Mohon tunggu...
Penerbit Imtiyaz
Penerbit Imtiyaz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya akan post tulisan tulisan Saya Kunjungi juga web Penerbit Imtiyaz http://www.penerbitimtiyaz.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus Nanal dan Upaya Merajut Sanad Ulama Nusantara

4 September 2020   23:39 Diperbarui: 5 September 2020   00:12 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedangkan ijazah merupakan lisensi atau izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya, sehingga dia bisa meriwayatkan atau mengajarkan apa yang telah dia dapat dari gurunya tersebut. Jadi, dalam tradisi intelektual Islam ini, ijazah bukan dipahami sebagai "selembar tanda kelulusan" sebagaimana yang dipahami masyarakat di dunia pendidikan pada saat ini. Jadi, berbeda jauh. Meskipun tentu saja istilah "ijazah" yang ada saat ini juga diserap dari tradisi keilmuan Islam.

Perkara sanad dan ijazah ini, jika diibaratkan, persis kisah pesilat yang berguru kepada pendekar. Si pendekar tentu saja belajar jurus kepada gurunya, dan gurunya belajar lagi kepada gurunya, seterusnya hingga kepada pencipta jurus itu sendiri. Sedangkan izin akan diberikan oleh si pendekar manakala si pesilat sudah menguasai berbagai jurus, punya fisik dan mentalitas tangguh, serta punya emosi yang stabil ditunjang dengan etika yang bagus. Guru akan menilai kelayakan muridnya ini sebelum memberikan ijazah. Hal ini diberlakukan untuk menjaga konsistensi gerakan dan pola jurus, hingga tetap sesuai dengan yang diajarkan oleh master atau pencipta jurusnya.

Demikian pula dalam aspek keilmuan agama. Standarisasi ini diberlakukan agar orang tidak sembarangan belajar atau mencari guru, atau orang tidak sembrono mengajarkan ilmunya. Semua ada aturannya. Bukan mempersulit, tetapi untuk menjaga keberlangsungan keilmuan Islam agar tidak melenceng dari relnya.

Ketika Gus Nanal Ainal Fauz menerbitkan karyanya, Ats-Tsabat al-Indonesiy, pada bulan April lalu, saya takjub. Kagum. Kiai muda yang bukan hanya telaten mengumpulkan dan mempelajari karya ulama Nusantara, melainkan juga rajin mencatat dari dan kepada siapa dia belajar, sekaligus menyusun matarantai sanad keilmuannya. Istimewa!

Dalam kitab setebal 185 halaman ini, Gus Nanal memang mengurutkan secara kronologis berdasarkan era hidup muallif-nya. Sistematika ini sangat membantu pembaca, sebab tidak perlu ribet dengan urusan melacak kurun, melainkan langsung melihat nama ulama yang diurutkan dan di dalamnya disertakan tahun wafat berdasarkan kalender hijriyah. Gus Nanal mengawalinya melalui Syekh Abdusshamad al-Falimbani, yang wafat pada 1203 H, berikut berbagai karya-karyanya, dan tentu saja dari siapa Gus Nanal memperoleh transmisi keilmuan ini. Gus Nanal mengakhirinya dengan menuliskan berbagai karya Dr. Luqman Hakim al-Indonesiy yang berasal dari NTB, dan KH. Rizqi Dzulqarnain al-Batawiy, Jakarta.

Jika dicermati, ada beberapa pola pengambilan sanad yang dilakukan penulisnya. Pertama, Gus Nanal mengambil sanad secara langsung kepada para penulis yang masih hidup. Misalnya, kepada KH. Najih Maimoen Zubair, KH. Zuhrul Anam Hisyam, KH. Afifuddin Muhajir, KH. Afifuddin M Afifudin Dimyathi, Dr. Luqman Hakim al-Indonesiy, dan sebagainya.

Kedua, melalui jalur melingkar. Kitab ulama Indonesia, tetapi sanad-nya disambungkan oleh ulama Yaman, Suriah (Syam) dan Mesir. Contoh, dalam mengambil sanad berbagai karya Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, Jakarta, Gus Nanal memperolehnya dari Habib Salim Asy-Syathiri, Tarim, Hadramaut. Demikian pula dengan sanad kitab Irsyadus Sari karya pendiri NU. Selain dari jalur KH. Fathurrahman Sarang, dari ayahnya, KH. Ali Masyfu'; dari ayahnya, KH. Fathurrahman; yang meraihnya dari KH.M. Hasyim Asy'ari, Gus Nanal juga memperoleh transmisi kumpulan kitab ini melalui jalur Habib Salim As-Syathiri yang memperolehnya dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, dari KH. M. Hasyim Asy'ari.

Selain itu, Gus Nanal justru mengakses sanad kitab-kitab karya Syekh Mahfudz Attarmasi melalui gurunya, Syekh Syadi Arbas ad-Dimasyqi, Suriah; dari Syekh Hasan Hitou, yang memperolehnya dari Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, dari Syekh Hasan bin Abdussyakur Assurbawi dan Syekh Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari, dari Syekh Mahfudz Attarmasi. Dari jalur Hadramaut, Gus Nanal meraihnya dari Habib Salim Asy-Syathiri, Yaman. Inilah istimewanya. Transmisi dobel.

Selain dari jalur ulama Yaman dan Suriah, ada juga dari ulama Mesir. Dalam hal ini Gus Nanal mengambil sanad karya Syekh Arsyad Thawil al-Bantani melalui jalur Syekh Hisyam Bahriyah al-Mishri, juga sekaligus dari KH. Najih Maimoen Zubair dari Syekh Yasin al-Fadani.

Yang unik, meskipun trasmiternya dari luar negeri, baik Yaman, Suriah, maupun Mesir, "cantolan"-nya tetap pada jalur Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Dari sini sudah jelas dan terang benderang alasan kenapa ulama keturunan Minangkabau ini disebut sebagai al-Musnid ad-Dunya.

Ketiga, para ulama yang ada di dalam kitab ini semuanya adalah pengikut Ahlussunnah wal Jama'ah, Asyairah, Maturidiyyah, 'ala madzahib al-arba'ah, dan shufiyah. Jadi, kita tidak akan menjumpai ulama Wahabi, Syiah, atau kelompok menyimpang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun