Tak hanya itu, melihat kecurangan Raj dan Mita, suami istri kaya yang menyamar miskin agar mendapat kuota siswa miskin bagi Pia, sang putri, mengingatkan saya pada realitas yang dalam dua minggu terakhir ini menjadi perbincangan ramai di televisi dan bahkan diangkat sebagai tajuk rencana di Jawa Pos (14/07). Yaitu, banyaknya orangtua yang memiliki SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) semata-mata agar anaknya diterima di sekolah. Faktanya, setelah dilakukan pengecekan di lapangan, ternyata pemilik SKTM ini merupakan orang-orang kaya.
Mereka melakukan kecurangan seperti ini karena para siswa yang memiliki SKTM bisa masuk ke sekolah favorit dengan gratis. Persyaratannya cukup gampang, yakni hanya menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan desa. Akhirnya, di Jawa Tengah, dari 113.092 pendaftar SMA Negeri, 62.456 siswa menggunakan SKTM. Setelah diverifikasi faktual, yang murni miskin hanya 26.057 siswa. Sisanya, SKTM bodong (Jawa Pos, 14/07).
Luar biasa, orangtua telah menciderai aspek asasi dalam pendidikan, yaitu kejujuran. Dengan membuat SKTM palsu, mereka sudah memberi contoh buruk bagi anak-anaknya. Apapun tujuannya, baik demi pendidikan anak, untuk masuk ke sekolah favorit, maupun demi prestise pribadi, hal tersebut tidak layak dilakukan.
Jika selama ini sudah masyhur istilah "kenakalan remaja", maka tampaknya memang ada "kenakalan orangtua". Kenakalan adalah kata sifat dari nakal atau perbuatan nakal. Bisa juga berarti tingkah laku secara ringan yang menyalahi norma yang berlaku di masyaarakat (KBBI, hal. 772).
Orangtua yang melakukan kecurangan, memberi contoh yang buruk, maupun melakukan tindakan nista telah menjadi cermin yang buruk bagi buah hatinya. Manakala gurunya di sekolah mengajarkan kebaikan dan kejujuran, namun di rumah dia melihat orangtuanya melakukan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur, maka anak akan mengabaikan prinsip moral yang diajarkan oleh gurunya di sekolah.
Hal ini bisa dimaklumi, sebab orangtua adalah pemahat kepribadian anak. Anak adalah peniru ulung. Apa yang dicontohkan orangtua, itulah yang akan melekat di benak anak. Jika orangtua mencontohkan kebaikan, maka anak akan mengamatinya meskipun tidak langsung mempraktekkannya.Â
Namun, apabila orangtua melakukan tindakan tercela, hal ini akan membekas pada benak anaknya. Dia akan mengendapkannya, dan suatu ketika akan melakukan apa yang telah diperbuat orangtuanya. Ketika orangtua menyuruh anaknya jujur, namun dia berbohong, anak akan menilainya sebagai seorang yang tidak bisa dipercaya. Dan, di kemudian hari dia akan melakukan kebohongan sebagaimana dicontohkan orangtuanya. Dia cenderung menjadi pemberontak dan tidak patuh, sebab orangtuanyalah yang mencontohkan demikian.
Oleh karena itu, sebelum mendidik anak, orangtua harus mendidik dirinya sendiri dengan berbagai kemuliaan akhlak. Sebab, keluarga adalah lingkaran awal pembentuk karakter anak. Jika dia diberi teladan kejujuran, niscaya dia tumbuh dengan nilai-nilai ini. Sebaliknya, juga demikian.
Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah puisi keren karya Dorothy Law Nolte yang berjudul "Anak-anak Belajar dari Kehidupannya".
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Wallahu A'lam Bisshawab