Ketika menyampaikan makalah berjudul "Melacak Genealogi Tasawuf Imam al-Ghazali di Nusantara" dalam Seminar "Kefahaman Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dan Pemikiran Semasa 2019" di Kolej Universiti Perguruan Ugama (KUPU) Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, Kamis Pahing, 14 Dzulhijjah 1440 H bertepatan dengan 15 Agustus 2019, saya menyebut nama Ajengan Ahmad Ginanjar Sya'ban, Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas, dan Gus Nanal Ainal Fauz.
Ketiga nama ini saya sebut sebagai anak-anak muda yang konsen di bidang turats klasik warisan ulama Nusantara. Mereka juga sudah membukukan hasil penelitiannya. Ajengan Ginanjar Sya'ban melaluui Mahakarya Ulama Nusantara yang berisi ulasan berbagai kitab karya ulama kita. Sedangkan Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas menorehkan dua karya, Warisan Ulama Nusantara: Tokoh, Karya dan Pemikiran dan Pustaka Naskah Ulama Nusantara: Fatwa, Polemik, Sanad Ijazah dan Korespondensi. Jika karya pertama berisi ulasan atas karya ulama kita, maka karya kedua berisi daftar 700 kitab yang ditulis oleh 241 ulama Nusantara dalam bahasa Arab, Jawa, Melayu, Indonesia dan sedikit Pegon Sunda.
Berbagai karya dalam buku tersebut dijelaskan secara sistematis dengan menampilkan judul kitab, kandungan, alasan penulisan, tebal, bahasa dan tulisan, penerbit dan tahun terbit, tahun selesai penulisan, pentashhih naskah, pemberi kata pujian/endorsmen/taqridz, diperoleh dari, dan pengoleksi. Buku karya Ustadz Fauzi Ilyas ini melengkapi dan melanjutkan buku karya Wan Mohammad Shaghir Abdullah, pendiri Khazanah Fathaniyah Kuala Lumpur, yang berjudul Katalog Karya Melayu Klasik yang berhasil memuat 2000 naskah kitab.
Setelah menyebut nama dua orang ini, saya melanjutkan satu nama lagi. Gus Nanal Ainal Fauz. Masih muda, punya kegemaran melacak berbagai karya ulama Nusantara sekaligus mengkoleksi dan mengkajinya. Bahkan, saking cintanya pada karya ulama Nusantara, ketika menikah pun dia memberikan mahar berupa kitab-kitab klasik kepada istrinya. Selanjutnya, Gus Nanal semakin kecanduan mengkoleksi kitab-kitab langka ini, hingga hari ini.
Bagi saya kegemaran ini unik. Di saat beberapa orang sudah hampir melupakan karya-karya ulama Nusantara di masa lalu, mereka ini memilih memburunya. Mengkajinya, lantas menyajikan hasil kajiannya ini kepada khalayak. Yang sebelumnya meremehkan karya ulama kita, kini menghormati dan membukanya kembali. Yang sebelumnya tidak tahu, akhirnya tahu. Yang pada mulanya enggan mengkaji, kini mulai jatuh hati. Dan seterusnya. Dampaknya sangat keren!
***
Ketika pada akhirnya Gus Nanal menerbitkan karya ini, saya bersyukur. Sebab, kitab ini memberikan perspektif baru tentang tsabat, sebuah kodifikasi jalur keilmuan alias sanad. Tsabat, yang berarti hujjah, adalah sebuah buku yang memuat matarantai intelektual penulisnya. Selain Tsabat, para ulama menyebutnya dengan istilah lain, yaitu Fahras.
Banyak ulama memiliki tsabat, namun keberadaannya tidak begitu populer. Misalnya, Tsabat milik Syakh Mahfudz Attarmasi yang berjudul Kifayat al-Mustafid, juga tsabat milik Syekh Muhammad Zainuddin Abdul Majid (1898-1997), pendiri ormas Nahdlatul Wathan, yang berjudul Tsabat al-Farid fi Asanid As-Syekh Ibni Abdil Majid. Karya ini ditarkhrij oleh Dr. Tuan Guru Abdul Aziz Sukarnawadi, putra Tuan Guru Husnud Du'at, salah satu murid Tuan Guru Zainuddin.
Syekh Yasin bin Isa al-Fadani bahkan menghimpun sanad ulama Nusantara dalam al-'Iqd al-Farid min Jawahir al-Asanid. Dari tiga kitab ini saja bisa terlacak jejaring internasional para ulama Nusantara. Selain itu, kumpulan sanad ini membuktikan reputasi pemiliknya. Kepada siapa dia belajar, kitab apa yang dipelajari, bahkan era ketika dia berguru. Semua ada catatannya. Komplit.
Keberadaan sanad alias transmisi intelektual dan ijazah (lisensi ilmiah) merupakan tradisi Islam yang terwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, dari satu era ke zaman berikutnya. Sanad menyambungkan seseorang dengan gurunya dalam jalur transmisi keilmuan, yang bersambung terus dengan gurunya guru, terus kepada gurunya, dan berakhir pada penulis kitabnya.