Mohon tunggu...
Penerbit Imtiyaz
Penerbit Imtiyaz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya akan post tulisan tulisan Saya Kunjungi juga web Penerbit Imtiyaz http://www.penerbitimtiyaz.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenakalan Orang Tua demi Pendidikan Anak

21 Juli 2018   12:09 Diperbarui: 21 Juli 2018   12:15 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan tidak bermutu ini dimuat di Jawa Pos Radar Jember, Sabtu, 21 Juli 2018. Abaikan. Tidak usah dibaca, biar nggak buang-buang waktu anda!

"KENAKALAN ORANGTUA DEMI PENDIDIKAN ANAK"

Oleh: Rijal Mumazziq Z (Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS)Kencong Jember)

Ketika menonton sebuah film produksi Bollywood berjudul "Hindi Medium", saya merasa menemukan banyak kesamaan antara kondisi dan ironi dunia pendidikan di India dan Indonesia. 

Branding dan labelling sekolah internasional bagi kaum tajir, biaya pendidikan sekolah elit yang luar biasa mahal, orangtua yang minder gara-gara anaknya tidak bisa berbahasa Inggris, antre dinihari demi mengambil formulir pendaftaran sekolah bagi anak, kecurangan sistem rekrutmen siswa, orangtua yang abai pada bakat anak, anak yang tertekan gara-gara obsesi orangtua, timpangnya kondisi sekolah negeri dan swasta, dan kecerewetan seorang ibu yang khawatir masa depan anaknya.

Film ini bermula saat pasangan suami istri, Raj Batra (Irrfan Khan) dan Mita (Saba Qamar) yang berasal dari lingkungan menengah di Chandni Chowk, Delhi, ingin menyekolahkan anaknya, Pia (Dishita Shegal), 5 tahun, di sekolah favorit. Mereka rela pindah hunian di kawasan elit agar bisa hidup sebagaimana kehidupan orang kaya: mobil dan rumah mewah, anak yang cas-cis-cus bahasa asing, joging dan yoga secara rutin, liburan ke Eropa, pesta glamour dengan menyantap hidangan aneh bernama kaviar, dan tentu saja bisa menyekolahkan anaknya di sekolah "internesyenel" yang menggunakan nama "enggres".

Sayang, anak kecil kesayangan ini gagal menembus berbagai sekolah internasional itu. Mendatangi konsultan pendidikan rupanya juga bukan solusi bagi Raj dan Mita. Satu-satunya harapan agar bisa diterima di sekolah elit itu adalah melalui jatah kuota 25% bagi kaum miskin. Dan, itu berarti akan menempuh kecurangan dan ketidakjujuran karena pura pura miskin.

Akhirnya, demi Pia, mereka rela pindah ke kawasan kumuh agar bisa mendapatkan surat keterangan miskin dari sekolah. Kehidupan yang mapan berganti dengan keterbatasan hidup di kawasan kumuh mereka jalani agar anaknya bisa lolos menjadi "siswa miskin".

Di sinilah kekocakan dan kekonyolan bermula. Dan di situ pula pada akhirnya Raj Batra menemukan hakikat ketulusan dan esensi persaudaraan dari kaum miskin yang sebelumnya mereka remehkan. Bagaimana akhirnya? Silahkan tonton sendiri saja.

Yang pasti, film dengan rating bagus ini mengasyikkan. Menyindir dengan telak kenakalan orangtua demi anak, serta membuktikan adanya kesalahan yang disengaja dalam pola pendidikan.

"Hindi Medium" berhasil menggambarkan ironi pendidikan bukan hanya di negara tersebut saja, melainkan di negara lain bekas jajahan Eropa. Termasuk Indonesia. Bagaimana standar pendidikan hanya dilihat dari angka yang tertera di rapot, sekolah elit yang hanya berdasarkan istilah Inggris dan melupakan hakikat kedirian siswa, siswa yang dipersiapkan menjadi pekerja industri yang membebek pada kapitalisme, pendidikan yang kehilangan esensinya gara-gara industrialisasi, hingga pada nalar inferior sebagai bangsa terjajah.

Tak hanya itu, melihat kecurangan Raj dan Mita, suami istri kaya yang menyamar miskin agar mendapat kuota siswa miskin bagi Pia, sang putri, mengingatkan saya pada realitas yang dalam dua minggu terakhir ini menjadi perbincangan ramai di televisi dan bahkan diangkat sebagai tajuk rencana di Jawa Pos (14/07). Yaitu, banyaknya orangtua yang memiliki SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) semata-mata agar anaknya diterima di sekolah. Faktanya, setelah dilakukan pengecekan di lapangan, ternyata pemilik SKTM ini merupakan orang-orang kaya.

Mereka melakukan kecurangan seperti ini karena para siswa yang memiliki SKTM bisa masuk ke sekolah favorit dengan gratis. Persyaratannya cukup gampang, yakni hanya menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan desa. Akhirnya, di Jawa Tengah, dari 113.092 pendaftar SMA Negeri, 62.456 siswa menggunakan SKTM. Setelah diverifikasi faktual, yang murni miskin hanya 26.057 siswa. Sisanya, SKTM bodong (Jawa Pos, 14/07).

Luar biasa, orangtua telah menciderai aspek asasi dalam pendidikan, yaitu kejujuran. Dengan membuat SKTM palsu, mereka sudah memberi contoh buruk bagi anak-anaknya. Apapun tujuannya, baik demi pendidikan anak, untuk masuk ke sekolah favorit, maupun demi prestise pribadi, hal tersebut tidak layak dilakukan.

Jika selama ini sudah masyhur istilah "kenakalan remaja", maka tampaknya memang ada "kenakalan orangtua". Kenakalan adalah kata sifat dari nakal atau perbuatan nakal. Bisa juga berarti tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma yang berlaku di masyaarakat (KBBI, hal. 772).

Orangtua yang melakukan kecurangan, memberi contoh yang buruk, maupun melakukan tindakan nista telah menjadi cermin yang buruk bagi buah hatinya. Manakala gurunya di sekolah mengajarkan kebaikan dan kejujuran, namun di rumah dia melihat orangtuanya melakukan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur, maka anak akan mengabaikan prinsip moral yang diajarkan oleh gurunya di sekolah.

Hal ini bisa dimaklumi, sebab orangtua adalah pemahat kepribadian anak. Anak adalah peniru ulung. Apa yang dicontohkan orangtua, itulah yang akan melekat di benak anak. Jika orangtua mencontohkan kebaikan, maka anak akan mengamatinya meskipun tidak langsung mempraktekkannya. 

Namun, apabila orangtua melakukan tindakan tercela, hal ini akan membekas pada benak anaknya. Dia akan mengendapkannya, dan suatu ketika akan melakukan apa yang telah diperbuat orangtuanya. Ketika orangtua menyuruh anaknya jujur, namun dia berbohong, anak akan menilainya sebagai seorang yang tidak bisa dipercaya. Dan, di kemudian hari dia akan melakukan kebohongan sebagaimana dicontohkan orangtuanya. Dia cenderung menjadi pemberontak dan tidak patuh, sebab orangtuanyalah yang mencontohkan demikian.

Oleh karena itu, sebelum mendidik anak, orangtua harus mendidik dirinya sendiri dengan berbagai kemuliaan akhlak. Sebab, keluarga adalah lingkaran awal pembentuk karakter anak. Jika dia diberi teladan kejujuran, niscaya dia tumbuh dengan nilai-nilai ini. Sebaliknya, juga demikian.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah puisi keren karya Dorothy Law Nolte yang berjudul "Anak-anak Belajar dari Kehidupannya".

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Wallahu A'lam Bisshawab

ditulis oleh Rijal Mumazziq Z Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS)Kencong Jember Posted by Penerbit imtiyaz,http://penerbitimtiyaz.com/ Direktur Penerbit imtiyaz.Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr PCNU Kota Surabaya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun