Mohon tunggu...
Pendeta Sederhana
Pendeta Sederhana Mohon Tunggu... lainnya -

Sederhana itu adalah sikap hati. Hati adalah kita yang sesungguhnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ceramah Politik: Menjadi Pemenang

12 Juni 2016   18:03 Diperbarui: 12 Juni 2016   18:15 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada pemenang, tentu harus ada pertandingan atau perlombaan yang diikuti. Ada lawan atau kompetitor yang berlomba atau bersaing dalam satu ajang., dimana semua peserta menunjukkan kebolehan, kekuatan, kehebatan, serta kelebihan yang tidak dimiliki atau yang membuatnya unggul dari peserta lainnya.

Dan yang terbaiklah yang menjadi pemenang, tentu dengan mengikuti aturan main atau kaidah perlombaan. Seseorang bisa dikategorikan sebagai pemenang , tentu setelah ia terlebih dahulu  mengalahkan siapa yang menjadi lawannya. Tanpa mengalahkan lawan, tentu tidak bisa disebut sebagai pemenang. Kalaupun mengaku sebagai pemenang, sudah pasti kemenangannya itu hanyalah sebatas klaim, ia harus bisa terlebih dahulu membuktikan bahwa  ia layak disebut sebagai pemenang.

Siapakah yang layak disebut sebagai pemenang?

Pemenang hanyalah mereka yang mampu bertahan sampai akhir dari suatu pertandingan. Tidak undur di tengah jalan, tidak melanggar aturan main, dan terbukti lebih kuat atau lebih unggul dari lawan-lawannya.

Dalam event politik juga demikian, senut saja pilkada DKI yang sedang menjadi topik terhangat peristiwa politik di tanah air. Memang peserta yang akan ikut bertanding belum pasti. Akan tetapi, bukan berarti bahwa permainan  belum dimulai, justru pertandingan yang sesungguhnya sedang terjadi. Peserta yang berniat maju dan mereka-mereka yang ada dibelakangnya sudah gencar melakukan manuver, bagaimana supaya bisa memenangkan pertandingan, walaupun belum dimulai. 

Politisasi Sumber Waras dan  Reklamasi yang dilakukan sedemikian massif, melibatkan banyak stake holder, adalah satu upaya habis-habisan untuk bisa mendiskualifikasi salah satu calon peserta yang merupakan calon terkuat. Apabila  berhasil mendiskualifikasikan sosok lawan terkuat ini, mereka berharap akan bisa tampil sebagai pemenang. 

Menang tanpa berhadapan dengan lawan yang qualified memang lebih disukai,  karena kans untuk menangnya sangat besar. Bila perlu, menang tanpa lawan, menang WO, itu paling disukai, karena tidak memerlukan kerja keras dan keringat. Kemenangan demikianlah yang paling dicari. Apapun caranya akan dilakukan, bagaimana supaya kemenangan bisa didapat dengan mudah. Menang tanpa bertanding.

Namun sayang, Sumber Waras & Reklamasi kelihatannya tidak lagi bisa diharapkan untuk bisa mendapatkan kemenangan dengan cara yang mudah. Otak pun diputar selagi pertandingan masih belum dimulai. Muncullah revisi UU Pilkada, dan besar harapan, dengan UU ini maka  kans untuk lolosnya sosok terkuat sampai ke arena bisa dihadang, sehingga tidak lagi menjadi mimpi buruk bagi bagi calon peserta yang akan bertanding.

Kita belum tahu bagaimana selanjutnya, apakah jerat yang dibuat melalui pasal-pasal di UU ini akan berhasil mendiskualifikasi sosok terkuat? Kita sama-sama menunggu. Dan jika jerat ini juga tidak berhasil, kita juga belum bisa memastikan, apakah tidak ada jerat lain yang akan mereka buat, untuk bisa menggagalkan sosok terkuat ini ikut bertanding?

Begitulah sebenarnya mental para calon peserta yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat untuk ikut bertanding. Mereka sebenarnya tidak memiliki kualifikasi untuk ikut menjadi peserta. Namun herannya, mereka memiliki ambisi besar dan keinginan yang tidak terbendung untuk bisa menjadi pemenang.

Mereka bermanuver di luar arena, bahkan sebelum pertandingan dimulai. Mereka berupaya mempengaruhi berbagai pihak yang memiliki otoritas untuk menggagalkan kepesertaan salah satu  calon, agar yang bersangkutan didiskualifikasi. Mereka berharap untuk bisa melenggang ke arena tanpa beban, dan akhirnya berhasil menjadi pemenang tanpa bertanding.  

Atau, jika pertandingan pun tetap dilakukan, maka itu hanyalah pertandingan eksibisi, hanya sebagi  hiburan politik, karena apapun hasilnya sudah tidak ada lagi gregetnya. Pertandingan yang sesungguhnya sudah usai, lawan tanding sudah didiskualifikasi.

Tidak hanya di bidang politik, dalam hal ibadah juga demikian. Banyak orang yang menginginkan kemenangan yang mudah dan dipermudah. Bila perlu tanpa lawan, tanpa beban, tidak soal bila kemenangannya sebenarnya hanyalah pemberian, atau sebagai hadiah.

Tidak heran, dimana-mana kita bisa melihat banyaknya orang yang meminta berbagai kemudahan dalam hal ibadah. Tempat ibadah diminta supaya diberikan dan dibangun dengan gratis. Jika tidak ada yang mau membagunnya dengan gratis, jaring pun kita panjangkan, kotak kita jalankan, dan daftar sumbangan atau proposal kita sodorkan kepada siapa saja, supaya kita bisa mendapatkan tempat ibadah yang nyaman, megah yang membuat kita bisa  beribadah dengan khidmat, khusuk.

Dimanakah nilai ibadah yang kita lakukan, bila itu kita jalankan karena kemudahan atau dimudahkan? 

Kenapa kita tidak beribadah menurut kemampuan dan apa yang ada pada kita?  Jika kita masih belum mampu membangun rumah ibadah yang megah, kenapa harus kita paksakan dengan meminta kemudahan dan membebankannya kepada pihak lain? Apakah nilai ibadah ditentukan oleh megah tidaknya tempat kita beribadah?

Demikian juga saat kita menjalankan ibadah puasa. Kita berharap bisa menjalaninya dengan sempurna, tanpa hambatan dan halangan oleh siapapun dan apapun. Dan pada akhirnya, kita akan menyambut hari kemenangan karena  berhasil menjadi pemenang.

Tetapi perlu kita pertanyakan, bagaimanakah kualitas kemenangan yang kita peroleh?

Apakah kita layak menyebut diri sebagai pemenang? Siapa dan apa yang sudah kita kalahkan? Jika kita menjalani puasa dengan berbagai kemudahan yang kita harapkan, lalu dimana letak ibadahnya? Dimana kemenangannya?

Saat kita berpuasa kita berharap cuaca tidak panas terik. Kita boleh berangkat kerja lebih siang dan pulang lebih cepat. Di tempat kerja, kita boleh bekerja setengah hati karena kita sedang berpuasa, dan orang lain harus memaklumi. Saat kita berpuasa, kita meminta orang lain menghormati kita, bagaimana supaya kita tidak melihat orang makan dan minum bahkan mencium aromanya supaya kita tidak tergoda. Mereka harus bisa mengerti kita yang sedang berpuasa, sekalipun mereka tidak ikut berpuasa. Siang atau sore hari kita tiduran, ngadem, berendam supaya tidak terlalu lemas. 

Lalu dimana nilai ibadahnya?  Dimana letak kemenangannya? Siapa dan apa yang sudah kita kalahkan?  

Kategori pemenang hanya layak disandang oleh mereka yang ikut bertanding, menjalaninya sesuai dengan aturan main , tidak meminta diistimewakan dan diberi kemudahan, apalagi diuntungkan dari peserta lain supaya bisa menjadi pemenang. Dengan demikian, kemenangan yang diraih benar-benar merupakan  suatu kemenangan yang murni. Bukan pemberian atau hadiah, apalagi hasil kecurangan.

Jadi, jika ada orang yang mengaku-ngaku sebagi pemenang, namun sejatinya tidak pernah masuk ke dalam gelanggang pertandingan, maka ia bukanlah pemenang. Bahkan, untuk menjadi peserta pun, ia sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi. Dan jika ia pada akhirnya mengklaim dirinya menjadi pemenang dan mengenakan medali, atau mahkota kemenangan, maka seperti orang yang tidak pernah sekolah, mereka bangga menggunakan gelar akademik pada namanya.

Apakah anda sudah layak disebut sebagai pemenang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun