Mohon tunggu...
Catur Indrawan
Catur Indrawan Mohon Tunggu... Freelancer -

Kekasihnya Senja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menilam Kenangan di Malioboro

24 September 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wangi pengharum ruangan beraroma lemon menyeruak seketika pintu kamar 104 Hotel Puspita di jalan MayJen Sutoyo kami buka. Di dalamnya terdapat 2 tempat tidur, televisi, dan tentunya AC. Ya, jokja sedang panas-panasnya, tanpa AC mungkin akan jadi ayam oven!


Perjalanan satu setengah jam yang seharusnya, mulur menjadi dua jam lebih dari Pantai Glagah ke pusat kota Jokja. Ditambah mencari penginapan yang tidak jauh dari Malioboro, Keraton, Taman Sari, dan Prawirotaman, didapatlah Hotel Puspita. Sudah sering ke jokja, namun entah kenapa baru 'engeh' kalau bangunan berarsitektur joglo itu adalah hotel.


Perjalanan yang menyita energi, khususnya untukku

yang nonstop menyetir dari Semarang langsung Ke Kulon Progo, Pantai Glagah. Langsung ku rebahkan tubuhku di atas spring bed, sejenak memandang langit-langit kamar hotel dan terpejam setelahnya. Luna? Sesaat sebelum aku terpejam, ia sedang membereskan

barang-barang yang ada di dalam tasnya, di bed sebelahku.


Pukul 20.13 WIB, aku dibangunkan Luna yang

mengajakku makan malam. Mataku masih agak berat saat mendapati perempuan dihadapku tersenyum manis dan wangi parfum menyemut di tubuhnya. Setelah bersih-bersih, kami beranjak ke Malioboro yang berjarak hanya 10 menit dari hotel kami menginap. Pihak hotel sebenarnya memberikan makan malam, tapi sepertinya menilam kenangan lampau jadi pilihan kami. Kami berjalan di selasar pertokoan dan kaki lima, memasuki tiap kios-kios yang menjual macam-macam aksesoris. Berhubung perut belum begitu lapar, tak apalah mengikuti insting wanita, shoping. Beberapa menit kemudian, beberapa

barang belanjaan sudah di tangan kananku, sekalipun bukan aku yang punya; menurutnya tanggungjawab lelaki tuh saat membawakan barang belanjaan perempuan

tanpa harus diminta.

Katakata yang lama endap di gendang telingaku, sebab sempat dulu aku pernah menolak membawa barang belanjaannya, dan dia marah besar lalu 'ngambek' berhari-hari.


Jam di tanganku menunjuk ke angka 21.11, hah! semoga ini kios terakhir yang kami sambangi.


***


Mencari tempat makan di Jokja itu sebenarnya tak sulit, apa lagi di Kawasan Malioboro, dari Restaurant

sampai Lesehan ada. Hanya saja, karena dia alergi dan sensitif terhadap beberapa

makanan jadi harus hatihati. Kami menyusuri jalan sepanjang 1 kilometer itu, ada yang lebih berat dari belanjaannya yang ada di tangan kananku; adalah genggamannya yang semakin erat menggenggam kenangan. Sampai kami berjalan sejauh 15 meter, kami menemukan Restaurant

dengan konsep unik, taman di tengah keriuhan Malioboro. Legian Garden Restaurant, memasukinya kami mendapati nuansa yang berbeda, seperti di bali. Akh, tak apalah tak jadi ke bali pikirku, ternyata di jokja pun ada "bali-nya". Alunan musik

bali dan gamelan jawa

bersahutan, merdu.

Restaurant ini ada di lantai dua persis di depan Hotel Ibis. Kami memilih meja di sisi dekat jalan Malioboro, Hiruk pikuk Malioboro tak pernah mati, terlihat dari atas begitu cantik.


Ayam betutu, Gudeg

kendil, dan Sate bali menu kami malam ini. Sembari menunggu, banyak hal yang kami kisahkan, saling

berbagi, seperti empat tahun lalu begitu singkat. Saling menggenggam, bersitatap, dan kembali aku menggerutu Tuhan. Tuhan tak adil, Ia memberi rasa sayang di hati kami, tapi kerna keyakinan dan berbeda menyebutkan namaNya-lah cinta yang dihibahkanNya tak bisa

bersatu.


Matanya berkaca, setelah menceritakan kisahnya dengan mantan suaminya, sembari memperlihatkan lengannya yang luka akibat KDRT. Demi Tuhan, kupikir Iblis pun takkan pernah tega melukai perempuan ini. Lalu bahunya bergetar menahan pilu. Akupun pindah, duduk di sampingnya, mendekapnya. Lelaki mana yang tega melihat orang yang di sayanginya begitu terpukul, karena itu ketika ia mengajak liburan ke jokja tak ku tampik.


Menu makan malam datang, kuusap bulir-bulir airmatanya dengan saputanganku. Waiter merapihkan makanan pesanan di meja. Kukecup keningnya semoga dapat menenangkannya. Kulihat waiter itu rikuh melihat kemesraan kami, karnanya

bergegas pergi.


Menunya biasa, tapi karna di jokja dan dengan seseorang yang pernah menjadi spesial di hati, yang menjadikannya

luarbiasa.


***


Kami tak membawa mobil karna jarak hotel dan malioboro hanya 10 menit, sepanjang perjalanan pulang ia melingkarkan tangannya ke lenganku, merebahkan kepalanya di bahuku. Terulang, tapi kali ini bukan sebagai kekasih; Sebagai sahabat, sahabat? Setelah ciuman di Pantai Glagah itu? Entahlah, apakah ada larangan seorang sahabat dilarang mengecup bibir sahabatnya? Cinta adalah hal yang membuat semua perihal terlihat 'aneh'.


***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun