Mohon tunggu...
Y S Margana
Y S Margana Mohon Tunggu... Wirausaha -

Yamaha Semakin di Depan, Tapi Dump Truck Tak Bisa Dilawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Puluh Kilometer

5 September 2018   09:21 Diperbarui: 5 September 2018   09:24 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan ceritakan itu semua pada Lik Karso. Dia tak akan paham. Baginya mobil rimot, yang maksudnya adalah mobil remote control, sudah jadi mainan yang canggih bagi ukuran anak-anak dusun.

Pandangan Lik Karso berganti pada ruas jalan. Orang-orang kota masih lalu lalang di jalan raya saat maghrib. Lampu-lampu mobil dengan benderang menyorot jalan. Saat lampu merah menyala macet panjang mendera pengguna jalan. Deru ragam merk mesin kendaraan bermotor yang berhenti bercampur aduk jadi satu. Kala lampu berubah hijau suara mesin tenggelam oleh bunyi klakson-klakson yang galak. Itu semua membuat telinga Lik Karso pekak.

Kepala yang tadinya tegak kini mulai tersandar di atas lengannya. Lik Karso memejamkan mata barang sejenak. Matanya perih akibat sorot lampu LED sepeda motor. Kata orang kota lampu itu yang bikin motor kelihatan lebih canggih.

Dalam gelap matanya, bayangan si Tole muncul. Anak yang baru saja masuk SD itu selalu bungah saat bapaknya pulang ke rumah. Lik Karso biasanya menggendong anak itu dengan tangan menghadap langit. Diturunkannya pelan-pelan lalu dia cium pipi kanan dan kirinya. Saat begitu, Tole geli pipi mulusnya tersenggol kumis kasar sang bapak yang baru tumbuh usai dicukur.

"Pak, Pak. Pak!" suara anak kecil berteriak kencang.

Terdiam lama, barulah kemudian Lik Karso terjingkat sadar. "Eh, iya...Le. Ada apa?"

Berdiri di hadapannya seorang bocah laki-laki. Tingginya sekepala Lik Karso saat dalam posisi duduk. Bajunya kumal, kulitnya legam. Bau keringat apak menusuk hidung. Bibirnya kering dan mulai pecah-pecah.

"Beli satu ya pak, berapaan?"

"Satunya lima ribu, Le"

Bocah kecil itu lalu memilah-milah uang koin. Dia tumpuk recehan 500 rupiah jadi satu. Dia bedakan dengan recehan 1000 rupiah sambil bibir mungilnya komat-kamit menghitung. Ada sinar di matanya yang menginginkan uang itu cukup untuk membeli dagangan Lik Karso. Hasil dia baru saja mengamen di deretan toko di sepanjang jalan yang dia lewati. Tapi sayang, saat ini sudah banyak toko bertuliskan "Ngamen Gratis".

"Ndak jadi pak. Uang saya kurang"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun