Angin malam berhembus dengan lihainya, membuai setiap manusia di desa pesisir Mangur ingin cepat-cepat masuk ke peraduannya. Suara binatang malam bersautan, bernyanyian dengan dengan indahnya, berbicara dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh sejenisnya. Di desa ini hanya terdapat tiga rumah mewah, rumah-rumah tersebut memiliki halaman yang luas dan langsung menghadap ke lautan. Ketiga rumah tersebut masing-masing dimiliki oleh Pak Enok yang anak laki-lakinya dibunuh dan mayatnya ditemuka di palka kapal ikan miliknya, Pak Olong, dan Pak Gori. Ketiga orang tersebut adalah para pemilik kapal ikan. Ada satu rumah yang paling besar dan mewah, rumah itu merupakan bangunan Belanda, pemilik dulunya adalah seorang pengusaha kaya raya asal Belanda yang mempunyai perusahaan kapal dagang. Saat ini rumah bercorak Belanda tersebut adalah milik Pak Gori.
Pak Gori merupakan orang terkaya di desa pesisir Mangur, ia memiliki 20 kapal ikan, namun sifatnya yang buruk, menjadikannya dibenci oleh warga kampung. Pak Gori berusia 47 tahun, badannya gemuk dan selalu memakai sarung ketika ia di rumah. Kulitnya hitam legam karena sedari kecil ia selalu pergi melaut untuk mencari ikan, ia merupakan seorang pekerja keras. Pak Gori lahir dari keluarga miskin, namun ia tak pernah menyerah pada kehidupan. Ia tak segan menggunakan cara-cara tidak halal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Semua berubah ketika umurnya 30 tahun, ia mengikuti lotere dan memenangi hadiah yang cukup untuk membeli satu kapal ikan. Dari sana ia mengoperasikan kapalnya sendiri dengan dibantu beberapa nelayan. Namun ketika usahanya semakin maju dan memiliki lima kapal ikan, ia berhenti melaut dan mempercayakan kapal-kapal ikannya ke nelayan-nelayan yang bekerja padanya.
Pak Gori sempat menikah pada umur 28 tahun. Selain sifatnya yang pelit, ia juga terkenal senang berjudi, meminum minuman keras, dan bermain wanita. Istrinyapun sering dipukuli dan jarang diberikan uang. Bahkan ia tidak mau menyewa pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah, karena pikirnya akan menambah beban pengeluaran. Ia memaksa istrinya untuk membereskan rumah, andai ia pulang ke rumah dan menemukan rumah masih kotor, ia akan langsung memukuli istrinya tanpa henti. Pernikahannya hanya bertahan tiga tahun, istrinya kabur darinya dan tidak pernah kembali. Pak Gori tidak mempunyai anak dan sampai hari inipun ia tidak menikah lagi, ia lebih memilih untuk meniduri wanita-wanita di rumah bordil untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Pak Gori sedang duduk di beranda rumahnya dengan ditemani rokok dan minuman keras. Wajahnya terus melihat ke halam rumahnya, seperti sedang menunggu seseorang. Jam sudah menunjukan pukul 20.00. “Mana ini si dablek, kok jam segini belum ada laporan,” gerutunya kesal.
Tak lama kemudian dari kejauhan terlihat seorang lelaki berusia 30 tahunan berjalan menuju rumah Pak Gori. kepalanya botak, bertelanjang dada, memakai celana sontok hitam, dan mengikatkan sarung di pinggang. Badannya kekar dan selalu menyelipkan belati di pinggang, lelaki itu adalah Dablek, tangan kanan Pak Gori yang sangat kejam dan sangar.
“Pak Gori, saya sudah menugaskan tiga orang untuk menagih ke rumahnya, tetapi hasilnya nihil, malah kabar terakhir yang saya dengar, orangnya barusan saja mati,” ujar Dablek sambil berdiri menghadap Pak Gori.
“Goblok! Masa suruh nagih gitu aja ga bisa, kan bisa acak-acak rumahnya, siapa tau ada emas atau barang berharga yang bisa disita”.
“Sudah pak, tetap saja tidak ada satu pun barang berharga yang ada di rumahnya”.
“Orangnya mati karena kamu bunuh atau gimana?”
“Tidak pak, yang saya dengar dia mati karena sakit keras,”
“Sekarang gimana kalau udah gini? Siapa yang akan membayar hutang-hutangnya!” ujar Pak Gori sambil membanting rokoknya. Dablek hanya terdiam. Suasana menjadi hening. Pak Gori masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya untuk berganti pakaian dan mengambil beberapa lembar uang dari laci lemari. Ia siap menaklukan malam. Melakukan kebiasaan buruknya, berjudi dan mabok di rumah bordil Hasbir. Saat Pak Gori kembali ke beranda rumahnya untuk berangkat ke Hasbir, Dablek masih setia berdiri di sana, “Ya sudah Blek, biar nanti kalau keluarganya ga mampu bayar, kita sita rumahnya, bisa kita jadikan kandang ayam, mari sekarang temani saya ke Hasbir.”
Di halaman rumahnya telah menunggu mobil pickup yang biasa digunakan anak buahnya untuk mengantar ikan ikan hasil tangkapan ke pasar di kecamatan. Dablek yang menyetir mobil tersebut. Rumah Bordil Hasbir berada di tengah kota, jaraknya hanya satu satu jam jika ditempuh dengan mobil. Hasbir berbentuk gedung yang memiliki tiga lantai dan telah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1930, dulu yang bisa datang ke Hasbir hanyalah kompeni, priyayi, dan pejabat-pejabat pribumi saja. Namun sekarang semua orang boleh datang ke tempat tersebut asalkan memiliki uang. Hasbir sangat terkenal seantero kota bahkan hingga provinsi, wanita-wanita yang disediakan bervariasi dari yang berumur 15 sampai 40 tahun. Lantai satu merupakan tempat untuk “minum-minum” kemudian lantai dua adalah tempat untuk berjudi, dan lantai tiga adalah kamar-kamar tempat peraduan.
Mula-mula Gori masuk ke lantai satu, ia memesan minuman keras lima botol. Dua orang wanita menghampirinya, menemaninya minum sambil berbicara ngalor ngidul. Tak terasa ia telah menghabiskan empat botol minuman itu, tadinya Pak Gori ingin naik ke lantai dua untuk berjudi, namun birahinya keburu naik dan hasratnya sudah tidak terbendung. Pak Gori mempunyai dua gadis idaman, namanya Isdah dan Poiyah. Ia tidak mau menumpahkan hasrat birahinya selain kepada dua wanita ini. “Malam ini Isdah atau Poiyah ada ga?” Tanya Pak Gori kepada dua wanita yang menemaninya minum. Ia mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Ternyata Isdah dan Poiyah dua hari yang lalu telah melarikan diri dari rumah bordil tersebut. Pak Gori Marah dan tidak percaya, ia berjalan sempoyongan sambil memegang satu botol minuman kerasnya yang masih terisi, menaiki tangga menuju ke lantai tiga.
“Hey, mana Isdah dan Poiyah, saya sewa mereka sekaligus,” tanya Pak Gori ke meja resepsionis lantai tiga, tempat untuk memesan wanita dan kamar. Suara Pak Gori tidak karuan, berdirinya sempoyongan, sesekali ia menggeprak meja resepsionis. “Bagaimana kalo wanita lain saja pak? Kita punya stok yang baru, masih muda dan hangat, pokoknya bapak akan puas,” jawab wanita separuh baya yang menjaga meja resepsionis. Pak Gori marah dan membanting botol minuman kerasnya. Wanita separuh baya itu tetap tenang, ia sudah biasa menghadapi pelanggan-pelanggan yang mabuk seperti ini. Dengan nada ramah wanita itu kembali menawarkan hal yang sama dan menjelaskan bahwa Isdah dan Poiyah sudah tidak kerja lagi di sini. Pak Gori tidak menerimanya, ia tidak tertarik dengan wanita lain, “Kurang ajar, akan saya beli Isdah dan Poiyah, liat saja nanti,” gertakan orang mabok hanyalah gertakan sesaat, ia bisa ngomong apapun dan ketika nanti sudah sadar ia akan lupa dengan semua omongannya ketika mabok. Pak gori memutuskan untuk kembali pulang. Dablek yang sedari tadi mengobrol dengan centeng-centeng penjaga Hasbir di parkiran segera berlari ke arah Majikannya yang berjalan sempoyongan sambil mengumpat tidak jelas, segera ia merangkul dan menuntunnya ke dalam mobil.
“Blek, kurang ajar sekali, Isdah dan Poiyah kabur, saya ga punya wanita lagi. Saya rela jual satu kapal ikan asal bisa tidur bersama mereka berdua,” Ujar Pak Gori yang semakin ngelantur. Dablek hanya terdiam dan menyetir. Ia tau bahwa majikannya mabok dan setiap kata-kata yang keluar dari mulut majikannya hanyalah bualan tidak jelas dari seorang pemabuk. Pickup melaju dengan cepat di kesunyian malam, melewati jalan yang gelap dan sepi menuju desa pesisir Mangur.
............
Jam telah menunjukan pukul dua tengah malam. Murni sedang merapikan warung kopi milik neneknya. Warung itu tutup lebih malam. Biasanya pada saat musim panen, kapal-kapal yang bersandar ke dermaga tidak hanya ada pada pagi hari, tapi sampai malam hari. Sambil mencuci gelas dan merapihkan barang dagangan, Murni memikirkan nasib Darman yang malang, sebenarnya Murni kagum dengan Darman, karena Darman seorang pekerja yang rajin, baik, tidak pernah berjudi dan minum-minuman keras seperti kebanyakan nelayan di desa pesisir Mangur. Bagi Murni, Darman adalah sosok pria idamannya, Murni tidak suka dengan harta ataupun kekayaan, cita-citanya adalah membangun keluarga bahagia dengan tinggal satu rumah bersama suami dan anak-anaknya kelak. Ia berharap suatu saat nanti Darman akan menjadi suaminya, namun sampai hari ini Darman tidak menunjukan gelagat suka terhadap Murni. ia berpikir, mungkin Darman terlalu sibuk untuk mengurus keluarganya, karena Darman adalah tulang punggung keluarga. Murni belum mengetahui bahwa Ibu Darman telah meninggal.
Murni telah selesai merapihkan warung, wajahnya tetap cantik walaupun seharian harus mengurusi warung. Nek Sinden telah pulang terlebih dulu, karena merasa badannya tidak enak. Jarak dari warung kopi ke rumah Murni hanya 20 menit berjalan kaki, jika menggunakan kendaraan hanya 10 menit. Dermaga desa pesisir Mangur dengan perumahan penduduk dipisahkan oleh jalan raya yang kecil, hanya muat satu mobil. selain itu, jalan tersebut sangat gelap dan sisi-sisinya rawa dan pohon-pohon tinggi. Hal tersebut tidak membuat gentar Murni untuk pulang sendiri, ia merasa dirinya adalah pribumi asli sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan.
Sudah setengah jalan Murni menyusuri jalan raya, dari kejauhan terlihat sorot cahaya lampu mobil, semakin lama semakin mendekat. Cahaya itu untuk sesaat menerangi Murni yang hanya membawa obor sebagai penerang jalannya. Murni berpapasan dengan mobil yang berlawanan arah menuju ke rumahnya, hanya ada tiga orang yang memiliki rumah di dekat pesisir, yaitu Pak Enok, Pak Olong, dan Pak Gori. Murni tetap melanjutkan jalannya, tidak lama kemudian dari arah belakangnya ada cahaya lampu mobil yang meneranginya, semakin lama semakin dekat, setelah cahaya itu mendahuluinya, Murni melihat ada Pak Gori dan Dablek didalam mobil itu. Mobil langsung berhenti dengan posisi memalang. Murni terkaget. Dua orang di dalam mobil langsung turun dan jalan mendekati murni, yang satu jalannya sempoyongan sambil berbicara tidak jelas dan yang satu lagi hanya mengikuti di belakangnya. Awalnya Murni tidak curiga, mungkin Pak Gori ingin mengajaknya pulang bareng. Namun anggapan itu langsung berubah, karena semakin dekat, ucapan Pak Gori semakin terdengar jelas. “Murni, Ayo temani saya tidur, nanti saya kasih uang yang banyak.” Murni takut. Ia hendak berlari menuju kembali ke arah dermaga. Hal itu percuma. Dablek sudah lebih dulu menghadang Murni, secepat kilat Dablek langsung menangkap Murni, mencekik murni dengan siku tangan kanannya dan tangan kirinya memegang tangan kiri Murni yang disimpul ke belakang. “Hahaha Bagus Dablek, nanti kamu dapet jatah setelah saya,” ujar Pak Gori. Wajahnya semakin beringas ketika melihat tubuh Murni yang ramping, dengan kulit putih bersih bahkan jika ada nyamuk menempel di kulitnya pasti akan langsung tergelincir. Buah dada Murni yang menyembul dibalik kaos yang dikenakan Murni menambah keberingasan Pak Gori yang sudah tidak mungkin bisa ditahan lagi. “Malam ini aku akan menikmati wanita paling cantik di desa ini,” ujarnya dengan terbahak-bahak.
Murni menangis dan berteriak. Percuma. Tidak akan ada yang bisa mendengarnya. Pak Gori langsung memulai aksinya, ia merobek baju Murni sekaligus kutangnya. Menarik rok yang yang dikenakan murni hingga terlepas. Selanjutnya Pak Gori menyeret Murni ke balik pohon-pohon besar yang ada di sisi jalan. Dablek tetap berdiri di dekat mobil, matanya waspada mengamati sekitar. 30 menit kemudian Pak Gori keluar dari belakang pohon sambil merapihkan celananya, berjalan menuju Dablek yang setia menunggu. “Nikmat benar Blek, masih perawan ternyata, mimpi apa aku bisa mendapatkan keperawanan Murni,” Pak Gori masih berjalan sempoyongan. Ia masih di bawah pengaruh minuman keras, alias mabok. “Sana Giliranmu Blek,” Pak Gori menepuk pundak Dablek seraya mendorongnya untuk segera menikmati Murni. Dablek bergegas menuju belakang pohon.
Pak Gori menyalakan rokoknya sambil menunggui Dablek, ia merasakan kenikmatan yang sungguh luar biasa, baginya Murni bisa menggantika Isdah dan Poiyah. Ia berniat untuk menculik Murni dan mengurungnya untuk dijadikan budak birahi, yang setiap saat bisa dijadikan pelampiasan hawa nafsu. Lagi pula orang kampung tidak akan berani curiga padanya, orang paling kaya di desa pesisir Mangur. Setelah 15 menit, Dablek keluar dari balik pohon, mengampiri Pak Gori. “Giman Blek, mantap kan?” Dablek hanya tersenyum tanpa kata. “Sekarang kamu ambil tali dan karung, ikat dia dan masukan ke karung, mau saya bawa pulang, buat mainan di rumah,” Pak Gori kembali tertawa. Dablek mengambil tali dan karung di bagian belakang mobil yang biasa digunakan untuk mengikat dan menutup boks ikan.
“Dablek cepat kejar, itu si Murni kabur,” Pak Gori tiba-tiba teriak sambil jarinya menunjuk ke arah belakang pohon. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Murni berlari menuju ke dalam hutan. Tubuhnya tidak mengenakan sehelai benangpun, rambutnya acak-acakan, muka dan badannya memar-memar. Dablek dan Pak Gori mengejar Murni, tetapi hal yang tidak terduga terjadi. Murni tersandung akar pohon, ia terjatuh dan dahinya terbentur batu dengan keras. Darah keluar dari kepalanya. Pak Gori terdiam, perlahan ia berjalan mendekati Murni, ia ingin memastikan kondisi Murni, namun darah semakin deras mengalir di tanah, Pak Gori mengurungkan niatnya karena melihat darah yang semakin mengalir deras. “Dablek, cepat balikan tubuhnya,” dengan cepat Dablek membalikan tubuh Murni, ternyata bukan hanya kepala Murni yang terbentur batu, tetapi juga perutnya tertusuk akar pohon yang tajam. Darah yang mengalir tersebut keluar dari perut Murni yang tertusuk. Dablek hanya terdiam, wajahnya menyiratkan bahwa ia sedang menunggu perintah berikutnya dari Pak Gori. “Kita tinggalkan saja disini, ayo cepat kita pulang,” Ujar Pak Gori yang segera meninggalkan tempat kejadian. Dablek segera menyusul Pak Gori. Mobil melaju kencang meninggalkan tubuh Murni yang sudah tak bernyawa. Tragis.
Raut wajah Dablek sangat tenang, ia tidak bertanya apapun ke Pak Gori, seakan tidak ada apa-apa yang terjadi. Pak Gori sudah tidak di bawah pengaruh alkohol lagi, ia langsung sadar semenjak melihat darah Murni yang mengalir di tanah. Sepanjang jalan Pak Gori mengumpat, “Kurang ajar! Pake segala mati lagi tuh cewe, padahal saya udah senang nemuin pengganti Isdah dan Poiyah!” Tidak ada sedikitpun rasa penyesalan atau rasa takut karena peristiwa tadi, bahkan sedikitpun Pak Gori tidak merasa berdosa, yang ada hanya rasa kecewa. Kecewa karena tidak dapat membawa Murni pulang untuk dijadikan budak birahi.
Mobil pickup telah sampai di halaman rumah Pak Gori, tepat pukul empat subuh. Pak Gori turun dan Dablek pamit pulang. Sebelum pulang Dablek teringat dengan anak Pak Enok yang mati dibunuh karena sehari sebelumnya berusaha untuk memperkosa Murni, sampai sekarang tidak ada yang tau siapa yang membunuhnya. Dablek menyampaikan cerita tersebut ke Pak Gori, berharap Pak Gori bisa memberikan masukan atau perintah kepada Dablek untuk menghindari hal yang sama terjadi pada diri mereka. “hahaha kasian betul anak si Enok, ga berhasil merkosa eh malah mati dibunuh, sudah jatuh ketiban tangga. Lagian apa hubungannya gagal merkosa sama mati dibunuh hahaha” ujar Pak Gori sambil berjalan menuju beranda rumahnya meninggalkan Dablek. Jawaban Pak Gori tidak sesuai yang diharapkan Dablek, malahan Pak Gori tidak percaya kalau anak Pak Enok mati dibunuh karena sehari sebelumnya berusaha untuk memperkosa Murni.
Perlahan lahan awan mulai menunjukan warna merah, tanda fajar akan menyingsing. Desa pesisir Mangur telah kehilangan dua warganya dalam waktu kurang dari 24 jam. Sedih dan tragis. Akan ada hal-hal di luar batas terjadi.
................
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H