Kepedulian nasional atas kapabilitas perang gerilya rakyat semesta juga perlu ditumbuhkan. Dulu ada P4, Suspi, dsb, dimana konsepsi wawasan nusantara dan hankamneg ditanamkan sehingga rakyat menguasai doktrin perang gerilya. Hal ini saat ini sudah tidak ada, sehingga sangat melemahkan kapabilitas perang gerilya TNI.
Bagaimana alternatif doktrin perang gerilya Indonesia sekarang perlu disusun dan disosialisasikan agar TNI dapat menjadi kekuatan inti-nya. Tanpa doktrin tersebut kapabilitas TNI untuk perang gerilya sangat lemah.
Sebagai contoh, ada 2 doktrin perang gerilya jika kota diduduki oleh musuh:
1. Bumi hangus, memindahkan populasi ke desa, dari desa mengepung kota. Contohnya adalah Bandung lautan api, Dili 1999.
2. Pertahankan setiap jengkal, mempertahankan populasi di kota dan melakukan perang gerilya kota. Contohnya adalah Stalingrad pada PD II.
Pertanyaanya seperti apa doktrin gerilya TNI, dan bagaimana persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan doktrin tersebut.
Logistik dan Senjata Gerilya
Perang gerilya membutuhkan logistik tempur yang memadai. Indonesia tidak berbatasan dengan negara bersahabat seperti pada kasus Perang Vietnam atau Perang Korea, dimana logistik tempur gerilya dapat di suplai dari wilayah China. Untuk itu perlu dilakukan penimbunan logistik tempur pada depo-depo yang tersebar dengan jumlah memadai. Termasuk diantaranya bahan bakar dan amunisi. Hal ini tidak dimiliki TNI saat ini.
Ranjau anti personel dan bom cluster merupakan senjata yang sangat efektif pada perang gerilya / anti gerilya di wilayah tropis. Masalahnya adalah Pemerintah dan DPR RI telah mengikuti Ottawa Treaty yang melarang penggunaan ranjau anti personel. Lebih masalah lagi karena banyak negara-negara dengan kapabilitas memproyeksikan kekuatan daratnya ke Nusantara tidak ikut dalam Ottawa Treaty dan memiliki ranjau anti personnel dan bom cluster dalam jumlah besar.
Pemerintah dan DPR RI harus memberikan solusi mengembalikan kapabilitas perang gerilya kepada TNI. Jika tidak Pemerintah RI dan DPR RI adalah pengkhianat yang men-sabotase kemampuan gerilya rakyat semesta.
Tanggung-jawab Pemerintah dan DPR RI harus tetap dituntut agar bertanggung-jawab atas kesalahan kebijakan yang dilakukannya dengan asal meratifikasi perjanjian internasional dengan mengabaikan kapabilitas hankamnas. Mengorbankan kepentingan bangsa hanya demi pencitraan pribadi dan kelompok.
Perlu disadari bahwa dampak tidak memiliki kemampuan perang gerilya rakyat semesta sebagai bentuk pertahanan terakhir adalah sangat berat. Kehilangan teritorial bukan tidak mungkin terjadi.