Mohon tunggu...
Ali Eff Laman
Ali Eff Laman Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Lepas Bebas

Orang biasa yang dikelilingi orang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Peran Pemerintah dalam Penyediaan Hunian Layak (Eps 2)

1 Juli 2022   00:56 Diperbarui: 19 Juli 2022   17:02 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah layak huni (Dok. BP Tapera via KOMPAS.com)

Backlog Perumahan

Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi, namun tidak semua orang memiliki kemampuan secara finansial untuk memilikinya.

Pemenuhan kebutuhan dasar ini terkendala dengan semakin tingginya harga hunian hingga tak terjangkau oleh masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. 

Secara umum tantangan penyediaan hunian di wilayah perkotaan adalah land limitation atau lahan terbatas, populasi tinggi, dan kenaikan harga konstruksi. 

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), hingga 30 September 2021, angka backlog perumahan di Indonesia atau kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan mencapai tidak kurang dari 11 juta unit.

Backlog Rumah adalah salah satu indikator yang digunakan Pemerintah sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) terkait bidang perumahan untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia. 

Backlog rumah dapat diukur dari dua perspektif. Pertama, backlog rumah dari perspektif kepenghunian, mengacu pada konsep perhitungan ideal: 1 keluarga menghuni 1 rumah.

Konsep menghuni dalam perhitungan ini merepresentasikan bahwa setiap keluarga tidak diwajibkan untuk memiliki rumah, tugas pemerintah memfasilitasi/mendorong agar setiap keluarga bisa menghuni rumah yang layak, dengan cara sewa/kontrak, beli/menghuni rumah milik sendiri, tinggal di rumah milik pemerintah (rumah dinas) ataupun milik kerabat/keluarga selama terjamin kelayakannya.

Kedua, backlog dari perspektif kepemilikan yaitu berdasarkan angka home ownership rate /persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri. Sumber data dasar yang digunakan dalam perhitungan ini adalah dari data survei BPS. 

Dalam hal ini fokus utamanya tidak berorientasi terhadap kelayakan hunian. Artinya, sekalipun hunian tidak memenuhi syarat keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni, sepanjang merupakan bentuk kepemilikan maka dihitung sebagai pengurangan backlog perumahan.

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta, angka backlog merujuk pada hasil survei BPS. Menghitung jumlah properti yang ada dibandingkan dengan jumlah keluarga, DKI Jakarta kekurangan 302.319 unit hunian. 

Saat ini hanya setengah penduduk DKI (51%) ini yang punya properti sendiri (rumah/hunian vertikal). Penduduk yang tidak memiliki rumah tersebut terkonsentrasi pada 40% masyarakat termiskin.

Darurat hunian akan menjadi ancaman laten baik dari kepemilikan maupun kelayakan. Pertumbuhan penduduk dan tingginya urbanisasi membuat kebutuhan akan rumah di Ibu Kota tak terbendung. Jakarta akan selalu kekurangan unit hunian (backlog). 

Di sisi lain, penghitungan angka backlog di Jakarta saat ini baru berdasarkan jumlah rumah tangga ber-KTP Jakarta, belum termasuk jumlah pendatang yang tidak ber-KTP Jakarta tetapi tinggal di Jakarta. Ini menggambarkan, jumlah backlog populasi sebenarnya lebih besar lagi.

Tingginya harga hunian

Permasalahan backlog dijawab dengan penyediaan hunian yang dibangun oleh sektor swasta, dan sebagaimana layaknya watak dunia usaha tentu pembangunan oleh sektor swasta mengutamakan konsep komersialisasi.

Alih-alih mengurangi backlog, bangunan yang disediakan dengan yang harganya selangit akhirnya dimiliki oleh masyarakat berpunya untuk rumah kedua dan ketiga. Sehingga meskipun jumlah hunian bertambah signifikan, namun angka kepemilikan hunian cenderung tidak bertambah.

Pasar hunian yang tidak terjangkau bagi mayoritas kelas menengah ke bawah membuat mereka semakin tersingkir dengan mencari hunian di pinggiran Jakarta. Mereka menempuh waktu yang lebih lama dalam perjalanan, menambah kemacetan dan terbebani dengan biaya transportasi yang tinggi.

Kenaikan harga konstruksi kerap kali menjadi kambing hitam dianggap sebagai penyebab utama tingginya harga hunian. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk bangunan atau konstruksi, mengalami kenaikan sebesar 0,43% atau terjadi perubahan indeks dari 107,97 pada September 2021 menjadi 108,43 pada Oktober 2021 Oktober 2021. 

Kenaikan ini tentu saja berpengaruh pada kenaikan harga hunian, namun sebenarnya masih dapat diimbangi dengan kenaikan pendapatan meskipun dalam kejar kejaran antara peningkatan pendapatan dan peningkatan harga hunian, pendapatan tertinggal jauh di belakang.

Kenaikan harga konstruksi memang cukup mempengaruhi harga rumah, namun sebenarnya tidak separah pengaruh land limitation dan population growth. Ketersediaan tanah yang tak pernah bertambah sementara kebutuhan hunian terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Berlakulah mekanisme pasar, dikarenakan supply dan demand tidak seimbang maka terjadilah kenaikan harga properti dari tahun ke tahun dengan harga yang belum ada alat kontrolnya.

Persoalan selanjutnya jumlah penduduk yang terus bertambah. Kenaikan jumlah penduduk setiap saat tidak disertai dengan perluasan tanah maka berlaku hukum permintaan, semakin tinggi permintaan barang semakin tinggi harga barang. Faktor ini merupakan salah satu penyebab terjadinya kenaikan harga properti dari tahun ke tahun terlebih di lokasi yang strategis. 

Lokasi yang semula tidak strategis pun menjadi bernilai strategis ketika makin padatnya sebuah lokasi dan pada akhirnya harga tanah jauh melambung tinggi.

Pada akhirnya, pasar hunian yang semakin mahal hanya dapat dijangkau orang kaya, atau para investor properti yang mendapatkan keuntungan dari semakin naiknya harga tanah dan bangunan di Jakarta. Hunian dibeli oleh orang-orang mampu menjadi investasi lalu disewakan pada orang-orang yang kurang mampu. Mereka yang tidak mampu makin terus terdesak makin menjauh dari pusat kota.

Di sisi lain di pusat kota masih ada masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh tengah kota dan bahkan ada yang tinggal di kolong jembatan, hal ini menjadi permasalahan tersendiri yang akan diselesaikan dengan program sosial khusus.

Menyimak Program Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat telah melaksanakan program-program bantuan perumahan di berbagai daerah. Meskipun setiap daerah memiliki karakteristik permasalahan yang berbeda setidaknya pemerintah daerah yang akan membuat program bantuan pada masyarakat dapat belajar dari pengalaman pemerintah pusat agar hal-hal yang menjadi tantangan dapat diantisipasi sejak program mulai direncanakan.

Salah satu program pemerintah yang saat ini dijalankan adalah Program satu juta rumah merupakan upaya untuk mendorong berbagai stakeholder penyediaan perumahan yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang, dunia usaha, perbankan, dan masyarakat agar terwujud percepatan penyediaan rumah, utamanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). 

Melalui program ini diharapkan dapat terbangun satu juta rumah setiap tahunnya. Strategi implementasi program satu juta rumah:

  • Memberikan bantuan penyediaan perumahan berupa Rusunawa, Rusus, Bantuan Stimulan Pembangunan Rumah Swadaya (BSPS) dan PSU

  • Memberikan subsidi pembiayaan perumahan berupa KPR FLPP, subsidi selisih bunga (SSB), dan subsidi bantuan uang muka (SBUM)

  • Memberikan kemudahan perizinan pembangunan perumahan dan pembinaan kepada pemerintan provinsi dan pemerintah kabupaten/kota (PP Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR)

 Kegiatan Utama Penyediaan Perumahan yang dilakukan Pemerintah

  • Pembangunan Rumah Susun -> rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, terutama untuk tempat hunian. Penerima bantuan rumah susun antara lain MBR, Pekerja Industri, PNS, Nelayan, Mahasiswa, Santri

  • Pembangunan Rumah Khusus -> rumah khusus adalah rumah tapak/panggung tipe 28 dan 36 yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus. Penerima bantuan rumah khusus antara lain Petugas dan Masyarakat Perbatasan Negara, Nelayan, Korban Bencana, Masyarakat terdampak Pembangunan, Korban Konflik Sosial, Masyarakat Daerah Tertinggal, Terpencil dan Pulau Terluar

  • Bantuan Rumah Swadaya -> rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat. Penerima bantuan rumah swadaya adalah keluarga MBR yang memiliki dan tinggal di rumah sendiri namun tidak layak huni atau belum punya rumah namun memiliki tanah sendiri.

  • Bantuan yang diberikan berupa uang dan bahan bangunan dengan skema Peningkatan Kualitas Rumah Tidak Layak Huni dan Pembangunan Baru Rumah Tidak Layak Huni melalui pemberdayaan masyarakat

  • Bantuan PSU untuk Perumahan MBR -> bantuan penyediaan fasilitas dasar, pendukung, dan kelengkapan penunjang pada perumahan yang diperuntukkan bagi MBR. Jenis bantuan PSU meliputi jalan lingkungan dan TPS3R. Penerima bantuan PSU Perumahan adalah perumahan khusus MBR yang relatif baru.

 Kondisi Program Rumah Subsidi Pemerintah

Ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam program yang digagas oleh pemerintah pusat, persoalan ini seharusnya menjadi catatan bagi pemerintah pusat untuk mengembangkan program dan menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah untuk dapat mengamati, meniru dan memodifikasi. permasalahan tersebut diantaranya adalah :

Kemungkinan karena kurangnya sosialisasi dalam penghunian rumah subsidi baik rumah tapak dan rumah subsidi. Tidak semua debitur tahu bahwa rumah subsidi harus ditempati 1 tahun. Jadi banyak yang tidak dihuni lebih dari 1 tahun, yang butuh rumah banyak tetapi kenapa tidak ditempati. 

Jika tidak menempati karena tidak butuh rumah, artinya program ini salah sasaran atau tidak menghuni rumah subsidi karena sarana prasarana yang tidak lengkap seperti listrik, ketersediaan air minum, hingga transportasi umum. 

Kadang kala ada salah menyalahkan dalam hal tanggung jawab, pemerintah pusat mengatakan hal ini bukan menjadi tanggung jawab Kementerian karena terkait kelengkapan sarana prasarana, tetapi merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh sebab itu, pengembang rumah bersubsidi harus berkomunikasi baik dengan pemda. Sementara pemda merasa program ini adalah program pemerintah pusat.

Selanjutnya seringkali masyarakat mengeluhkan, rumah KPR bersubsidi belum memenuhi standar laik fungsi, baik dari sisi kualitas, konstruksi, penyediaan PSU (prasarana, sarana, dan utilitas umum) maupun administrasi. Masih ada kelemahan pondasi atap, ring balok, atap dan lain sebagainya. 

Sebenarnya kelayakan sudah diatur dalam ketentuan UU. Mungkin karena ada oknum pengembang nakal atau karena hal lainnya. Kadang kala karena program subsidi masyarakat sungkan untuk mengeluh dan lebih memilih menerima keadaan, namun pada akhirnya tidak mampu melakukan perawatan dan akhirnya penampakan rumah subsidi seperti perpindahan dari kekumuhan satu ke kumuhan lainnya.

Selain rumah tidak dihuni kadang kala rumah subsidi disewakan, atau dipindahtangankan sebelum 5 tahun atau 20 tahun. Seharusnya rumah subsidi tidak boleh disewakan dan harus dihuni sendiri. 

Masalah lainnya, terdapat dua rumah KPR bersubsidi digabung jadi satu rumah dan dibangun dan ternyata suami beli satu rumah subsidi lalu istrinya beli di sebelahnya dan mereka gabung jadi satu rumah, hal ini ,menandakan sistem seleksi kurang berjalan secara baik dan sesuai ketentuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun