Mohon tunggu...
Catur Indrawan
Catur Indrawan Mohon Tunggu... Freelancer -

Kekasihnya Senja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kisah Seekor Kucing yang Dihukum Menjadi Manusia

14 April 2015   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1428987944648430041

Apakah kau percaya setiap makhluk akan menerima ganjaran atas perbuatannya yang pernah mereka lakukan semasa hidup di dunia, seperti yang diungkap kitab-kitab suci keagamaan? Terserah kau mau mempercayai hal itu atau tidak, tetapi di sini aku hanya menceritakan kisahku. Kau boleh tidak mempercayainya.

*

Dulu, dulu sekali. Aku adalah seekor kucing yang bengal. Saat masih kanak, akulah penguasa keenam puting susu ibuku. Sebelum aku kenyang, saudara-saudaraku tak berani mendekati puting susu ibuku. Saat remaja, perkelahian dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya kulakoni. Tak peduli mereka pemilik rumah menyiramku dengan air comberan yang berbau busuk. Dan tak peduli luka cakar membuat codet seluruh tubuhku, asalkan aku bisa diakui menjadi satu-satunya penguasa atap rumah Blok B.

Saat beranjak dewasa, aku tak lagi berkelahi sesering dulu. Hanya beberapa kali bila ku melihat ada kucing asing yang datang ke daerah kekuasaanku tanpa permisi. Seluruh kucing jantan telah kutaklukan, sementara yang betina merengek minta dikawini. Entah sudah berapa banyak betina yang rahimnya kusuntik dengan spermaku. Dan jangan kau tanya berapa anakku, sebab setelah mengawini mereka aku lantas pergi. Masa-masa keemasanku menjadi kucing bengis di Blok B perumahan elit di Semarang masih terkenang hingga kini.

*

Suatu malam setelah habis bercinta dengan betina kembang telon, aku menyisir jalan, mengontrol apakah ada kucing asing yang masuk wilayahku. Saat hendak menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah sedan meluncur ke arahku dan melindas tubuhku. Nyawaku keluar bersamaan dengan sepasang wajah kepanikan keluar dari kabin sedan. Aku dapat memperkirakan sang pengendara baru saja mendapat SIM baru dan hendak pamer ke kekasihnya dengan mengajaknya kencan. Sesaat sebelum melindas tubuhku pasti mereka tengah bersenda gurau.

Dengan begitu panik sang gadis merelakan sweeternya yang berwarna merah jambu sebagai pembungkusku dan meletakkan ku dalam bagasinya.

"Kita dalam masalah besar. Menabrak kucing hitam bertanda tak baik," ujar sang gadis yang hanya terdengar sepintas lalu, sementara si pemuda menggali lubang kuburku. Aku dikuburkan di lahan kosong di samping rumah sang gadis.

*

Sesaat setelah sedan itu berlalu meninggalkanku. Malaikat maut versi hewan menjemputku. Aku diajak menuju alam akhirat hewan. Kau tahu, di alam ini waktu terasa memulur panjang. Lama sekali. Aku menunggu pengadilan atas diriku. Seperti yang diungkap kitab-kitab suci keagamaan, hari pertimbangan itu ada. Dan hewan pun sama.

Di saat menunggu itulah aku bertemu peri berwajah anjing. Ia menawarkanku kemudahan. Aku mengira ia calo. Aku menolak karena tak bisa membayar. Ia mengatakan ia hanya ingin membalas budi padaku sebab aku pernah menolongnya saat ia akan dikuliti oleh Kang Dogol, pemburu anjing liar yang tinggal dekat tepi kali. Aku membebaskannya sebagai sesama hewan, tapi sayang ia tercebur ke kali yang tengah meluap. Aku tak tahu lagi kisah hidupnya.

Ia mengantarku langsung ke hadapan hakim pengadilan hewan. Sang hakim memutuskan aku masih harus kembali ke dunia, belum bisa menginjak surga. Ya, seluruh hewan konon akan dimasukan ke surga oleh Tuhan. Apalahi aku seekor kucing. Baiklah, aku menerima putusan itu. Tetapi aku tak menyangka sang hakim akan memutuskan ku kembali ke dunia sebagai manusia.

Sial!

*

Sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahim manusia. Terasa sumpek dan lama, aku tak betah. Akhirnya hari ini tiba juga. Hari kelahiranku sebagai manusia.

Dan terasa sudah 30 tahun aku menjalani hidupku sebagai manusia. Kau tahu, aku masih mengingat masa-masaku menjadi seekor kucing. Ini hal yang tak biasa. Biasanya setelah mengalami yang dikatakan orang sebagai reinkarnasi, orang akan lupa dengan kehidupan di masa lalunya. Aku ingat hal itu, tetapi aku sembunyikan. Yang tak kusembunyikan adalah aku senang berbicara dengan kucing, dan aku mengerti bahasa mereka. Sesuatu hal yang tak jarang dipandang aneh oleh orang lain. Tetapi tak mengapa.

Hal buruk yang kualami sepanjang menjadi manusia adalah cintaku selalu ditolak oleh para gadis. Aku tahu penyebabnya, ini adalah balasan dari sikapku saat menjadi kucing jagoan di Blok B.

Hingga suatu saat aku bertemu Marni. Ia gadis tuna netra penjual rokok yang tinggal di gubuk reot dekat pintu air. Sekali waktu aku ke rumahnya. Saat itu aku disuruh ibu memanggil tukang pijat. Selain penjual rokok, Marni juga ahli memijat. Saat pulang mengantarnya, aku berbincang dengannya. Ia mengaku dulunya adalah seekor kucing. Hal yang mengejutkanku. Tapi harusnya aku tak terkejut karena di gubuknya banyak sekali kucing dan ia sering berbicara dengan kucing-kucingnya. Ia mengatakan dulunya adalah seekor kucing betina yang ditinggal mati pejantannya. Ia mati sama seperti pejantannya, tertabrak. Di pengadilan hewan sebenarnya ia sudah dimasukan ke dalam surga. Tetapi ia menolak dan memilih kembali ke dunia menjadi manusia ketika ia mengetahui pejantannya dijebloskan ke dunia manusia. Bodoh! Ucapku dalam hati. Kau tahu apa yang ia katakan setelahnya? Pejantannya itu adalah jagoan dari Blok B. Aku menelan ludah. Saat itu aku memutuskan mencintai Marni.

Jelas hal itu tak disukai ibuku. Tapi tak apa, hal ini terjadi pun karena ayah dan ibuku. Kau tahu, aku pernah membaca diary milik ibuku. Di sana ia menulis, setelah ia menonton bioskop bersama pacarnya (ayahku), mereka berhenti sejenak di jalan dekat Blok B perumahan yang masih sepi. Melepas birahi yang semenjak di bioskop mereka tahan. Di jalan itu, pacarnya (ayahku) menyemprotkan benihnya ke rahimnya. Dan dalam perjalanan pulang, mereka menyesali hal itu dan bertengkar. Di tengah pertengkaran mereka lalai tak memperhatikan jalan dan menabrakku.

Begitulah ceritaku. Seperti yang kukatakan di awal, aku tak memintamu mempercayai ceritaku. Tetapi berhati-hatilah di jalan, kau tak tahu peristiwa apa yang akan terjadi mengikuti peristiwa sebelumnya.

***

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun