Mohon tunggu...
Ali Eff Laman
Ali Eff Laman Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Lepas Bebas

Orang biasa yang dikelilingi orang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dari Sejuta Rumah Sampai DP Nol Rupiah (Eps 4)

13 Juli 2022   12:08 Diperbarui: 13 Juli 2022   16:33 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Sejuta Rumah sampai DP Nol Rupiah

Episode 4

Mandatory Spending bagi Program Perumahan.

Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai pemenuhan hunian sebagai kebutuhan dasar. Termasuk bagaimana para ahli perumahan berupaya memberikan argumen kepada pemerintah tentang pentingnya dukungan anggaran yang memadai bagi terlaksananya berbagai program perumahan dan kawasan permukiman.  

Pemerintah setiap tahun selalu menganggarkan sejumlah belanja yang wajib dialokasikan dengan persentase tertentu. Alokasi belanja ini dikenal dengan mandatory spending, yaitu belanja atau pengeluaran negara yang besar nya sudah diatur oleh Undang-Undang (UU). Berdasarkan jenis alokasi ada lima alokasi yang menjadi perhatian pemerintah, dari lima alokasi tersebut hanya program kesehatan dan pendidikan yang wajib mendapat mandatnya disebutkan secara spesifik, lainnya mendapat mandat umum.

Program-program kesehatan dipandang penting untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi -tingginya sebagai modal dasar pembangunan berupa terciptanya Sumber Daya manusia yang sehat. Demikian juga program pendidikan diharapkan untuk dapat meningkatkan pengetahuan sehingga pada akhirnya melahirkan generasi terpelajar dengan kualitas yang memadai. 

Jika dua tujuan tersebut menjadi dasar diberikannya mandat anggaran yang besar dan dipandang lebih prioritas maka secara nyata program perumahan sesungguhnya sangat berpengaruh untuk mencapai upaya tersebut. Baik peningkatan derajat kesehatan maupun upaya meningkatkan pengetahuan bahkan lebih dari itu lingkungan permukiman dapat mempengaruhi kualitas perilaku serta watak manusia sebagai modal dasar pembangunan.

Seperti dikutip dari Ali Eff laman dalam tulisannya "Rumah Sehat atau Rumah Sakit" (Kompasiana, Juli 2022)  : "Dengan kata lain, faktor lingkungan yang dalam hal ini lingkungan sekitar manusia,  seperti lingkungan pemukiman dan sanitasi rumah harus baik, serta faktor perilaku yang dalam hal ini juga terbentuk dari pendidikan dan pembinaan keluarga dalam rumah dan lingkungan tempat tinggal menjadi faktor penentu tertinggi dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sebesar 70%." (Lingkungan dan perilaku, HL Blum).

Namun dapat dimaklumi dengan keterbatasan anggaran terutama sejak terjadinya pandemi Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, dimana satu sisi diperlukan penganggaran kesehatan segera (pengobatan) yang semakin besar, disisi lain perlu mulai memikirkan kebijakan jangka panjang dalam penyediaan anggaran pemenuhan lingkungan dan perilaku sehat berupa penyediaan perumahan dan kawasan permukiman layak sebagai upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan.

Beberapa Upaya Penurunan Backlog 

Program Nasional Sejuta Rumah sebagai salah satu jawaban dari penyelesaian backlog perumahan yang sekaligus menunjukan keberpihakan anggaran pada sektor perumahan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalokasikan anggaran program pembangunan perumahan pada 2021 sebesar Rp 8,093 triliun dengan prioritas Program Sejuta Rumah. Program ini telah, sedang dan terus dijalankan oleh pemerintah pusat termasuk penyediaan di wilayah DKI Jakarta melalui Perum Perumnas. 

Penyediaan hunian melalui program skema FLPP kementerian PUPR juga turut menyentuh wilayah Jakarta meskipun dari sisi jumlah sangat belum cukup untuk pemenuhan kebutuhan akan hunian ataupun menurunkan angka backlog, terlebih lagi dengan variasi tingkat ekonomi, sosial budaya di Jakarta yang menjadi tantangan tersendiri dalam penetapan sasaran program penyediaan perumahan. Artinya di Jakarta memerlukan program spesifik untuk menjawab persoalan backlognya sendiri.

Hal yang menjadi persoalan utama dalam upaya Pemerintah DKI Jakarta untuk menyediakan hunian adalah keterbatasan lahan dan mahalnya harga lahan. Keterbatasan tersebut mengakibatkan tidak hanya masyarakat berpenghasilan rendah saja yang mengalami kesulitan memperoleh hunian, namun juga para pekerja dan kelas menengah. 

Dari sisi kepentingan kewilayahan, pasar hunian yang tidak terjangkau bagi mayoritas pekerja dengan penghasilan tergolong rendah membuat mereka semakin tersingkir dengan mencari hunian di pinggiran Jakarta. Mereka menempuh waktu yang lebih lama dalam perjalanan, menambah kemacetan dan menambah beban biaya transportasi. 

Pemerintah atau perusahaan swasta di Jakarta membayar gaji pekerja tapi orang-orang ini spending pajaknya di luar Jakarta. Jadi kalau mau dikembalikan ekonominya lebih cepat, segmen ini adalah angkatan produktif oleh karena itu jangan tersingkir ke pinggir Jakarta, mereka harus dikembalikan. Makanya segmentasi itu harus difasilitasi agar dapat memiliki hunian ditengah kota yang  efeknya  tentu juga akan berujung pada  pembangunan Jakarta. 

Di sisi lain, pasar hunian yang tersedia hanya dapat dijangkau orang dengan penghasilan tinggi, atau para investor yang mendapatkan keuntungan dari semakin naiknya harga tanah dan bangunan di Jakarta. Dalam menyelesaikan persoalan ini, diperlukan peran  dari Pemerintah, yaitu dengan mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang investasi rumah susun maupun ketataruangan, penguatan manajemen pengelolaan aset dalam konteks pemetaan aset tanah daerah dan lahan-lahan potensial secara optimal .

Hal lain yang perlu menjadi perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah permukiman kumuh, permukiman liar yang mayoritas dihuni oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Juga area permukiman di wilayah DKI Jakarta masih ada yang belum tertata sepenuhnya, sehingga perlu ditekankan pentingnya peningkatan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman kota melalui prinsip-prinsip revitalisasi dalam bentuk penataan kampung, perbaikan lingkungan maupun pembangunan kembali.

Beberapa Alternatif Bantuan Perumahan bagi MBR

Berdasarkan  Undang Undang  (UU)  Nomor  11  Tahun  2011  tentang  Perumahan  dan  Kawasan  Permukiman,  Masyarakat  Berpenghasilan  Rendah  yang  selanjutnya  disingkat  MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat  dukungan  pemerintah  untuk  memperoleh  rumah.  Pasal  126  UU  Nomor  11  Tahun  2011  menyebutkan  bahwa  pemerintah  dan  pemerintah  daerah  memberikan  kemudahan  dan  atau  bantuan  pembiayaan  untuk  pembangunan  dan  perolehan  rumah  umum  dan  rumah  swadaya bagi MBR.

Berdasarkan definisi tersebut bahwa ada dua poin penting, pertama keterbatasan daya beli dan kedua adalah dukungan, kemudahan atau bantuan dari pemerintah. Menurut para ahli ekonomi ada setidaknya ada dua  faktor yang paling mempengaruhi daya beli masyarakat terutama di Jakarta :

Pertama adalah harga. Harga barang dan jasa adalah salah satu faktor penentu daya beli masyarakat yang sangat penting. Saat harga naik, maka kemampuan daya beli masyarakat akan cenderung menurun. Sebaliknya, saat harga turun maka kemampuan daya beli masyarakat meningkat. Dari sisi ini jelas bahwa Jakarta memiliki persoalan tersendiri soal harga hunian. Harga hunian di jakarta  cenderung lebih tinggi dari wilayah lainnya.

Kedua adalah pendapatan. Bagi individu, pendapatan riil menjadi penentu pada daya beli mereka. Yang dimaksud pendapatan riil adalah pendapatan seseorang yang telah disesuaikan dengan perubahan harga. Jika pendapatan riil meningkat, maka seseorang dapat membeli barang atau jasa lebih banyak dibandingkan sebelumnya.

Sangat penting untuk menyesuaikan pendapatan dengan kenaikan harga barang dan jasa di pasaran. Karena setiap tahun harga barang cenderung mengalami kenaikan sedikit demi sedikit. Bisa saja pendapatan meningkat tapi harga juga meningkat. Dari sisi ini maka meskipun Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta lebih tinggi dari wilayah lain namun perubahan harga di Jakarta cenderung lebih cepat dari wilayah lain. Jadi pendapatan yang meningkat bukan berarti daya beli langsung meningkat. Sebab pendapatan meningkat yang diikuti dengan meningkatnya harga barang, secara riil pendapatnya tidak meningkat. 

Karena itu, pendapatan harus disesuaikan dengan harga. Pertimbangan harga dan pendapatan masyarakat inilah kemudian yang menjadi pembeda batasan penghasilan tertinggi untuk kategori MBR antara Jakarta dan wilayah lain di Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan faktor yang mempengaruhi kemampuan daya beli tersebut kemudian pemerintah dapat menyusun formulasi dan jenis bantuan pendanaan (funding) ataupun pembiayaan (financing) perumahan yang tepat diberikan pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah 9MBR) DKI Jakarta, dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan berdasar segmennya. 

Menurut penulis, MBR yang memerlukan bantuan pendanaan atau pembiayaan oleh pemerintah DKI dalam mengakses hunian layak  dapat dibedakan dalam  6  (enam)  segmen yaitu :

1) MBR  yang  telah  memiliki  tanah  atau  rumah  namun  tidak  mampu  membangun/memperbaiki rumahnya menjadi layak. 

2) MBR  yang mampu mengangsur KPR  Program Pemda namun tidak memiliki DP (Bankable/Non-Bankable)

3) MBR yang mampu mengangsur KPR subsidi luar kota Jakarta (Bankable/Non-bankable)

4) MBR yang  mampu menyewa rumah layak ( Bankable/Non-Bankable )

5) MBR yang  hanya mampu menyewa rumah tidak layak. ( non bankable )

6) MBR yang sama sekali tidak mampu menyewa rumah.( non bankable )

Intervensi  pemerintah DKI Jakarta  untuk  masing masing  segmen  tentunya  berbeda.  Bagi  MBR  yang  sama sekali  tidak mampu menyewa rumah, pemerintah DKI Jakarta dapat menyediakan pendanaan subsidi penyediaan Rumah Sosial/panti. Bagi  MBR  yang  mampu menyewa rumah namun tidak layak , pemerintah dapat membantu menyediakan Rumah  Susun  Sederhana  Sewa  (Rusunawa) dengan konsep pendanaan subsidi dengan tarif sewa setara dengan kemampuan keuangannya.

Selanjutnya program penataan hunian berupa bedah rumah, kampung deret bagi MBR yang  memiliki  tanah atau  rumah dengan skema pendanaan subsidi ataupun skema pembiayaan kredit. Hal paling menarik selanjutnya adalah Program  fasilitasi pembiayaan KPR DP Nol Rupiah bagi  MBR  yang memiliki kemampuan keuangan oleh penilaian perbankan (bankable).

Penulis ;

Ali Eff Laman

Tulisan Selanjutnya Progran KPR DP Nol Rupiah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun