesabaranku. Kapan gadis itu berbalik.


Satu dua jam menunggu, belum juga berbalik. Pikirku, apakah dia tersesat? Aku teralihkan karena gadis itu. Aku menunggu terlalu lama hingga membuatku berbalik ke rumah. Sore ini aku mungkin belum sempat, besok pagi saja. Gumamku.


Esoknya di jam yang sama. Aku melihatnya berjalan bergegas. Pikirku, mungkin tidak sampai sejam dua jam aku menunggu pagi ini. Dia juga harus bersekolah, bukan. Aku menepuk kepalaku agar tersadar. Aku tidak menunggunya saja pagi ini. Bukankah tanaman harus disiram dua kali sehari? Atau mungkin, aku bisa berlari pagi juga. Olah raga pagi sangat baik untuk tubuh, bukan. Aku punya kegiatan lain sembari menunggunya melintasi jalanan pagi ini.


Tak lama kemudian, dia berjalan di depan rumahku. Aku terkejut melihat dirinya berkotor-kotoran di waktu yang masih pagi. Pelipis dan dahinya dihujani keringat yang begitu kental. Dia sibuk sekali. Aku enggan menegurnya. Namun, mulutku tak terkendali dan memanggilnya dari seberang jalan tempatnya berlintas.


"Hei!" Teriakku  dengan nada agak keras padanya. Jangankan untuk menjawab. Menoleh pun tidak. Aku merasa terabaikan. Padahal niatku hanya untuk membantunya. Dia yang terlihat seperti kelelahan. Menenteng dua karung yang berukuran besar dengan serbuk-serbuk kayunya yang meninggalkan jejak perjalanannya.


Matahari mulai terbit meninggi. Aku mengabaikan hal itu saja. Sore nanti berharap bisa bertegur dengannya.
Kutunggu di jam yang sama. Kali ini, mungkin dia agak terlambat beberapa menit. 

Kuambil perlengkapan halamanku. Aku bergerak mendekati pinggir jalan. Beberapa daun pohon ini juga perlu untuk dibersihkan supaya tidak mengotori badan jalan. Sepertinya, aku bisa mendekatkan jarak suaraku supaya bisa memanggilnya lebih baik.


Beberapa waktu telah berlalu. Kupikir dia sudah berjalan ke arah sana. Aku berniat ke sana juga, tapi dari kejauhan sepertinya dia berjalan menuju kemari. Aku berjalan mundur dengan sapu halaman dalam genggamanku.


"Hei, sepertinya kau perlu bantuan." Ucapku padanya dengan penuh semangat. Kali ini, dia hanya menoleh dan tersenyum padaku.


Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa ada yang salah dengan dirinya? Mengapa dia tak menjawab pertanyaanku? Kalau aku menyentuhnya, tidak sopan rasanya. Tapi dia sudah melihatku lebih dekat. Akupun memberanikan diriku. Menurutku, tidak salah kalau hanya menepuk pundaknya.


Tegurku kepadanya, serbuk-serbuk kayunya berjatuhan. Dia membelokkan kepalanya ke arahku. Menganguk dengan cepat.

"Ya?" Tuturnya bertanya.
"Serbuk-serbuk kayumu bertumpahan." Pintaku spontan sambil mengacungkan jariku ke arah tanah.


Dia kelihatan bingung sekali setelah mendengarkanku. Melihat-lihat ke bawah. Mencari-cari sesuatu sambil merogoh-rogoh sakunya. Aku pun terikut bingung melihat tingkahnya. Dia memandangku dengan tingkahnya yang kikuk. Aku terpaku. 

Sesaat kemudian, dia meletakkan kedua karungnya dan mengayunkan kedua tangannya ke arah kedua telinganya. Aku pun bertambah bingung. Kebetulan sekali kurasa, kendaraan berbising kerap melintasi badan jalan tempat kami bertegur.
"Maaf, saya tak dengar." Ucapnya singkat. Aku mendekat.
"Serbuk-serbuk kayumu." Jawabku juga mengarahkannya melihat serbuk kayunya yang bertaburan.
"Tidak apa-apa." Jawabnya dengan senyum tipisnya. Menunduk.


Aku kaget terdiam begitu melihatnya tak mengindahkanku. Pembicaraan kami yang begitu singkat. Aku tak punya celah untuk menanyakan namanya. Dimana dia berhuni. Mengapa suka membawa serbuk-serbuk kayu bersamanya pagi dan sore menjelang petang.


Sepintas saja waktu berlalu. Kembali lagi, aku hanya bisa melihat punggungnya yang membelakangiku. Aku berbalik dengan kecewa. Aku terlalu berharap dalam perjumpaan singkat tak bermakna.


Semalam telah berlalu. Pagi ini aku bangun lebih lama dari waktu biasanya. Aku memberatkan kakiku dengan gembor berisi penuh dengan air.
"Baru saja menyiram semalam, sekarang menyiram lagi." Gumamku.


Disaat aku mulai mengayunkan gembor itu, kulihat lagi dia berlari begitu cepat dengan kedua karung yang sama. Terhuyung-huyung begitu cepat. Tiba-tiba dia jatuh, tepat di pinggir jalan rumahku. Aku kaget dan pergi meraihnya. 

Kulihat tulang keringnya lecet memerah.
"Sakit?" tanyaku iba melihatnya merintih. Namun, dia diam beku tak menjawabku.
"Mengapa dia diam saja?" Gumamku.
Aku berlari mengambil obat ringan dan beberapa kapas kering. Langsung membersihkan dan mengobatinya dengan halus. Dia hanya terdiam dan menunduk.
"Terima kasih." Jawabnya dengan malu. Spontan aku bertanya dengan nada yang kuat.
"Siapa namamu?" Aku menunggu agak lama dan melihatnya yang sibuk berbenah diri melanjutkan pekerjaannya.
"Namaku Serih." Pungkasnya dengan senyum. Aku bergirang. Bertambah satu lagi temanku. Siapa menyangka, begitu sulit hanya untuk mengetahui namanya. Rupanya Serih. Gumamku tersenyum.


Aku berlari ke belakang. Mencari beberapa karung untuk mengikutinya bersamanya mengambil serbuk kayu. Serbuk kayu untuk beberapa tanaman keladi hijauku. Aku menunggunya hingga sore nanti.
***


Dia kembali datang dengan kedua karungnya yang kosong. Aku mengikutinya dari belakang. Meski hanya melihatku sepintas dengan senyuman tipisnya, kami berjalan bersama.


Kami menempuh jalan tandus bergelombang yang kering. Sekira delapan ratus meter. Akhirnya, tibalah kami di sebuah rumah dengan banyak kayu. Kayu-kayu itu ditempah oleh berbagai pelanggan dari penjuru daerah. Ada yang meminta dibuatkan pintu, jendela, meja, kursi, lemari dan banyak perabotan berbahan kayu lainnya. Tempat itu sungguh bising dengan banyak mesin pengetam kayu beroperasi.


Gadis itu spontan berlari menemui seorang pria tua di pojok rumah kayu itu. Aku melihat dengan padangan buram. Mungkin karena banyak abu kayu yang bertebaran di sekitarku. Pria itu tampak sangat tua, pakaiannya lusuh dan terlihat begitu kurus. Tampak kulit wajahnya yang sudah mengendur. 

Pernah sekali dia melihat ke arahku. Bola mata kami bertemu. Namun, wajahnya tampak pucat dengan bibirnya yang kepul membeku. Aku melihat gadis itu berbicara sejenak sekali bersamanya. Mereka terlihat begitu mesra penuh tawa. Namun, tak lama kemudian dia berlari ke arah sebuah tong kaleng berisi ampas serbuk kayu yang menumpuk. 

Ternyata gadis itu mengambilnya dari sana. Aku turut mengikutinya.
Kami mengambil serbuk-serbuk kayu itu bersama tanpa berkata apapun. Aku tak berpikir banyak. Gadis ini begitu giat. Melihat tangan-tangannya yang begitu lihai, menuangkan serbuk-serbuk kayu itu ke dalam karung-karungnya. 

Aku kagum padanya. Sesaat dia meraih karungku yang masih kosong. Dia tertawa mengejekku dan membantuku dengan cepat. Tanpa berkata apapun lagi, kami kembali bersama dengan menenteng dua karung penuh berisi serbuk-serbuk kayu.


Selama di perjalanan. Aku kerap memanggilnya.
"Serih." Tuturku dengan pelan.
Dia tak menoleh ke arahku. Padahal kami berjalan bersamaan. Kupanggil lagi dia. Kali ini dengan nada yang agak lebih keras dari sebelumnya.
"Serihhh!" akhirnya dia menoleh ke arahku.
"Maaf, aku tak bisa mendengarmu dengan baik." Jawabnya tersenyum, menunduk.


Aku terbungkam diam saat dia menjawabku. Senyuman itu tiba-tiba tenggelam dengan tatapannya yang muram. Sangat sedih. Raut wajahnya yang menunjukkan duka begitu kelam. Mendengar suaraku sangat sulit untuknya. "Ada apa dengan pendengaran gadis ini?" Tanyaku mendalam.

***


Sebentar saja sudah habis serbuk-serbuk kayuku. Menutupi setiap serbuk kelapa tanaman anggrek bulan yang telah kurawat belum seberapa lama. Aku pun menunggunya dengan dua karung kosong di bawah pohon jambu lonceng depan rumahku. 

Tak lama kemudian dia datang menghampiri. Sepertinya dia tahu aku menunggunya. Meski sudah sore menjelang petang, kami tetap berjalan tampak bersemangat.


Setibanya di sana, aku melihatnya spontan berlari menghampiri bapak tua itu. Bapak tua berkaos putih lusuh yang giat mengetam kayu. Tampaknya tempat di sana sungguh bising dan berabu. Aku berjalan mendekati mereka yang tampak mesra syahdu. 

Namun, aku tersadar ketika seseorang menepuk pundakku dari belakang. Seorang pria tua pemilik rumah kayu itu. Dia menegurku. Terlihat tatapannya yang begitu heran padaku.
"Sudah sore kali, ngapai?" Terkaget. Aku seperti tersadar.
"Mau ambil sisa serbuk kayu di sana, kek." Menunjuk ke arah tong.
"Kalau sudah sore begini ya sudah habis dibawa buruh kayu."
"Sudah habis? Kami biasa ngambil jam segini masih banyak, kek." Jelasku padanya.
"Kami? Siapa kawanmu?" Tanya kakek menegas.
"Itu, Serih gadis kecil pembawa serbuk kayu, kek." Tuturku.


Aku menunjuk ke arah tong serbuk kayu. Namun, gadis itu hilang entah kemana.
Spontan kakek menarikku ke rumah. Dia memintaku menceritakan semua kejadian yang telah terjadi padaku. Pertemuanku dengan gadis itu, hingga petang menjelang malam ini.


"Kamu sudah keliru terlalu lama, Nak. Tidak ada gadis yang bernama Serih di lingkungan ini." 

Kakek menjelaskan dengan tatapannya yang begitu serius.
"Tidak, kek. Aku melihatnya selalu. Dia bersama dengan pria tua di pojok rumah kayu sana." Ungkapku padanya.


Tubuhnya basah berkeringat. Dia menggeleng melihatku yang tak kunjung percaya.


Dulu, sudah begitu lama. Sejak kakek masih muda, ia mulai membangun rumah kayunya. Dia memulai pekerjaan hidupnya sebagai seorang tukang kayu di lingkungan kami ini. Telapak tangannya yang mengeras menjadi saksi perjalanan perjuangan hidupnya. Dari tangannya tercipta banyak karya dari kayu-kayu yang diolahnya. Dia kenal betul dengan sahabat seperjuangannya. Dia ajak bersamanya hidup dari kayu-kayu yang mereka ciptakan. 

Lelaki tua itu hidup bahagia bersama dengan istri dan seorang anaknya. Malang, istrinya meninggal saat melahirkan seorang putri yang dikasihinya. Hidup mereka yang begitu susah, dukun beranak tak mampu menyelamatkan istrinya. Hingga pria tua itu merawat putri tunggalnya yang masih merah muda. Seorang diri. 

Tepat seperti yang aku katakan, Serih namanya. Serih hidup menelan abu kayu beserta ayahnya di rumah kayu tua ini. Lelaki tua itu hanya bisa membungkusnya dengan kain gendongan batik yang sudah tua. Diletakkannya di sana. 

Serih besar dan tinggal berlama-lama dengan ayahnya, dengan kayu-kayu ini juga. Karena itu, dia kehilangan pendengarannya. 

Hidup di lingkungan yang bising untuk sekian lama membuat pendengarannya kian memburam. Lelaki tua itu teramat sedih dan menyesal. Hidup tanpa seorang istri dan ibu untuk anaknya. Duka melihat anaknya hidup dengan pendengarannya yang buruk juga.


Tak lama sejak itu, pria tua itu pergi meninggalkan rumah kayu tua ini. Ada yang melihatnya hidup di tengah hutan sendiri, meninggalkan putrinya yang masih kecil kian beranjak remaja. Serih hidup sendiri di rumah mereka. Tepat di ujung jalan rumahku. Setiap hari, dia datang mengambil serbuk kayu untuk dipakainya memasak. Memasak dengan serbuk kayu untuk ayahnya yang tak kunjung pulang. Setiap hari, baik pagi dan sore. Serih sangat merindukan ayah yang begitu dikasihinya. 

Banyak yang bilang ayahnya hidup di hutan. Itulah mengapa, Serih pergi mencari ayahnya hingga ke hutan. Tidak lama kemudian, keduanya hilang bagai buih ditelan lautan. Hingga sekarang.

Pria tua itu bercerita begitu jelas. Aku mendengarnya begitu gugup. Tubuhku berkeringat deras. Rambut tanganku bergidik. Sulit untuk memahaminya. Segera aku menangkap kesadaranku. Selama ini, aku telah diperdayanya. 

Dukanya yang begitu mendalam membuatku nestapa. Kesedihannya hingga membuatnya kehilangan pendengarannya. Sejak saat itu, aku tak melihat gadis kecil itu lagi. Melihatnya begitu girang berlari mengejar serbuk-serbuk kayu untuk menghibur ayahnya. Perjumpaan kami membuatku mengerti banyak hal. Serih mengajarkanku tentang kasihnya yang mendalam pada ayahnya. 

Setiap saat yang dilalui bersama orang yang kita kasihi akan selalu membekas di dalam pojok hati yang terdalam. Bahkan membuat kita terkadang hilang kesadaran. Betapa berharganya waktu yang dimiliki bersama dengan orang yang kita kasihi.
**

Created of: Penny C L Raja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun