"tapi Rei, mereka itu ada di
hati aku."
"dan sebelum bertemu kamu, mereka bisa kan melalui kehidupan jalanan yang keras. Ngg... Jangan bilang kamu mau mencarinya. Jakarta luas bi." Rei yang coba menenangkan aku dan
tak dinyana jemari Rei
menggenggam erat jemariku.
"Aku pun khawatir bi, khawatir sama kamu. Kamu
sempatkan dipukulin anak
buahnya om Rudi itu, saat ku tanya kau bilang
terpentok pintu mikrolet. Aku tahu bi."
"Kau tahu darimana? Aisyah
yang bilang, Mei? Ruly? Atau
Syarif?" kataku terkejut, dari
10 adik angkatku cuma
mereka yang punya ponsel
dan Dinda, tapi tak begitu akrab dengan Rei.
"Bukan mereka, tapi Dinda.
Dinda telepon aku malam-
malam, beberapa jam setelah kamu dipukulin sampai memar-memar. Aku ingin ke rumahmu saat itu, tapi udah malam banget. Pas besok kutanya, kamu malah berbohong." kata Rei sambil menekuk bibirnya.
"Iya aku bohong, maaf..."
"Udah aku maafin bi, sebelum kau minta maaf," masih dengan wajah cemberutnya kali ini matanya fokus ke layar LCD.
"Bi, kamu tuh udah sering
banget bantu orang. Tolong
kasih kesempatan aku untuk bantu kamu gitu."
"Lho kau kan sering bantu
aku, mengedit design-designku." kataku terheran-heran.
"Bukan soal kerjaan, kamu
nih gak peka banget deh."
kata Rei agak kesal.
"Gak peka bagaimana?" Aku
makin heran.