Mohon tunggu...
Y S Margana
Y S Margana Mohon Tunggu... Wirausaha -

Yamaha Semakin di Depan, Tapi Dump Truck Tak Bisa Dilawan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam Retak dari Dalam

17 Oktober 2017   14:35 Diperbarui: 17 Oktober 2017   14:53 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persatuan adalah nikmat. Perdamaian adalah keindahan. Setidaknya itu yang membuat hidup kita adem ayem, toto tentrem kertoraharjo di bumi Indonesia. Maksud saya adalah bumi Indonesia yang lepas dari pengaruh media nasional dengan isu-isu pemecah belah umat. Berpuluh tahun sudah rasanya saya hidup di kampung dengan keadaan seperti itu. Perbedaan agama, aliran, mahdzab, cara pandang dan keyakinan tidak membuat kita gampang bermusuhan lantas menyatakan sikap antipati. Sampai pindah rumah hingga lima kali pun kondisi pergaulan di kampung yang saya tinggali tetap sama. Indah bersatu dan damai.

Hidup kita di kelurahan, kota kecil, desa atau bahkan dusun kayaknya lebih adem kalau tidak ada media nasional yang ikut campur. Toh sudah terbukti masyarakat pelosok malah lebih menjaga persatuan dan guyub rukun tanpa menghiraukan ribut ribut isu perpecahan di pusat. Para dai sesepuh dan ulama lokal yang dekat dengan rakyat lapisan bawah juga relatif tidak terpengaruh oleh isu pecah belah kerukunan. Tapi kayaknya itu semua serba dulu. Sekarang lain ceritanya.

Saat ini ulama kampung sudah mulai mendoktrin umat untuk anti pada kelompok tertentu. Tulisan ini saya tulis untuk menyikapi salah satu dai hajatan di kampung saya yang berlaku takfiri alias suka mengkafirkan. Padahal secara tidak sadar yang dia kafirkan adalah saudara sesama muslim.

Bukan berarti saya seratus persen mengecam dan menganggap dia salah. Tapi pernyataan pak ustadz tadi bisa saya bantah. Si dai ini menyerukan agar orang tua menjaga anaknya dari fitnah akhir zaman. Sampai poin ini adalah pernyataan yang positif. Siapa dari kita orang tua yang tidak ingin anaknya selamat dari fitnah akhir zaman.

Lalu mulai dari sini kuping dan hati saya tidak kerasan dengan materi dakwah pak ustadz yang suara qiroahnya begitu merdu di telinga. Dengan seenaknya sendiri pak ustadz menjabarkan bahwa fitnah akhir zaman itu antara lain, gadget (hp), wahabi, syiah, dan terakhir komunisme. Saya setuju pada poin pertama, namun tiga sesudahnya adalah hal yang bisa diperdebatkan.

Pertama soal wahabi dan syiah. Apakah pak ustadz ini, atau bahkan pak ustadz lain di luar sana yang berlaku demikian tidak sadar bahwa dirinya menganggap kafir saudara seimannya. Adalah hal aneh bila kita diajak anti terhadap wahabi dan syiah. Alasannya mudah, karena wahabi dan syiah sama-sama bertauhid kepada Allah dan mengakui bahwa Kanjeng Nabi Muhammad adalah Rasul Allah.

Terlebih lagi saat ini wahabi adalah aliran mayoritas di arab saudi. Kita tahu kerajaan arab saudi lah yang mengatur regulasi tentang haji. kaum syiah dari iran juga demikian tetap berhaji ke tanah suci. Kalau kita anggap mereka kafir dan bukan bagian dari islam, maka tolong dengan sangat buatlah petisi agar wahabi dan syiah dilarang pergi haji dan umroh. Sampai disini kebanyakan umat islam juga belum tahu bahwa syiah mainstream di Iran, para ulamanya malah melindungi warga sunni. hal-hal seperti ini memang tidak bisa didapatkan dari media massa mainstram. yang kerjaannya cari uang dari topik yang sedang digaduhkan.

Selanjutnya soal komunisme. Dalam hal ini saya memaklumi sepertinya penyataan pak ustadz adalah hal yang awam dan belum menggali pengertian secara detail. Meskipun saya pribadi berani bilang kalau saya ini cuma umat islam awam yang bego. Tapi saya sedikit tahu soal beda antara komunitas, komunal, komunis, komunisme, sosialiseme dan atheist. Orang indonesia sangat horror dengan komunisme sebab erat kaitannya dengan G30S-PKI. Komunisme adalah jalan teknis dari sosialisme. Yaitu ide bernegara agar semuanya sama rasa sama rata. artinya tidak ada orang kaya dan miskin semuanya sengaja diseragamkan oleh negara. Sementara itu paham bernegara yang kita jalankan sekarang ini; Kapitalisme dan Liberalisme membuat kesenjangan ekonomi dan hak rakyat diabaikan gila-gilaan. Yang kaya yang kuasa. Coba anda hitung berapa orang taipan di negara ini. cari tahu siapa seorang taipan yang total kekayaannya sama dengan yang dimiliki seratus ribu rakyat.

Amet sewu. Mohon maaf, bukan berarti dengan menulis sikap seperti ini anda berhak melabeli saya sebagai seorang yang pro wahabi, syiah dan komunisme. Karena anda sering lihat saya makan sop buntut berarti saya adalah penggemar sop buntut.

Terlebih saya selalu berposisi menganggap kebenaran yang saya yakini bukanlah kebenaran yang final. Bukan kebenaran obyektif. Bagi saya yang cuma berhak menyatakan ini benar itu salah adalah Allah sendiri. kebenaran manusia adalah relatif. bisa benar menurut kita sendiri tapi salah total di hadapan Allah. Lantas apakah masih mau anda mengklam kebenaran hanya milik anda seorang.

Yang sekarang terjadi adalah keadaan yang lucu. satu ruangan luas Islam dibagi menjadi kotak bersekat-sekat aneka ragam kelompok. Islam sudah bukan lagi umatan wahidatan. umat yang satu. tapi umat yang kerjaannya bikin kotak. Lihat saja ada kotak Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah, Wahabi, Salafi, HTI, LDII, MTA, FPI, Islam garis keras, ISIS, Ahmadiyah dan seterusnya silahkan teruskan sendiri. Belum lagi NU, ada NU Gusdurian, NU Muhaimin Iskandar, NU PKB, bahkan NU Garis Lucu.

Para dai, ulama, dan umat coba belajarlah pada makanan dan profesi. Makanan itu beragam, ada sop buntut, nasi cumi, gimbal tempe, tahu bulat, sate, gule dan otak-otak bandeng, Profesi juga beragam. ada tukang parkir, tukang ojek, tukang gojek, pengusaha, pengacara, pemadam kebakaran, wartawan, tenaga medis, teknisi dan sebagainya. bayangkan kalau kita hidup cuma ada cumi. Tentu orang tua sering sambat asam urat. Pun kalau pekerjaan di dunia ini cuma ada dokter saja. tentu kita sambat cari pedagang nasi cumi.

Sampai disini saya sependapat dengan salah satu kejernihan ilmu di Maiyah, bahwa kebenaran itu input. sedapat mungkin kebenaran itu tidak ditunjuk-tunjukkan ke orang. kebenaran harus disembunyikan dalam-dalam. kebenaran ibarat dapur. Sedang outputnya adalah masakan enak amal sholeh kita. kita selalu baik pada orang, toleransi, saling menjaga hati saudara seiman kita, tidak gampang anggap yang berbeda kita sama dengan musuh. Tidak gampang anti-mengantikan. Kecuali satu, Antimo. Hehehe. Salam hangatku untuk para sedulur maiyah dan khususnya sahabat umat islam sedunia.

Gresik, 17 Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun