“Siapa mereka? Untuk apa mereka menagih uang ke ibu?” Darman semakin bingung.
“Mereka bilang kalau mereka itu utusannya Dablek, disuruh nagih utang ke ibu”
“Kurang ajar! Ini pasti ada sangkut pautnya dengan si Gori,” Darman berdiri. “Ayo kita pulang.”
Zulfah segera berdiri, menyusul Darman yang sudah berjalan terlebih dahulu. Dalam hatinya, Zulfah merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia menyaksikan ibunya dibentak-bentak, rumahnya diacak-acak, bahkan ia hampir dinodai jika saja tetangganya tidak segera datang ke rumahnya karena mendengar ada keributan. Dalam perjalanan menuju rumah, Darman mengumpat dan menghina-hina Pak Gori. Rasa kesalnya pada Pak Gori sudah sampai ke ubun-ubun.
.......
“Zulfah, kamu tunggu di rumah, jika sampai malam saya belum pulang, kamu menginap di rumah teman sekolahmu.” Ujar Darman ketika sampai di depan rumah.
“Akang mau kemana? Saya ga mau ditinggal sendiri kang, saya takut.” Zulfah menghambur memeluk Darman. Pelukannya keras.
“Kamu tenang saja, doakan semoga masalah ini cepat beres,” Darman melepaskan pelukan adiknya. Ia langsung pergi.
Pikiran Darman bercabang, sebenarnya ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Di satu sisi ia masih bingung, apakah ibunya memang benar-benar punya hutang? Kalau memang begitu, mengapa ibunya tidak memberi tahu Darman? Di sisi lain Darman masih tenggelam dalam kesedihan. Kecewa karena tidak mampu membawa ibunya berobat. Langkah kaki Darman bergerak cepat menuju warung tempat dimana Dablek biasanya berkumpul bersama anak buahnya. Darman membutuhkan sebuah penjelasan.
Warung tempat biasa Dablek dan anak buahnya berkumpul berada di pintu masuk hutan, di bawah pohon besar. Dablek sedang ditemani oleh dua anak buahnya. Merokok dan berjudi. Dengan perasaan takut, Darman menghampiri Dablek, raut wajahnya tegas, walaupun tidak bisa ditutupi bahwa ia sedang bersedih. “Permisi kang Dablek, saya ingin bicara,” ujar Darman dengan sopan. Dablek tidak menghiraukan, ia masih asik tertawa bersama anak buahnya. Darman mengulangi kata-katanya, “Kang Dablek, bisa berbicara berdua!” Ujar Darman dengan tegas. Dablek berdiri, mukanya masam. Dablek mengajak Darman berjalan keluar warung. Tak lupa ia menyelipkan parang di sisinya. Parang yang selalu ia bawa kemana-mana.
“Mau apa kamu ke sini?”