Kedua, cita-cita negara yang tak kunjung terwujud. Pancasila hanya menjadi pajangan di dinding sekolah dan kantor-kantor. Pancasila seolah menjadi barang museum yang dipamerkan hanya saat upacara bendera berlang-sung. Pancasila dasar negara. Buya Syafii Maarif pernah mengatakan, “Pancasila itu diagungkan dalam ucapan tapi dikhianati dalam perbuatan.”
Terutama sila kelima, sila yang jauh digantung di langit. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Jika pancasila itu mencita-citakan sebuah keadilan sosial, lantas kenapa kita sebagai bangsa tak kunjung juga sadar bahwa keadilan adalah hal mendasar dalam sebuah bangunan negara yang sejahtera.
Banyak pemberontakan terjadi lantaran tidak beresnya sistem keadilan yang diterapkan oleh para pemangku kekuasaan. Jika Pancasila adalah ideologi suatu bangsa, di mana kita posisikan ideologi dalam hidup kita?
Tapi bukan itu persoalannya, Pancasila dikhianati dalam perbuatan. Korupsi sana-sini, korporasi kapitalis dengan para ‘mafia’ kebijakan, penindasan kaum lemah (mustadh'afin), dan bentuk kedzaliman lainnya adalah wujud nyata dari khianatnya kita terhadap Pancasila.
Ketiga, kebodohan yang terus dipelihara. “Pendidikan kita adalah anak tiri yang kesepian,” mengutip lirik lagu Iwan Fals. Karena tidak lebih, sistem pendidikan kita seperti sebuah transaksi pasar. Sistem pendidikan yang transasksional tentunya akan berimbas kepada proses pendidikan itu sendiri. Yang terpenting adalah kita harus menyadari bahwa pendidikan harus didukung seluruh elemen. Dengan kesadaran ini, tentunya tanggung jawab mendidik generasi muda menjadi pe er kita bersama.
Keempat, problem ekonomi yang semakin menggelisahkan. Muhammadiyah beberapa waktu lalu telah memulai kembali gerakan-gerakan ekonomi, dengan adanya forum Temu Saudagar Muhammadiyah. Penulis pikir ini adalah langkah konkret, mengingat sistem ekonomi kapital saat ini sudah semakin kacau, menindas rakyat, dan cenderung berpihak kepada para pemodal dan investor asing. Dalam hal ini, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ekonomi yang kita anut, mengingat fenomena MEA yang membuat masyarakat kita makin panik.
Kemudian, hal yang paling mendasar yang menjadi anca-man bagi bangsa ini adalah bagaimana generasi muda kita yang semakin hari semakin 'melempem'. Pemuda tentunya bukan hanya embel-embel mahasiswa, menurut Yudi latif, “Pemuda bukanlah persoalan lutut lentur dan pipi yang merah merona, tapi pemuda adalah bagaimana pemikiran dan produk-produknya dapat hadir untuk meng-upgradetatanan peradaban dan perikehidupan masyarakatnya.”
Kemunculan kaum muda bukanlah sebagai agen perubahan, tapi hendaknya menjadi ‘pelaku’ perubahan. Pemuda adalah pemimpin masa depan, dan masa depan itu adalah saat ini. Jika generasi muda kita hanya terbawa arus kehidupan yang kapitalistik, hedonis, dan transaksiona. Maka benar jika dikatakan Indonesia takkan tertolong lagi, Indonesia is beyond help.
Kaum muda pulalah yang menjadi penentu akan menjadi apa bangsa ini ke depannya. Jika kita menganggap gerakan seperti ISIS, FPI dan gerakan-gerakan radikal lainnya adalah sebuah ancaman bagi bangsa, itu tentu tidak bisa disalahkan. Tapi bagaimana kita menyikapinya sebagai pemuda dengan sama-sama mengintrospeksi diri. Kata Buya Syafii, “ISIS itu hanyalah sebuah gerakan kecil, jika dibanding dengan seluruh Muslim di Indonesia, ISIS hanyalah secuil kuku, hanya saja ia mengganggu ketentraman.”
Kaum muda hendaknya kembali kepada identitasnya, creative minority, meskipun sedikit tapi memiliki pengaruh. Sebagai minoritas kreatif, tentu tuntutan peran kita dalam masyarakat untuk bisa menampilkan hal-hal baru, gerakan reflektif, dan gagasan-gagasan solutif guna menghadapi problematika dan dialektika berbangsa ini.
Situasi yang semakin tak karuan, hendaknya bisa kita benahi, sebagaimana idealisme pemuda yang betul-betul bersih tanpa kepentingan politik dan golongan.