Pada tahun 2022, KPAI mencatat terdapat 226 kasus perundungan  fisik dan emosional yang terjadi di sekolah, termasuk 18 kasus perundungan siber di dunia maya.
KPAI melaporkan bahwa sejak tahun 2011 hingga 2016, lembaga tersebut mendeteksi sekitar 23.000 kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. Namun untuk pelecehan saja ada sekitar 253 kasus. Jumlah tersebut mencakup 122 korban anak  dan 131  pelaku perundungan ringan.
Meski angka kejadian bullying meningkat, namun bukan berarti tingkat kekerasan di sekolah terus meningkat. Data-data tersebut justru menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelaporan kasus kekerasan semakin hari semakin meningkat. Yang mengkhawatirkan adalah banyaknya masyarakat yang tidak mendeklarasikan atau mendaftar.Â
Menurut Federasi  Guru Indonesia (FSGI), yang mengkhawatirkan kami adalah bahwa bullying di  sekolah terutama terjadi di tingkat sekolah dasar dan menengah, dengan persentase sebesar 25% dari seluruh kejadian.
Bisa dibayangkan hati siapa yang tak miris. Faktanya, bullying paling sering terjadi pada tingkat pendidikan dasar. Anak-anak yang seharusnya menghabiskan waktu bermain, belajar, dan  menjalin hubungan sosial yang erat dengan teman-temannya, ternyata sejak kecil sudah diracuni untuk melakukan tindakan kekerasan.Â
Ada perasaan kuat bahwa subkultur kekerasan tampaknya sudah tertanam dalam benak siswa kita sejak usia sangat muda. Alih-alih bermain bersama, Â siswa sering kali berkompetisi dan mengembangkan hubungan yang asimetris.
Di banyak sekolah, bukan rahasia lagi bahwa bullying sudah menjadi kejadian sehari-hari di kalangan siswa. Siswa yang dianggap nakal dan unggul sering kali meledek teman sekelasnya atau bahkan teman sekelasnya.Â
Banyak pelajar yang umumnya tidak berdaya dan hanya menerima  perlakuan superior yang diterimanya tanpa mampu melawan. Inisiasi bahkan seolah menjadi bagian dari proses inisiasi yang sering dilalui siswa di berbagai sekolah.Â
Bullying yang sebenarnya dilarang  di sekolah, nampaknya masih terjadi hingga saat ini. Peraturan yang melarang perundungan atau pelecehan di sekolah mungkin tampak seperti macan ompong. Padahal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berulang kali menegaskan bahwa lembaga pendidikan tidak boleh melakukan tindakan kekerasan, termasuk tindakan kekerasan seksual.
Sekolah yang seharusnya steril dari tindak kekerasan ternyata menjadi tempat yang paling sering terjadi kasus pelecehan. Budaya kekerasan yang berlaku di sekolah nampaknya terus diwariskan dari generasi ke generasi.Â
Di  sekolah yang berbeda, adalah hal biasa untuk memiliki siswa elit dan orang-orang yang mendominasi komunitas siswa lainnya. Sekolah dan guru, yang tugasnya memantau dan mencegah  kekerasan di kalangan siswa, seringkali tidak mampu berbuat apa-apa. Di beberapa sekolah, bahkan ada siswa yang berani melawan gurunya sendiri.Â