Mohon tunggu...
Pendi Susanto
Pendi Susanto Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Penulis Buku, Pegiat Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhijrah di Tahun Politik

17 Juli 2023   10:43 Diperbarui: 17 Juli 2023   10:48 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hijrah nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah terjadi 1445 tahun yang lalu. Membaca dengan kasat mata, kita dapat dengan mudah mengartikan peristiwa ini sebagai perpindahan fisik Nabi dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah dalam upaya memajukan dakwah Islam. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hijrah merupakan fase penting dakwah Islam pada masa itu dan dekade-dekade berikutnya. Rasulullah saw. hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan semangat optimisme dan semangat membangun peradaban baru. Banyak dari kita ingin menerima tabarruka (berkah) dari hijrah ini untuk meniru semangatnya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Momentum hijrah erat berkaitan dengan perubahan waktu. Kita biasanya mengukur waktu itu sendiri dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dll. Dalam bidang sosial budaya, kita sering enggan memandang waktu sebagai proses perubahan manusia. 

Misalnya, seorang teman remaja dianggap sangat nyantri, tetapi suatu hari intensitas pengabdiannya, baik ritual maupun sosial, berubah. Orang tidak mengenalinya seperti dulu, temanku dulu berbeda dengan ia yang kini. Kemudian orang-orang di sekitarnya berkata: "Waktu telah mengubah itu." Di sini kita dibiarkan dengan gagasan bahwa waktu adalah objek dari proses perubahan atau pemicu semua perubahan pada manusia. "Bersikap acuh tak acuh, waktu akan mengubahnya" atau ungkapan "tunggu saja waktunya" adalah contoh lain dari tujuan manusia terhadap waktu dalam segala peristiwa, bahkan perubahan.

Dalam perbendaharaan pengetahuan dikenal suatu diktum yang berbunyi Tempora Motantur in Illis, waktu berubah dan kita di dalam waktu. Diktum ini mengisyaratkan bahwa perubahan waktu membawa pula pada perubahan pada tiap diri manusia.  

Anggapan yang menempatkan waktu sebagai subjek dari setiap peristiwa atau perubahan pada dasarnya merupakan pensirnaan atas hak dan kewajiban manusia untuk melakukan aktivitas yang riil, pembudidayaan potensi manusiawinya, serta realitas misi hidup. Anggapan semacam ini, merupakan produk dari masyarakat jahiliyah yang disidir Allah dengan bahasa-Nya "Dan mereka berkata : kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak aka nada yang membinasakan kita selain masa" (45 : 24).

SPIRITUALITAS HIJRAH  

Ada tiga ayat dalam Al-Qur'an yang menghadirkan semangat hijrah menurut Al-Qur'an, antara lain: QS. At-Taubah 9:20, QS. Ali Imran 3:195 dan QS. An-Nisa 4:97. Mari kita bahas satu per satu untuk mengetahui ruh Hijrah yang sebenarnya menurut Al-Qur'an.

Pertama, QS At-Taubah 9:20. Ayat ini, sebagaimana tersebut dalam  Tafsir al-Tabari muncul sebagai tanggapan atas sekelompok orang yang bangga dengan perbuatannya. Dalam ayat ini secara khusus disebutkan bahwa kehormatan martabat manusia di hadapan Allah dicapai melalui tiga hal: Iman, hijrah dan jihad di jalan Allah. Siapapun yang melewati tiga hal ini dianggap lebih baik daripada mereka yang (1) memberi air kepada jamaah atau (2) memakmurkan masjid sambil menunggu di hati mereka untuk Allah. Ibnu 'Asyur menyatakan dalam at-Tahriir wa at-Tanwiir bahwa parameter hijrah bukanlah bersifat jangka panjang, melainkan bersifat permanen yaitu meninggalkan negeri kelahiran. Keberangkatan beberapa bulan sebagian umat Islam dari Mekkah ke Ethiopia pada tahun 615 tidak bisa disebut Hijrah, karena hanya untuk meminta perlindungan.

Kedua, QS Ali Imran 3:195. Ayat ini diturunkan kepada Nabi sebagai tanggapan atas keluhan bahwa wanita tidak disebutkan dalam diskusi Hijrah. Sebaik-baik pahala bagi para hijrah adalah dihapuskannya dosa-dosa mereka, kecuali hutang kepada orang lain. 

Penghargaan ini berlaku sama untuk pria dan wanita. Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahasin at-Ta'wiil menggarisbawahi kalimat kedua dari ayat ini, di mana kata haajaruu (Hijrah) muncul tepat setelah isim maushuul (konjungsi, kata al-ladziina), mengambil posisi mubtada'. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan hijrah dalam ayat ini, selain itu frase "khabar" berupa "fi'il mudharari" ditambah dengan kata rangkap "ta'kid" (Laam dan Nuun) menegaskan kepedulian dan perhatian Tuhan. untuk itu. yang beralih ke jalan-jalannya.

Ketiga, QS An-Nisa 4:97. Riwayat mengatakan bahwa ayat ini mencatat riwayat orang-orang yang tidak mau hijrah, ketika mereka hidup dan mati dalam keadaan kufur kepada Allah. Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa mereka yang tidak ingin berhijrah memiliki dua pilihan. Yaitu (1) intinya tidak mau hijrah dan suka menyebarkan fitnah di Mekkah saat Nabi dan sebagian pengikutnya hijrah, atau (2) pura-pura menjadi korban karena sebagian kuffar berpengaruh terpaksa tinggal di Mekkah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun