Mohon tunggu...
Catur Indrawan
Catur Indrawan Mohon Tunggu... Freelancer -

Kekasihnya Senja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ada Mereka di Hatiku (Part 7)

22 September 2011   07:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"tak ada yang abadi, tak ada
yang abadi...." Ringtone
ponsel menyadarkan aku dari lamunku.

"Kak, masih di jalan ya?",
Dinda adik angkatku yang
paling besar.

"Iya, lagi di Terminal Grogol. Ada apa Dind?", tanyaku balik.

"Ini kak, adik-adik sudah
laper. Tapi, tadi sudah Dinda
bilang tunggu kakak dulu."

"ooh, ya sudah suruh adik-
adik makan duluan. Mungkin kakak nyampenya masih lama."

"Baik kak.", Dinda pun
menutup teleponnya,
sementara aku beranjak dari Terminal dengan pikiran menerawang.

***

Siang, saat jam makan siang
tiba. Langkahku entah
mengapa agak sedikit
gemetar, padahal biasanya
biasa saja saat memasuki
meja kerjanya Rei. Rei dari jauh sudah tersenyum padaku
sambil merapihkan berkas-
berkas yang berantakan.

"hei Rei, masih sibuk ya?",
kusapa sambil membantunya merapihkan.
"eh, Abi. Ngga kok tinggal
beres-beres aja. Kenapa bi?", jawabnya sembari tak lupa ia melontarkan senyum merah jambunya.

"Hmm... Makan yuk?" ajakku
"Yah udah kenyang bi, tuh
abis ngabisin biskuit sebungkus dan 2 apel
hehehe..." kata Rei sambil
menunjukan plastik bekas
biskuit.

"Terus kamu mau ngapain? Di kantor aja."

"ngga tau mau ngapain,
palingan ngecek design anak-anak yang baru magang."

"Boleh aku temenin?"

"lho katanya mau makan,
etapi gak apa-apa kok kalo
mau nemenin. Ngg... Pak arif buatin kopi ya, pake krim tapi dikit aja."

"oh iya neng, mas Abi mau
juga?", kata Pak arif OB yang baru saja melintas di selasar. Aku menggelengkan kepala,
isyarat tak mau.

"eh, emang ada apa sih bi, tiba-tiba ngajak aku makan. Gak kayak biasanya. Hemm...
Jangan-jangan mau nembak aku. Ya kan?" Rei meledek aku dengan disertai kerlingan mata indahnya. Akh makin
cantik aja mahluk di
hadapanku.

Dan Pak arif datang lagi
dengan membawa kopi krim pesanan Rei, "makasih pak. Eh bi, gimana 2 anak yang kamu ceritakan di telpon tempo hari itu?"

"Nah itu Rei yang mau aku omongin, kemarin aku sempet mendatangi rumahnya Om Rudi itu yang
memperkerjakan mereka."

"terus...?" sela Rei sembari
membuka file-file Autocad di komputernya.
"Mereka gak kasih, meskipun mau aku tebus berapa pun. Eh besok-besoknya kedua anak
itu udah gak ngamen di
lampu merah grogol. Aku
tanya teman-temannya, katanya mereka dipindahin
sama om Rudi."

"dipindahin? Lokasi ngamennya gitu."

"iya Rei, aku khawatir sama
mereka."

"Abi sayang, yah mungkin
bukan takdirmu untuk
membantu mereka." kata Rei yang tiba-tiba matanya
begitu fokus ke arah mataku dan kata 'sayang' di belakang namaku membuat dada berdebar.

"tapi Rei, mereka itu ada di
hati aku."

"dan sebelum bertemu kamu, mereka bisa kan melalui kehidupan jalanan yang keras. Ngg... Jangan bilang kamu mau mencarinya. Jakarta luas bi." Rei yang coba menenangkan aku dan
tak dinyana jemari Rei
menggenggam erat jemariku.

"Aku pun khawatir bi, khawatir sama kamu. Kamu
sempatkan dipukulin anak
buahnya om Rudi itu, saat ku tanya kau bilang
terpentok pintu mikrolet. Aku tahu bi."

"Kau tahu darimana? Aisyah
yang bilang, Mei? Ruly? Atau
Syarif?" kataku terkejut, dari
10 adik angkatku cuma
mereka yang punya ponsel
dan Dinda, tapi tak begitu akrab dengan Rei.

"Bukan mereka, tapi Dinda.
Dinda telepon aku malam-
malam, beberapa jam setelah kamu dipukulin sampai memar-memar. Aku ingin ke rumahmu saat itu, tapi udah malam banget. Pas besok kutanya, kamu malah berbohong." kata Rei sambil menekuk bibirnya.

"Iya aku bohong, maaf..."

"Udah aku maafin bi, sebelum kau minta maaf," masih dengan wajah cemberutnya kali ini matanya fokus ke layar LCD.

"Bi, kamu tuh udah sering
banget bantu orang. Tolong
kasih kesempatan aku untuk bantu kamu gitu."

"Lho kau kan sering bantu
aku, mengedit design-designku." kataku terheran-heran.

"Bukan soal kerjaan, kamu
nih gak peka banget deh."
kata Rei agak kesal.

"Gak peka bagaimana?" Aku
makin heran.

Rei menghadapkan tubuhnya ke arahku, meninggalkan layar LCD yang berkedip-kedip. Lantas kedua telapak tangannya menutup dan menggenggam telapak tangan kananku yang ada di
mejanya, lalu dengan suara
berbisik Rei berucap "Abi,
beri aku kesempatan untuk
membantumu. Membantumu menata hati. Kamu yang selama ini mencintai dan menyayangi mereka, pun patut diperlakukan yang sama. Dan aku, aku ingin jadi
orang dapat melakukan itu
untukmu."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun