Mohon tunggu...
Penerbit Imtiyaz
Penerbit Imtiyaz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya akan post tulisan tulisan Saya Kunjungi juga web Penerbit Imtiyaz http://www.penerbitimtiyaz.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Klaim Sebuah Kelompok sebagai Pewaris Sah

3 Juli 2018   05:33 Diperbarui: 3 Juli 2018   07:36 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klaim sebuah kelompok sebagai pewaris sah

Saya telat nonton IP MAN 3, serial film yang diluncurkan akhir tahun silam tapi baru saya tonton kemarin. Padahal sudah sejak lama disarankan Cak Muniri Chodri nonton film ini. Hanya, baru seminggu yang lalu dikasih file sama Mas Ibnu Cahyani. Bagi saya, film apik garapan Donnie Yen, yang berkisah episode kehidupan master Yip Man, mahaguru beladiri Wing Chun, memang enak dinikmati sejak sekuel perdananya.

Saya suka garapan Donnie Yen dan Wilson Yip. Latarbelakangnya sebagai koreografer film kungfu selama puluhan tahun telah mengantarkannya pada kemasan kungfu realistis dalam setiap film yang dibintanginya: tak ada adegan terbang, tak ada ilmu gaya dragon ball (ilmu aneh-aneh yang ada di film Jet Li era 1990-an), tak ada juga aksi melayang-layang di atas daun seperti yang kita jumpai dalam Crouching Tiger Hidden Dragon. Semua (seolah) realistis dalam setiap inci adegan.

Satu hal lagi yang saya sukai dari karya Donnie Yen: menyuguhkan pentingnya keluarga. Dari Wu Xia, Ip Man 1, 2, & 3, pesan menjadi suami yang baik dan ayah yang mengasyikkan bagi anak, disisipkan. Lihatlah, bagaimana dia dengan tenang berlatih dansa menemani istri yang sakit kanker, dan mengabaikan pertarungan dengan Cheung Tin-chi, kompetitor sesama aliran Wing Chun. Padahal, dalam pertarungan itu keabsahan dirinya sebagai mahaguru Wing Chun dipertaruhkan di depan para pendekar berbagai aliran.

Justru, di pertarungan terakhir melawan Cheung Tin-chi, yang sepi dari liputan media, Guru Yip melontarkan pesan: " Tidak ada yang lebih penting dari orang yang kau kasihi berada di samping mu...." Nah, keren kan, mblo?:-P

Selain menyisipkan propaganda supremasi Tiongkok atas negara lain di setiap filmnya: melawan perwira Jepang yang mirip Ustadz Ahmad al-Habsyi (IP Man 1), bertarung dengan petinju Inggris (Ip Man 2), dan melawan bos gangster Amrik yang diperankan Mike Tyson (Ip Man 3), serial film Ip Man yang disutradarai Wilson Yip juga menyelipkan perkembangan koreografi di setiap era perfilman Hongkong. 

Era pertarungan satu lawan satu secara alami di era 1970-an dan 1980-an (Bruce Lee & Jackie Chan muda), teknik menggunakan debu sebagai gambaran efek pukulan di era 1990-an (khas Jet Li), spesial efek era 2000-an (zaman Chou Yung Fat gaek), dan kembali lagi pada tradisi pertarungan individu tanpa spesial efek berlebih di awal 2010-an, disertai dengan sorot kamera yang detail pada setiap gerakan dan gerak lambat dengan kamera memutar.

Sudah? Belum bos. Dalam Ip Man 3, ada Cheung Tin-chi, pengemudi becak yang berambisi menjadi mahaguru aliran Wing Chun dan berupaya menggeser reputasi Guru Yip yang justru menjadi awal analisis lebih pas atas kenyataan di dunia nyata.

Maksute piye cak? Cheung Tin-chi, dengan arogan menyatakan dirinya sebagai pewaris asli aliran Wing Chun. Dirinyalah yang berhak menyandang predikat pelanjut jurus lama Wing Chun, karena Guru Yip telah mengajarkan inovasi yang mengancam keaslian gerak beladiri asli Foshan itu. Ia, selain menahbiskan dirinya sebagau shifu, juga memproklamirkan diri sebagai pengajar "Wing Chun asli" yang tak ternodai kreasi Guru Yip.

Lhaaaa, bukankah ini juga kita temui dalam kenyataan. Ada aliran agama yang mengklaim "islam murni", (kayak minyak goreng saja, murni), "kristen asli" (ini malah kayak brem Madiun) dan sebagainya, serta dengan congkak mendaku sebagai calon tunggal penghuni surga. Semua sebenarnya tidak menimbulkan masalah, kecuali apabila klaim-klaim semacam ini diiringi dengan aksi kekerasan verbal dan fisik.

Klaim sebuah kelompok sebagai pewaris sah, pelanjut tunggal, pengamal ajaran asli, dan klaim-klaim lainnnya selalu ada dalam tradisi masyarakat kolektif dan ritus berorganisasi. Di PSHT, ada klaim pewaris dan pengamal jurus lama. Di NU ada sekelompok orang yang mengklaim NU Garis Lurus dan pengamal ajaran Mbah Hasyim. Di HMI juga ada beginian. 

Di Muhammdiyah, secara kultural, tampaknya juga muncul. Di beberapa tarekat juga ada "pelanjut tunggal", di sebuah lembaga pendidikan juga ada "pewaris sah", dalam sebuah cabang ilmu juga kita jumpai "ilmu asli" yang tidak terkontaminasi, dan sebagainya.

Bahkan dalam sepakbola, juga ada eyel-eyelan soal gaya asli tiki-taka, cattenaccio murni, hit and run ortodoks, dan sebagainya. Di manakah letak awal mula masalahnya klaim-klaim ini? Semua menjadi problem apabila dibeturkan antara yang lama dan baru, yang asli dan imitasi, yang orisinil dan hasil kreasi. Mungkin, demikian.

WAllahu A'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun